Diskusi Kelompencapir Sebut Perlunya Harmonisasi Peraturan Syariah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kelompok Notaris Pendengar, Pembaca dan Pemikir (Kelompencapir) menyelenggarakan diskusi dengan tema Penerapan Prinsip Syariah Pada Perjanjian Pembiayaan Dalam Rangka Standarisasi Akta. Diskusi ini diselenggarakan di Hotel Manhattan, Jakarta, Kamis 13 Juni 2024.
Founder Kelompencapir, Dewi Tenty Septi Artiany menyampaikan, diskusi kali ini merupakan bentuk keprihatinan terkait adanya praktik pembiayaan syariah yang belum menerapkan prinsip syariah sementara masyarakat yang memilih transaksi syariah berharap pilihannya adalah sesuai dengan syariat agama islam .
"Maka tidak heran apabila demi mengejar suatu pencapaian perbankan menerapkan transaksi syariah masih berupa gimmick saja, belum sampai ke esensi dari syariah itu sendiri," kata Dewi dalam keterangannya, Sabtu (15/6/2024).
Sementara Dirjen AHU Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Cahyo Rahadian yang diwakili oleh Constantinus Kristomo menyampaikan, sebagai negara dengan muslim terbesar di dunia (prosentase 87,1 persen) dari total jumlah penduduk Indonesia, perbankan dan lembaga keuangan syariah merupakan salah satu pilar terpenting.
"Namun jika dicermati kunci sukses negara-negara di dunia dalam mengembangkan potensi keuangan berbasis syariah, adalah adanya kepastian hukum bagi investor," ujarnya.
Seri diskusi ke 53 Kelompencapir itu, selain menghadirkan Cahyo Rahadian, Dirjen AHU Kemenkumham, juga mengundang, Dr Dian Ediana Rae Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan & Anggota Dewan Komisioner OJK.
Selain itu hadir juga Endang Setyowati SH,MH ( Partner di AZP Legal Consultant), Dr. Widyaningsih, SH,MH (Dosen FH UI), AH Azharuddin Lathif, M.AG, MH (Dewan Syariah Nasional) dan Nyimas Rohmah (Direktur Pengaturan dan Pengembangan Perbankan Syariah OJK) dengan moderator Fessy Alwi dan pembaca kesimpulan Levi Valerina.
Menurut Cahyo, notaris perlu mencermati dan mampu memberikan pendapat hukum serta pemahaman kepada para pihak sesuai dengan kewenangan yang di miliki oleh notaris dalam mewujudkan kepastian dan rasa aman bagi para pihak, maupun notaris sendiri.
"Dalam praktik banyak regulasi yang simpang siur, membuat para praktisi di perbankan syariah seperti halnya notaris, tidak terjepit di tengah-tengah, karena itu perlu didorong adanya harmonisasi dan sinkronisasi antar regulasi, dan harus dipecahkan bersama-sama," jelas Dirjen AHU.
Ia menyarankan, untuk dibuat kertas kerjauntuk penyesuaian dan penyelarasan konsep dalam standarisasi akad-akad syariah sebagai kontribusi kepada masyarakat.
Sementara Azharuddin Lathif, dari Dewan Syariah Nasional menyoroti isu-isu yang terkait harmonisasi perundang-Undangan, di antaranya adalah, Perundang-Undangan tentang pengikatan jaminan, Per Undang-Undangan tentang perpajakan, Perundang-Undangan tentang penyelesaian sengketa di Pengadikan, kemudian KUH Perdata,Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
"Jika menggunakan UU tentang lembaga keuangan, transaksi syariah bisa terkena pajak berkali-kali, karena itu diperlukan adanya harmonisasi," jelasnya.
Ia mengidentifikasi adanya sumber disharmoni antara Kompilasi Hukum Syariah dan Dewan Syariah Nasional MUI, seperti masalah penggunaan istilah yang tidak tepat, penggunaan definisi yang sama dengan konsep konvensional, penterjemahan istilah yang salah, fatwa baru yang mengelaborasi konsep lama, penggunaan objek fatwa yang tidak utuh, adanya pengembangan konsep sementara fatwa lama belum diperbaiki dan perumusan konsep yang berbeda.
Nyimas Rohmah, Direktur Pengaturan dan Pengembangan Perbankan Syariah OJK menjelaskan, peta jalan pengembangan pengembangan dan penguatan perbankan syariah Indonesia (2023-2027) terdapat 5 Pilar yang dituju yaitu: 1. Penguatan struktur dan ketahanan industri perbankan syariah,2. Akselerasi digitalisasi perbankan syariah 3. Penguatan karakteristik perbankan syariah, 4. Peningkatan kontribusi perbankan syariah dalam perekonomian nasional 5. Penguatan pengaturan, perizinan dan pengawasan perbankan syariah.
"Pada tahun 2027 diharapkan terbentuk perbankan syariah yang sehat dan berintegritas, memiliki daya saing dengan keunikan syariahnya, serta berkontribusi terhadap perekonomian nasional untuk mencapai kemaslahatan masyarakat," ujarnya.
Sementara Endang Setyowati (Partner di AZP Legal Consultant), menyampaikan tantangan yang dihadapi oleh para praktisi dalam penyusunan dan akad pembiayan syariah, yakni perlunya pemahaman akan fiqh muamalah, kemudian penggunaan istilah hukum Islam yang belum diakomodir dalam peraturan yang digunakan dalam akad pembiayaan.
Hal lain yang juga penting adalah dasar hukum yang digunakan tidak hanya peraturan-peraturan terkait,melainkan juga fatwa Dewan Syariah Nasional MUI dan prinsip-prinsip hukum Islam.
