Denny JA Terbitkan Buku Puisi Esai ke-6 soal Sisi Gelap Sejarah Kemerdekaan

Minggu, 23 Juni 2024 - 19:07 WIB
loading...
A A A
Ketika kita ingin menuliskan kisah sejarah atau true story misalnya, kisah itu bisa dibuatkan dalam bentuk makalah ilmiah. Atau kisah itu bisa dibuatkan reportase jurnalisme. Kedua cara berturut ini harus bersandar pada fakta.

Denny JA mengembangkan cara lain bahwa kisah true story itu, yang acap kali dramatis, itu dilaporkan dalam bentuk puisi esai. Dalam puisi esai, elemen fiksi begitu kokohnya. Sementara elemen fakta disampaikan lewat catatan kaki yang sentral dalam puisi esai.

Benar itu peristiwa terjadi. Benar itu terjadi di tahun dan tempat tertentu. Tapi dihadirkan di sana drama-drama yang fiksi, agar peristiwa itu lebih mudah diingat, lebih dramatis, dan lebih menyentuh hati. Itulah puisi esai yang digagas Denny JA sejak tahun 2012.

Di tahun 2024 ini, Denny JA menerbitkan dan mempublikasi buku puisi esainya yang ke-6. Judulnya, "Yang Tercecer di Era Kemerdekaan."

Sebelumnya, Danny JA juga sudah pernah menerbitkan 5 buku puisi esainya lainnya.

Pertama adalah "Atas Nama Cinta," yang terbit di tahun 2012. Buku ini menggali dan merekam suasana diskriminasi yang masih dirasakan publik luas setelah Reformasi.

Mulai dari diskriminasi yang sifatnya agama, diskriminasi gender, diskriminasi etnik, dan juga diskriminasi orientasi seksual. Inilah buku puisi esainya yang pertama yang ada, dan itu pula awal diperkenalkannya genre puisi esai.

Lalu kedua, Denny JA menerbitkan juga buku yang berjudul "Kutunggu di Setiap Kamis." Puisi esainya ini menggali kisah orang-orang yang hilang dalam sejarah Indonesia sejak tahun 1965 sampai 1998.

Setiap hari Kamis itu puluhan ibu-ibu, bapak-bapak, laki dan perempuan berdemonstrasi di depan istana negara di Jakarta dengan membawa payung hitam. Mereka mencari keluarga mereka yang hilang. Denny JA pun menggali kisah di balik peristiwa hilangnya seorang aktivis di tahun 1998 itu yang dikisahkan.

Buku puisi esai ketiga, Denny JA menggali kisah-kisah yang lebih filosofis. Judulnya Roti Untuk Hati.

Ini kisah-kisah yang lebih menggambarkan perjalanan individu mencari meaning of life. Ia menggali kisah-kisah yang filosofis mengenai agama, seni hidup. Juga mengenai cara individu menemukan arti dalam hidupnya.

Buku keempat, Denny JA menulis buku pusih esei berjudul “Jiwa Yang Berzikir.” Puisi esai ini lebih menggali ayat-ayat kitab suci Al-Quran. Memang puisi Jiwa Yang Berzikir ini dibuatnya sepenuh bulan Ramadan.

Denny JA mencoba menyusuri 30 juz Al-Qur'an, mencari apa intisari dari juz itu. Lalu ia padukan dengan kisah-kisah sejarah yang pernah terjadi, tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh negeri.

Buku puisi esainya yang kelima judulnya adalah “Jeritan Setelah Kebebasan.” Buku ini mengenai aneka konflik primordial yang terjadi setelah reformasi.

Di Maluku, konflik antara Kristen dan Muslim. Di Sampit, perselisihan berdarah antara suku Madura dan suku Dayak.

Di Lampung, konflik antara suku Lampung dan Bali. Di Jakarta terjadi amuk massa terhadap etnik Tionghoa. Sedangkan di Mataram, NTB, kasus pengungsian dari pemeluk agama Ahmadiyah.

Denny JA membandingkan betapa berbeda konteks sosial ketika ia menerbitkan buku puisi esainya yang ke-6 tahun 2024 dibandingkan buku puisi esainya yang pertama, "Atas Nama Cinta."

Ketika terbit buku puisi esainya yang pertama, beberapa tahun dari sana terjadi satu gelombang penolakan yang besar sekali. Ini terjadi setelah terbit satu buku yang berjudul "33 Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sastra Indonesia.”

Dalam buku itu, Denny JA dimasukkan di sana sebagai satu dari 33 tokoh berpengaruh di dunia sastra. Denny JA dimasukkan ke dalam daftar karena ia membawa genre baru puisi esai.

Saat itu, penolakan terhadap Denny JA oleh sebagian sastrawan terjadi sangat besar sekali. Kontroversi pro dan kontra terjadi begitu kerasnya.

Tapi sekarang, 12 tahun kemudian, ketika Denny JA menerbitkan buku puisi esainya yang ke-6, praktis tak ada lagi gelombang penolakan itu. Yang terjadi sebaliknya.

Sekarang ini bahkan terjadi festival puisi esai tingkat ASEAN di Malaysia yang dibiayai sepenuhnya oleh kerajaan Malaysia di Sabah. Pada tahun 2024, Festival Puisi Esai ASEAN itu sudah terjadi yang ketiga.

Di Indonesia pun sudah muncul komunitas puisi esai se-Indonesia. Sudah hadir pula pertemuan festival puisi esai setiap tahun. Itu dimulai di Jakarta 2023 di HB Yassin di Taman Ismail Marzuki.

Dengan terbitnya buku ke-6 ini, "Yang Tercecer di Era Kemerdekaan," Denny JA juga memberikan nuansa baru bagi puisi esainya.

Jika sebelumnya, pada tahun 2012 dengan "Atas Nama Cinta," puisi esainya panjang sekali, jika dibaca bisa sampai 30-40 menit. Maka pada puisi esainya yang terakhir dalam buku "Yang Tercecer di Era Kemerdekaan," jika dibaca di panggung ini hanya memakan waktu sekitar 5 menit saja.

Buku puisi esainya "Yang Tercecer di Era Kemerdekaan" tahun 2024 ini juga sekaligus disiapkan sebagai puisi esai yang bisa dibacakan di panggung.

“Ketika puisi esainya dibacakan, kita tak hanya mendapatkan keindahan sebagaimana keindahan dari puisi biasa. Namun juga kita mendapatkan kisah dari sepotong sejarah di Indonesia yang benar-benar terjadi,” tutup Denny.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0797 seconds (0.1#10.140)
pixels