Pemerintah Diminta Optimalkan Layanan Jaminan Kesehatan Hakim

Senin, 24 Agustus 2020 - 12:16 WIB
loading...
Pemerintah Diminta Optimalkan...
Pemerintah termasuk di dalamnya BPJS Kesehatan harus konsisten mengoptimalkan pemenuhan layanan dan jaminan kesehatan bagi para hakim di seluruh pelosok Indonesia. Foto/dok Mahkamah Agung
A A A
JAKARTA - Pemerintah termasuk di dalamnya BPJS Kesehatan harus konsisten mengoptimalkan pemenuhan layanan dan jaminan kesehatan bagi para hakim di seluruh pelosok Indonesia.

Hal tersebut merupakan bagian penting dari pemenuhan jaminan kesejahteraan hakim sebagaimana diamanahkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, beberapa UU lainnya, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 74 Tahun 2016 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung (MA) .

Komisi Yudisial (KY) pernah melakukan survei selama kurun waktu 2016 hingga 2018 mengenai pandangan para hakim atas jaminan/layanan fasilitas kesehatan. KY menemukan beberapa fakta. Di antaranya, penyediaan fasilitas kesehatan hakim yang dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan belum optimal dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada hakim.

Berikutnya, rata-rata jaminan/fasilitas kesehatan yang diterima hakim di tingkat pertama dan banding belum memadai, hanya hakim di tingkat MA yang memadai. Secara umum, pandangan para hakim atas jaminan/fasilitas kesehatan yakni 53,76 % kurang memadai, 24,73 % cukup memadai, 15,05 % memadai, 5,91 % belum pernah menggunakan, dan 0,54 % abstain.

Hasil survei fasilitas kesehatan tersebut telah disampaikan KY kepada MA dan BPJS Kesehatan untuk pengambilan keputusan perbaikan fasilitas kesehatan bagi para hakim.

Selain itu, berdasarkan data yang dimiliki MA, sepanjang 2019 ada 59 hakim yang meninggal dunia. Angka ini tersebar di beberapa pengadilan, yakni 23 hakim peradilan agama, 34 hakim peradilan umum, dan dua hakim agung MA.
Sebagian besar hakim meninggal karena faktor kesehatan. Selain itu, MA menyebutkan banyak hakim yang sulit mendapatkan layanan pengobatan ketika sedang sakit.

MA juga memastikan para hakim kesulitan memeriksa kesehatan karena harus mengurusi berbagai administrasi BPJS Kesehatan dan melewati rantai birokrasi yang cukup panjang.

( )

Hakim tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar Yanto menyatakan, negara dalam hal ini pemerintah harus konsisten melakukan optimalisasi atas pemenuhan dan peningkatan jaminan kesejahteraan bagi para hakim termasuk jaminan kesehatan. Pemenuhan tersebut, kata dia, telah jelas tertuang di dalam sejumlah UU dan peraturan pemerintah.

"Jangan malah dibiarkan. Jadi harus benar-benar dipenuhi. Realisasikanlah undang-undang itu. Kan di undang-undang itu kewajiban negara menyediakan, ada kendaraan, kesehatan, rumah dinas, yah toh," tutur Yanto saat berbincang dengan SINDO Media.

Mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas 1A Khusus ini membeberkan, untuk layanan BPJS Kesehatan memang masih terdapat banyak hakim yang tidak mendapatkan atau tidak menggunakan layanan tersebut. Bahkan Yanto mengungkapkan, dia sendiri pun tidak memiliki fasilitas layanan kesehatan BPJS Kesehatan.

"Tidak ada. Enggak ada. Enggak ada sama sekali," ungkapnya.

Yanto mengaku punya alasan mengapa tidak mengurusi penggunaan layanan BPJS Kesehatan. Alasan paling utama, tutur dia, pengurusan administrasi hingga penggunaan layanannya berbelit-belit.

"Susah, berbelit-belit (untuk penggunaan BPJS Kesehatan). Harus urus sana-sini, harus minta surat sana-sini, wuaduh. Penyakitnya malah tambah terus, malah ngurus ini lagi," tutur mantan Ketua PN Sleman ini.