"Belum lagi soal implementasi penerapan Peraturan Perpajakan terkait dengan PPN dan PPh, serta implementasi Peraturan OJK produk bank umum yang juga terdapat ketenuan terkait musyarakah, pengaturan sengketa juga harus jelas, hal ini memang membutuhkan adanya harmonisasi peraturan," tutupnya.
Founder Kelompencapir, Dewi Tenty Septi Artiany menyampaikan, diskusi kali ini merupakan bentuk keprihatinan terkait adanya praktik pembiayaan syariah yang belum menerapkan prinsip syariah sementara masyarakat yang memilih transaksi syariah berharap pilihannya adalah sesuai dengan syariat agama islam .
"Maka tidak heran apabila demi mengejar suatu pencapaian perbankan menerapkan transaksi syariah masih berupa gimmick saja, belum sampai ke esensi dari syariah itu sendiri," kata Dewi dalam keterangannya, Sabtu (15/6/2024).
Sementara Dirjen AHU Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Cahyo Rahadian yang diwakili oleh Constantinus Kristomo menyampaikan, sebagai negara dengan muslim terbesar di dunia (prosentase 87,1 persen) dari total jumlah penduduk Indonesia, perbankan dan lembaga keuangan syariah merupakan salah satu pilar terpenting.
"Namun jika dicermati kunci sukses negara-negara di dunia dalam mengembangkan potensi keuangan berbasis syariah, adalah adanya kepastian hukum bagi investor," ujarnya.
Seri diskusi ke 53 Kelompencapir itu, selain menghadirkan Cahyo Rahadian, Dirjen AHU Kemenkumham, juga mengundang, Dr Dian Ediana Rae Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan & Anggota Dewan Komisioner OJK.
Selain itu hadir juga Endang Setyowati SH,MH ( Partner di AZP Legal Consultant), Dr. Widyaningsih, SH,MH (Dosen FH UI), AH Azharuddin Lathif, M.AG, MH (Dewan Syariah Nasional) dan Nyimas Rohmah (Direktur Pengaturan dan Pengembangan Perbankan Syariah OJK) dengan moderator Fessy Alwi dan pembaca kesimpulan Levi Valerina.
Menurut Cahyo, notaris perlu mencermati dan mampu memberikan pendapat hukum serta pemahaman kepada para pihak sesuai dengan kewenangan yang di miliki oleh notaris dalam mewujudkan kepastian dan rasa aman bagi para pihak, maupun notaris sendiri.
"Dalam praktik banyak regulasi yang simpang siur, membuat para praktisi di perbankan syariah seperti halnya notaris, tidak terjepit di tengah-tengah, karena itu perlu didorong adanya harmonisasi dan sinkronisasi antar regulasi, dan harus dipecahkan bersama-sama," jelas Dirjen AHU.
Ia menyarankan, untuk dibuat kertas kerjauntuk penyesuaian dan penyelarasan konsep dalam standarisasi akad-akad syariah sebagai kontribusi kepada masyarakat.
Sementara Azharuddin Lathif, dari Dewan Syariah Nasional menyoroti isu-isu yang terkait harmonisasi perundang-Undangan, di antaranya adalah, Perundang-Undangan tentang pengikatan jaminan, Per Undang-Undangan tentang perpajakan, Perundang-Undangan tentang penyelesaian sengketa di Pengadikan, kemudian KUH Perdata,Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
"Jika menggunakan UU tentang lembaga keuangan, transaksi syariah bisa terkena pajak berkali-kali, karena itu diperlukan adanya harmonisasi," jelasnya.
Ia mengidentifikasi adanya sumber disharmoni antara Kompilasi Hukum Syariah dan Dewan Syariah Nasional MUI, seperti masalah penggunaan istilah yang tidak tepat, penggunaan definisi yang sama dengan konsep konvensional, penterjemahan istilah yang salah, fatwa baru yang mengelaborasi konsep lama, penggunaan objek fatwa yang tidak utuh, adanya pengembangan konsep sementara fatwa lama belum diperbaiki dan perumusan konsep yang berbeda.
Nyimas Rohmah, Direktur Pengaturan dan Pengembangan Perbankan Syariah OJK menjelaskan, peta jalan pengembangan pengembangan dan penguatan perbankan syariah Indonesia (2023-2027) terdapat 5 Pilar yang dituju yaitu: 1. Penguatan struktur dan ketahanan industri perbankan syariah,2. Akselerasi digitalisasi perbankan syariah 3. Penguatan karakteristik perbankan syariah, 4. Peningkatan kontribusi perbankan syariah dalam perekonomian nasional 5. Penguatan pengaturan, perizinan dan pengawasan perbankan syariah.
"Pada tahun 2027 diharapkan terbentuk perbankan syariah yang sehat dan berintegritas, memiliki daya saing dengan keunikan syariahnya, serta berkontribusi terhadap perekonomian nasional untuk mencapai kemaslahatan masyarakat," ujarnya.
Sementara Endang Setyowati (Partner di AZP Legal Consultant), menyampaikan tantangan yang dihadapi oleh para praktisi dalam penyusunan dan akad pembiayan syariah, yakni perlunya pemahaman akan fiqh muamalah, kemudian penggunaan istilah hukum Islam yang belum diakomodir dalam peraturan yang digunakan dalam akad pembiayaan.
Hal lain yang juga penting adalah dasar hukum yang digunakan tidak hanya peraturan-peraturan terkait,melainkan juga fatwa Dewan Syariah Nasional MUI dan prinsip-prinsip hukum Islam.
"Belum lagi soal implementasi penerapan Peraturan Perpajakan terkait dengan PPN dan PPh, serta implementasi Peraturan OJK produk bank umum yang juga terdapat ketenuan terkait musyarakah, pengaturan sengketa juga harus jelas, hal ini memang membutuhkan adanya harmonisasi peraturan," tutupnya.
(maf)