Inginkah Meninggal di Tanah Suci?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Akh Muzakki
Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya,
Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024
PERTANYAAN yang ada dalam judul tulisan ini menggelitik sekali. Mungkin sebagian menganggap meninggal di Tanah Suci diharapkan oleh sejumlah jemaah haji . Mungkin juga sebagian lainnya justru berpandangan sebaliknya: tak diharapkahlah! Lalu pertanyaannya, kapan jemaah haji Indonesia itu berharap dan ingin meninggal di Makkah dan kapan ingin meninggal di tanah air sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan ini tampak sederhana sekali. Namun dalam praktiknya justru bisa menimbulkan kompleksitasnya tersendiri.Ternyata, penjelasan dari kepala Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Daerah Kerja (Daker) Makkah, dr Enny, sangat ilustratif. Yakni, bahwa jemaah haji yang jatuh sakit dan dirawat dalam beberapa waktu lamanya di KKHI justru tak ada yang ingin meninggal di Tanah Suci. Mereka ingin sembuh dan kembali menyempurnakan ibadahnya, lalu pulang ketemu keluarga di tanah air sendiri.
Penjelasan di atas disampaikan dr Enny kepada Mahmud Syaltut bersama Affan Razi dan saya selaku Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024 di KKHI Daker Mekkah, Rabu (5 Juni 2024). Jadi, jemaah haji Indonesia baru punya keinginan meninggal di Tanah Suci jika meninggalnya tanpa didahului sakit. Tapi, saat harus sakit terlebih dulu, mereka hampir bisa dipastikan tak ingin meninggal di situ. Mereka tetap ingin sembuh, lalu bertemu kembali dengan keluarga di rumah. Itu adalah temuan KKHI Daker Mekkah selama memberikan layanan kesehatan kepada jemaah haji Indonesia.
Meninggal memang bagian dari kehidupan. Lebih tepatnya ujung dari kehidupan di dunia. Dan meninggal di mana saja, tidak bisa satu pun orang dapat memastikannya. Saat di masjid, bisa tiba-tiba meninggal. Saat di sekolah, bisa pula meninggal. Saat berada di kampung halaman sendiri, maut bisa saja menjemput. Pula saat berada jauh dari kampung halamannya, nyawa pun bisa saja tercabut. Semua serba mungkin. Dan tak ada yang merasa kebal dari maut. Tak ada diri yang merasa hebat karena maut pun dianggap tak bisa menjemput.
Termasuk pula di Tanah Suci. Meninggal pun bisa saja menimpa jemaah haji. Berangkat haji sehat, tapi saat waktunya pulang sudah dipanggil Ilahi. Puncak haji di Arafat, Muzdalifah dan Mina dilewati, tapi pasca itu lengah pun membuntuti. Banyak kegiatan lalu dilakukan tanpa mengindahkan kondisi fisik yang mulai tampak lelah sekali. Hak istirahat tubuh pun tak lagi menjadi atensi. Alasannya bisa beragam sekali. Mulai atas nama ibadah hingga kepentingan memanjakan diri. Untuk lebih pasnya, tentu semua harus diteliti. Tapi, faktanya, kelelahan bisa mengancam diri. Bahkan, kematian pun bisa saja sulit untuk dihindari.
Tiba-tiba kematian pun kusaksikan sendiri terjadi pada jemaah haji Indonesia di suatu pagi. Alkisah, kala itu Hari Rabu (26 Juni 2024), jam masih menunjuk ke angka 06:30 WAS (Waktu Arab Saudi). Aku bersama Prof Masnun Tahir dan Prof Martin Kustanti sedang mendampingi pimpinan petugas haji. Namanya Pak Wibowo Prasetyo. Pergi ke Sektor 8 Daker Mekkah. Kepentingannya untuk memastikan kelancaran proses pemberangkatan jemaah haji Indonesia dari Makkah ke Madinah untuk menunaikan ibadah di Masjid Nabawi. Lalu setelah itu dari Bandara Madinah itu mereka terbang pulang ke negeri sendiri.