Hakim agung sekaligus Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro mengungkapkan, hakikatnya jaminan kesehatan bagi seluruh warga negara ada dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Jaminan tersebut merupakan hak bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali termasuk tentunya para hakim. Andi membeberkan, selama ini bagi para hakim baik hakim tingkat pertama maupun tingkat banding termasuk di sejumlah daerah di luar Jakarta ada yang memiliki kartu BPJS Kesehatan kemudian menggunakan layanannya.

"Memang untuk hakim tingkat pertama dan tingkat banding itu kasian juga. Kadang-kadang ada kendala misalnya dia (hakim) harus antre sementara dia harus melayani masyarakat pencari keadilan. Hakim harus sidang tapi dia harus ada di antrian rumah sakit. Kadang kala di daerah tempat tugas kan terbatas, untuk melaksanakan itu (layanan BPJS Kesehatan) tidak ada orang yang bisa diharapkan," tegas Andi saat dihubungi SINDO Media.

( )

Kendala lain, tutur Andi, berdasarkan cerita dari sejumlah hakim ke Andi bahwa ada banyak hakim yang memiliki kartu BPJS Kesehatan dengan kelas ekonomi. Berikutnya, kelas yang dimiliki hakim tidak sesuai dengan kelas layanan rumah sakit rujukan. Ketika layanan BPJS Kesehatan tersebut ingin dipakai hakim yang bersangkutan, ternyata rumah sakit itu tidak mau menerima hakim tersebut.

"Yang sering dikeluhkan oleh para hakim kita di daerah, rumah sakit tidak mau menerima BPJS Kesehatan yang dimiliki oleh hakim yang bersangkutan. Kadang-kadang rumah sakit menolak, kelas ekonomi misalnya. Jadi tergantung dari kelasnya. Artinya rumah sakit itu tidak semua menerima pelayanan BPJS yang dimiliki oleh hakim," bebernya.

Ketua Kamar Pengawasan MA ini mengungkapkan, pemerintah bersama BPJS Kesehatan mestinya dapat bersikap dan bertindak cepat guna mengatasi kendala-kendala yang disebutkan di atas. Pihak BPJS Kesehatan pun baiknya, tutur Andi, bisa menjemput "bola" dengan menemui langsung para hakim sebagai pengguna layanan untuk optimalisasi layanan. Kemudian, klasifikasi layanan BPJS Kesehatan bagi para hakim juga harus diperbaiki.

"Ini perlu mendapat perhatian. Pelayanan kesehatan bagi para hakim kita di daerah masih bermasalah. Padahal kan berdasarkan undang-undang kan itu merupakan hak kesehatan bagi hakim," ujarnya.

Andi melanjutkan, pemerintah juga mesti mengawasi secara menyeluruh pelaksanaan layanan prima yang dijalankan BPJS Kesehatan bagi seluruh warga negara Indonesia termasuk para hakim dan aparatur sipil negara (ASN) peradilan.

Secara khusus, dia menegaskan, berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman jelas sekali disebutkan bahwa hakim pada MA dan badan peradilan di bawahnya merupakan pejabat negara.

"Jaminan kesehatan juga misalnya untuk keluarganya, anaknya, istrinya terpenuhi," ungkap Andi.

Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan, terkait penolakan oleh rumah sakit saat penggunaan layanan oleh para hakim di Indonesia maka perlu diluruskan.

Menurut Iqbal, harus diperjelas dulu penolakan layanan apa yang dimaksud. Dia memaparkan, berdasarkan regulasi yang berlaku jelas bahwa setiap peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) apapun latar belakang profesinya, berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

"Sesuai dengan indikasi medis yang ditetapkan secara medis dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Apabila peserta JKN-KIS sudah memenuhi 2 kriteria tersebut dan mengalami penolakan pelayanan kesehatan, peserta yang bersangkutan dapat melakukan pengaduan kepada petugas BPJS SATU! yang berada di rumah sakit tersebut," ungkap Iqbal kepada SINDO Media.

Selain itu, tutur dia, seluruh peserta termasuk hakim juga bisa melakukan pengaduan melalui BPJS Kesehatan Care Center 1500 400, aplikasi mobile JKN, atau bahkan melalui media sosial resmi BPJS Kesehatan seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Berikutnya, ada juga unit pengaduan di rumah sakit dan di Dinas Kesehatan.

