Keluarga Kunci Menumbuhkan Sikap Moderat dan Toleran

Senin, 15 Juli 2019 - 20:17 WIB
Keluarga Kunci Menumbuhkan Sikap Moderat dan Toleran
Keluarga Kunci Menumbuhkan Sikap Moderat dan Toleran
A A A
JAKARTA - Masyarakat Indonesia selama ini dikenal dengan budaya toleran dan rukun dengan menganut cara pandang moderat, baik dalam beragama maupun bernegara.

Dalam beragama, pandangan moderat dipilih sebagai cara memaknai agama yang tidak ekstrem. Moderat dan toleran menjadi karakter dan jati diri bangsa. Namun saat ini dengan banyaknya narasi intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme di dunia maya telah sedikit banyak mengoyak cara pandang masyarakat.

Hal tersebut mengakibatkan masyarakat menjadi mudah marah, tersinggung, dan senstitif dengan perbedaan apalagi melalui dunia maya. Oleh karena itu perlu mengarusutamakan moderasi dan toleransi di dunia maya untuk mendidik dan menanamkan kembali karakter dan jati diri bangsa.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Faisal Abdullah mengatakan, rumah tangga atau keluarga harus terus menurunkan kebiasaan tentang budaya, moral serta etika yang ada di keluarga ke anak cucu.Karena melalui rumah tangga atau keluarga, akan selalu memunculkan kesinambungan budaya dari masing-masing daerah yang ada di bangsa ini.

“Dengan adanya budaya yang baru seperti dengan adanya smartphone dan kemajuan teknologi yang cukup pesat itu telah menjadi suatu loncatan sejarah yang mengakibatkan tergerusnya budaya lama dan munculnya budaya baru yang juga tidak dipahami oleh para orangtua untuk disampaikan ke generasi selanjutnya,” ujar Faisal, di Jakarta, Senin (15/7/2019).

Menurut Faisal, jika sampai budaya baru tersebut menular ke generasi-generasi berikutnya, tentunya akan membahayakan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara ini, apalagi jika tidak ada hubungan antargenerasi ke generasi berikutnya.

Meskipun ada dialog antargenerasi, tapi hal tersebut lebih hanya kepada sikap formal, bukan sebagai suatu kebiasaan di dalam rumah tangga antara anak dan orang tua.

“Tapi akhir-akhir ini baru mulai muncul kebiasan baru bahwa antara orangtua dengan anak muda atau anak-anak mereka itu sudah mulai ada dialog, mulai ada kebiasaan bersama, tapi kita sudah terlanjur kehilangan panutan. Sehingga apapun yang dilakukan itu baru mau menjadi budaya baru. Nah disinilah peran bagaimana media-media sosial harus menjadi penuntun, bukan menjadi perusak,” ujar Faisal.

Menurut dia, selama ini dirinya mengamati media sosial lebih banyak cenderung ke arah yang negatif. Apalagi ditambah dengan kondisi politik Tanah Air yang memanas di tengah perbedaan sehingga dapat memancing dan membawa media sosial ini ke arah yang lebih negatif.

Hal tersebut tentunya mungkin akan berbeda jika kondisi politik di negara ini normal yang misalnya tidak terganggu dengan pilpres atau tidak terganggu dengan masalah keagamaan.

Menurut dia, bangsa Indonesia telah mengalami loncatan sejarah sejak merdeka sampai selama hampir 74 tahun kemerdekaan. Sudah mengalami banyak perubahan dan perkembangan.Namun perubahan dan perkembangan terjadi, yakni dari budaya yang rukun, damai, dengan tanpa televisi, telepon, handphone dan segala macamnya tiba-tiba masuk pada satu dunia yang lebih revolusi.
Sayangnya revolusi ini melahirkan budaya yang justru berpotensi menggerus budaya lama. Padahal budaya lama itu baik.

“Tapi jarak antara sebelum pra kemerdekaan, setelah kemerdekaan dan juga dari Orde Baru ke Orde sekarang ini, bangsa kita ini mengalami potongan-potongan budaya yang berakibat kepada munculnya budaya baru. Padahal kita masih membutuhkan padangan dari kelompok yang moderat dan toleran yang menjadi karakter dan jati diri bangsa kita,” ujarnya.

Untuk itu menurutnya, perlu adanya peran para tokoh untuk mengajak masyarakat mau menggelorakan pengarusutamaan moderasi dan toleransi, baik di dunia nayta maupun dunia maya.“Yang penting dilakukan para tokoh-tokoh tersebut yakni tidak berselisih antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lainnya Mungkin dalam kontemporer dia berselisih, tetapi dalam suatu ikatan yang lebih tinggi, dia adalah satu,” ujarnya
Dia mengakui anak zaman sekarang sudah tidak mengenai tokoh. Mereka juga tidak begitu saja mematuhi ucapan tokoh.

"Mereka cenderung untuk berpikir secara instan dan bukan tidak toleran, tapi dia toleransi pada hal-hal yang menguntungkan bagi dia,” ujarnya.

Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) ini mengatakan, selama ini dirinya di Kemenpora telah merancang untuk bekerja sama dengan beberapa lembaga dalam membekali pemuda agar tidak mudah terpengaruh dengan kemungkinan masuknya ideologi lain yang disebarkan melalui dunia maya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8530 seconds (0.1#10.140)