Saat mata mengarahkan pandangan ke semua titik persiapan keberangkatan jemaah haji di Sektor itu, tiba-tiba ada gemuruh suara dari sebuah bus yang siap memberangkatkan jemaah haji ke Madinah itu. Bergegaslah para petugas haji Sektor 8 itu menuju bus dimaksud. Lalu turunlah dari bus itu dua orang yang membopong seorang nenek. Sangat tua sekali usianya. Diboponglah sang nenek itu ke lobby hotel. Lalu, seorang lelaki Arab yang juga pimpinan maktab itu berteriak: "Kursi! Kursi! Kursi!"
Dia teriakkan kata itu kencang sekali. Sambil menyuruh anak buahnya segera menyiapkan kursi itu di lobby hotel. "Minggir! Minggir!" adalah kata lanjutan yang juga dia teriakkan berkali-bekali untuk meminta jemaah haji Indonesia yang bergerombol di depan pintu utama masuk hotel itu untuk memberi ruas jalan. Agar sang nenek yang sedang dibopong dengan buru-buru oleh dua petugas haji Indonesia itu segera bisa sampai di lobby hotel untuk duduk di kursi dan dirawat. Alhamdulillah, pada titik ini, sang nenek bisa segera mendapatkan tempat istirahat sementara di lobby itu.
Hanya beberapa menit berikutnya, datanglah mobil ambulance dengan kencangnya. Itu mobil pertolongan kesehatan yang dikemudikan oleh petugas haji Indonesia. Di dalamnya seperangkat fasilitas dan tenaga medis yang juga semuanya orang Indonesia. Itu karena, mobil ambulance itu memang fasilitas layanan dari KKHI Daker Mekkah. Bergegaslah para petugas kesehatan itu dengan perangkat alat medis bersama mereka ke dalam lobby hotel. Dilakukanlah tindakan medis darurat di lobby hotel itu.
Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya,
Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024
PERTANYAAN yang ada dalam judul tulisan ini menggelitik sekali. Mungkin sebagian menganggap meninggal di Tanah Suci diharapkan oleh sejumlah jemaah haji . Mungkin juga sebagian lainnya justru berpandangan sebaliknya: tak diharapkahlah! Lalu pertanyaannya, kapan jemaah haji Indonesia itu berharap dan ingin meninggal di Makkah dan kapan ingin meninggal di tanah air sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan ini tampak sederhana sekali. Namun dalam praktiknya justru bisa menimbulkan kompleksitasnya tersendiri.Ternyata, penjelasan dari kepala Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Daerah Kerja (Daker) Makkah, dr Enny, sangat ilustratif. Yakni, bahwa jemaah haji yang jatuh sakit dan dirawat dalam beberapa waktu lamanya di KKHI justru tak ada yang ingin meninggal di Tanah Suci. Mereka ingin sembuh dan kembali menyempurnakan ibadahnya, lalu pulang ketemu keluarga di tanah air sendiri.
Penjelasan di atas disampaikan dr Enny kepada Mahmud Syaltut bersama Affan Razi dan saya selaku Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024 di KKHI Daker Mekkah, Rabu (5 Juni 2024). Jadi, jemaah haji Indonesia baru punya keinginan meninggal di Tanah Suci jika meninggalnya tanpa didahului sakit. Tapi, saat harus sakit terlebih dulu, mereka hampir bisa dipastikan tak ingin meninggal di situ. Mereka tetap ingin sembuh, lalu bertemu kembali dengan keluarga di rumah. Itu adalah temuan KKHI Daker Mekkah selama memberikan layanan kesehatan kepada jemaah haji Indonesia.