"Fasilitas kesehatan yang terbukti melakukan penolakan terhadap hak-hak peserta JKN-KIS dapat dikenai sanksi sebagaimana tertuang dalam kontrak kerja sama dengan BPJS Kesehatan," katanya.

Iqbal mengucapkan terima kasih atas atensi yang diberikan Komisi Yudisial (KY) terhadap implementasi JKN-KIS melalui hasil survei atas fasilitas/jaminan kesehatan bagi hakim dan rekomendasi yang telah disampaikan ke BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan, kata Iqbal, memang memerlukan dukungan dan kerja sama dengan begitu banyak pemangku kepentingan, yang disebut sebagai ekosistem JKN-KIS.

"Survei tersebut diharapkan mampu mendorong berbagai pihak untuk turut berkontribusi aktif dalam menciptakan ekosistem JKN-KIS yang sehat, agar program JKN-KIS dapat terimplementasi dengan ideal dalam memberikan jaminan kesehatan yang berkualitas kepada penduduk Indonesia tanpa diskriminasi," ujarnya.

Dia mengungkapkan, ekosistem program JKN-KIS yang sehat akan tercipta apabila peran serta tugas pokok dan fungsi stakeholder sesuai dengan regulasi. Selain itu, ekosistem tersebut akan terwujud jika ada komunikasi dan koordinasi yang baik dari seluruh stakeholder.

Iqbal melanjutkan, sehubungan dengan optimalisasi layanan maka BPJS Kesehatan telah melakukan simplifikasi layanan administrasi melalui berbagai kanal digital.

Langkah ini dilakukan untuk memudahkan masyarakat menyelesaikan urusan administrasi JKN-KIS. Jika dulu pelayanan administrasi biasanya dilakukan di Kantor Cabang dan Kantor Kabupaten/Kota, maka kini bisa melalui aplikasi mobile JKN, BPJS Kesehatan Care Center 1500 400, serta layanan Chika (Chat Assistant JKN) dan Vika (Voice Interactive JKN).

"Sebagai informasi, di tahun 2019 angka kepuasan peserta JKN-KIS mencapai 80,1 persen naik dari tahun sebelumnya yang mulanya 79,7 persen. Hal ini tak lepas dari upaya penyempurnaan layanan administrasi yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan untuk memberikan kemudahan bagi pesertanya," kata Iqbal.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PAN, Sarifudin Sudding mengatakan, pemenuhan jaminan kesehatan bagi para hakim di seluruh pelosok Indonesia merupakan bagian penting dari pemenuhan jaminan kesejahteraan bagi para hakim yang telah diamanahkan dalam UU maupun peraturan pemerintah.

Pemenuhan tersebut, tutur dia, harus benar-benar diimplementasikan oleh negara dalam hal ini pemerintah. Para hakim harus dijamin mendapatkan layanan kesehatan yang baik jangan sampai harus disibukkan atau disusahkan dengan pengurusan administrasi dan lamanya proses birokrasi.

"Jadi pikirannya para hakim itu betul-betul fokus dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam rangka memenuhi undang-undang yaitu dalam mengadili dan memutus suatu perkara untuk memenuhi harapan pencari keadilan, tanpa ada harus memikirkan lagi keseharian mereka," ujar Sudding saat dihubungi SINDO Media, Minggu 23 Agustus 2020.

Dia mengungkapkan, bagi pemerintah dan BPJS Kesehatan harus benar-benar mendengarkan suara-suara para hakim di seluruh pelosok Indonesia. Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus memberikan perhatian khusus untuk pemenuhan layanan kesehatan bagi para hakim.

Berikutnya, lanjut Sudding, pemerintah harus mengingat bahwa sesuai dengan UU Kekuasaan Kehakiman jelas bahwa hakim pada MA dan badan peradilan di bawahnya adalah pejabat negara.

"Saya lebih condong para hakim itu diberikan asuransi karena mereka pejabat negara. Katakanlah kalau pejabat negara itu asuransinya Jasindo dan segala macam. Saya kira, para hakim dan keluarganya harus didorong mendapatkan itu. Artinya harus betul-betul mendapatkan layanan yang baik," tuturnya.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1622 seconds (0.1#10.140)