Meninggal memang bagian dari kehidupan. Lebih tepatnya ujung dari kehidupan di dunia. Dan meninggal di mana saja, tidak bisa satu pun orang dapat memastikannya. Saat di masjid, bisa tiba-tiba meninggal. Saat di sekolah, bisa pula meninggal. Saat berada di kampung halaman sendiri, maut bisa saja menjemput. Pula saat berada jauh dari kampung halamannya, nyawa pun bisa saja tercabut. Semua serba mungkin. Dan tak ada yang merasa kebal dari maut. Tak ada diri yang merasa hebat karena maut pun dianggap tak bisa menjemput.
Termasuk pula di Tanah Suci. Meninggal pun bisa saja menimpa jemaah haji. Berangkat haji sehat, tapi saat waktunya pulang sudah dipanggil Ilahi. Puncak haji di Arafat, Muzdalifah dan Mina dilewati, tapi pasca itu lengah pun membuntuti. Banyak kegiatan lalu dilakukan tanpa mengindahkan kondisi fisik yang mulai tampak lelah sekali. Hak istirahat tubuh pun tak lagi menjadi atensi. Alasannya bisa beragam sekali. Mulai atas nama ibadah hingga kepentingan memanjakan diri. Untuk lebih pasnya, tentu semua harus diteliti. Tapi, faktanya, kelelahan bisa mengancam diri. Bahkan, kematian pun bisa saja sulit untuk dihindari.
Tiba-tiba kematian pun kusaksikan sendiri terjadi pada jemaah haji Indonesia di suatu pagi. Alkisah, kala itu Hari Rabu (26 Juni 2024), jam masih menunjuk ke angka 06:30 WAS (Waktu Arab Saudi). Aku bersama Prof Masnun Tahir dan Prof Martin Kustanti sedang mendampingi pimpinan petugas haji. Namanya Pak Wibowo Prasetyo. Pergi ke Sektor 8 Daker Mekkah. Kepentingannya untuk memastikan kelancaran proses pemberangkatan jemaah haji Indonesia dari Makkah ke Madinah untuk menunaikan ibadah di Masjid Nabawi. Lalu setelah itu dari Bandara Madinah itu mereka terbang pulang ke negeri sendiri.
Saat mata mengarahkan pandangan ke semua titik persiapan keberangkatan jemaah haji di Sektor itu, tiba-tiba ada gemuruh suara dari sebuah bus yang siap memberangkatkan jemaah haji ke Madinah itu. Bergegaslah para petugas haji Sektor 8 itu menuju bus dimaksud. Lalu turunlah dari bus itu dua orang yang membopong seorang nenek. Sangat tua sekali usianya. Diboponglah sang nenek itu ke lobby hotel. Lalu, seorang lelaki Arab yang juga pimpinan maktab itu berteriak: "Kursi! Kursi! Kursi!"
Dia teriakkan kata itu kencang sekali. Sambil menyuruh anak buahnya segera menyiapkan kursi itu di lobby hotel. "Minggir! Minggir!" adalah kata lanjutan yang juga dia teriakkan berkali-bekali untuk meminta jemaah haji Indonesia yang bergerombol di depan pintu utama masuk hotel itu untuk memberi ruas jalan. Agar sang nenek yang sedang dibopong dengan buru-buru oleh dua petugas haji Indonesia itu segera bisa sampai di lobby hotel untuk duduk di kursi dan dirawat. Alhamdulillah, pada titik ini, sang nenek bisa segera mendapatkan tempat istirahat sementara di lobby itu.
Hanya beberapa menit berikutnya, datanglah mobil ambulance dengan kencangnya. Itu mobil pertolongan kesehatan yang dikemudikan oleh petugas haji Indonesia. Di dalamnya seperangkat fasilitas dan tenaga medis yang juga semuanya orang Indonesia. Itu karena, mobil ambulance itu memang fasilitas layanan dari KKHI Daker Mekkah. Bergegaslah para petugas kesehatan itu dengan perangkat alat medis bersama mereka ke dalam lobby hotel. Dilakukanlah tindakan medis darurat di lobby hotel itu.