Isu Hankam dalam Pilpres
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
WAKTU untuk debat calon presiden (capres) minggu lalu banyak dihabiskan untuk membicarakan tentang perang dan senjata. Tema debat keempat bagi para capres adalah ideologi, pemerintahan, pertahanan keamanan, dan hubungan internasional. Namun hingga debat berakhir, kata-kata perang, amunisi, core interest (kepentingan utama), dan sebagainya selalu muncul dalam diskusi.
Soal masalah amunisi dan persenjataan. Arah debat cenderung selalu kembali ke isu pertahanan, dan hal ini tidak lepas dari latar belakang capres Prabowo Subianto yang melihat segala isu dengan kacamata militer. Namun, hal itu juga bisa terjadi karena capres Joko Widodo belum dapat memberikan jawaban kepada Prabowo tentang apa hambatan politik kawasan masa kini, khususnya menimbang keterbatasan anggaran internal dan prioritas pembangunan, peningkatan pertahanan dan keamanan kita saat ini.
Apabila kita bicara soal pertahanan dan keamanan, kita perlu bayangkan diri kita sendiri. Bila orang memiliki senjata api di rumah maka orang itu bisa merasa aman, karena yakin tidak ada orang yang berani mengganggu. Ini yang disebut sebagai deterrence. Akan lain lagi soalnya bila tetangga kita yang tahu kita punya senjata api mulai ikut juga membeli senjata api.
Situasi itu membuat kita menjadi khawatir dan merasa perlu membeli senjata canggih yang sebisa mungkin membuat tetangga kita tidak bisa membalas (retaliate) apabila diserang. Kegiatan aksi dan reaksi seperti itu yang dinamakan arms race (perlombaan senjata). Efek dari kegiatan perlombaan senjata ini disebut security dilemma (dilema keamanan), karena awalnya mencari rasa aman tetapi berujung dengan perasaan tidak aman.
Colin S Gray (1971) menyebut empat syarat sebuah situasi dapat disebut sebagai perlombaan senjata: 1) antagonisme antara dua pihak atau lebih yang menyadari akan adanya permusuhan di antara mereka; 2) kecenderungan para pihak ini untuk menyiapkan angkatan bersenjata masing-masing agar efektif ketika berkonfrontasi dengan lawannya itu, termasuk untuk mencegah lawannya memulai konflik;
3) terjadinya persaingan militer, baik kualitatif dan atau kuantitatif; dan 4) yang berjalan seiring dengan perluasan kapasitas militer yang cepat, baik dari segi jumlah maupun kualitas.
Ancaman paling dekat dalam konteks pertahanan dan keamanan adalah tetangga kita. Kita tidak mungkin membeli persenjataan yang lebih canggih hanya karena kita bermusuhan dengan, misalnya Israel (kecuali kita memiliki watak agresor dan imperialis). Kita membeli persenjataan dimulai dari mana muncul ancaman yang paling dekat.
Analisis itu yang kemudian membawa kita kepada jenis senjata apa yang harus dibeli. Pertanyaannya kemudian, bagaimana analisis kita terhadap ancaman dari tetangga. Apakah empat faktor di atas ada di kawasan ASEAN kita?
Secara umum, perlu jujur kita katakan bahwa tidak ada ancaman yang serius dari negara-negara tetangga kita yang mengharuskan Indonesia meningkatkan anggaran militer secara besar-besarnya. Secara umum, pengeluaran anggaran untuk militer Indonesia adalah nomor dua tertinggi di ASEAN setelah Singapura, dengan tren peningkatan yang cukup signifikan dalam waktu sangat singkat.
Database SIPRI Military Expenditure menyebutkan bahwa anggaran belanja militer Indonesia meningkat dua kali lipat antara 2015 dan 2016, dan sejak 2005 hingga 2015 meningkat lebih dari dua kali lipat; statusnya peningkatan besaran anggaran serupa dengan Vietnam dan Kamboja.
Kita tidak bisa membandingkan posisi anggaran kita dengan negara seperti Singapura, karena pendapatan negara di Singapura sudah hampir 10 kali lipat Indonesia, dan negara kecil memang punya kecenderungan mengalokasikan anggaran pertahanan lebih besar dibandingkan negara-negara berpenduduk besar.
Alasan peningkatan anggaran pertahanan bervariasi di kawasan ASEAN. Ada yang disebabkan peralatan militernya sudah ketinggalan zaman (Filipina atau Kamboja), faktor pemberontakan di dalam negeri (Myanmar), atau juga karena menghadapi konflik dari pihak lain (Vietnam) khususnya dalam konflik di Laut China Selatan.
Namun demikian, Felix Heiduk (2017) dari Stiftung Wissenschaft und Politik German Institute for International and Security Affairs Tingkat mencatat bahwa telah terjadi percepatan pembelian senjata di ASEAN dalam kurun waktu 2006-2015. Pembelanjaan senjata di ASEAN secara total meningkat 57%, sementara China meningkat 132%, dengan perbandingan Eropa naik hanya 5,4%.
Rendahnya belanja militer Eropa tidak lepas karena jasa pengamanan NATO yang dikomandoi oleh Amerika Serikat (AS) atau dengan kata lain AS menjadi “supplier” jasa keamanan kawasan kepada masyarakat Eropa sehingga belanja militer Amerika lah yang tinggi.
Belanja senjata ASEAN dibandingkan kawasan lain di Asia dan Osenia juga relatif lebih kecil. SIPRI 2 melaporkan bahwa total pembelanjaan militer negara ASEAN masuk dalam urutan ketiga dari empat kawasan di Asia. Negara yang paling besar belanja militernya adalah kawasan Asia Timur, yang meliputi China, Korea, dan Jepang. Negara Osenia yang memang sebagian besar negara kecil dan negara kepulauan adalah kawasan yang paling rendah belanja militernya.
Angka-angka tersebut memiliki makna bahwa negara-negara Asia Tenggara lebih banyak sibuk berdagang daripada mempersiapkan perang. Hal ini tecermin dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil dibandingkan negara-negara di kawasan lain yang berperang.
Meski demikian, tidak berarti ASEAN juga sepi ancaman. Konflik seperti di Laut China Selatan masih ada kemungkinan untuk terakumulasi apabila masing-masing pihak belum menemukan konsensus yang lebih permanen dan menguntungkan semua pihak. Konflik-konflik di dalam negeri seperti Rohingya di Rakhine State, gerakan teroris Maute di Marawi Filipina, atau gerakan Papua Merdeka di Papua Barat adalah contoh yang dapat menjadi dasar intervensi asing ke dalam kedaulatan sebuah negara.
Kondisi terkini yang dihadapi Indonesia dalam bidang pertahanan keamanan belum terjelaskan dengan baik dalam debat capres pekan lalu. Di kawasan macam ASEAN, yang pertumbuhan ekonomi selalu menjadi pusat perhatian, isu pertahanan keamanan tetap tidak boleh luput dari perhatian, karena pada dasarnya esensi dialog dalam pertahanan keamanan juga menyangkut transaksi ekonomi dari negara-negara penjual senjata di kawasan. Eropa adalah pemasok senjata terbesar untuk Asia Tenggara, kecuali Vietnam dan Myanmar yang lebih banyak membeli dari Rusia dan China.
Dalam gelaran pembelian senjata, isunya juga bukan semata soal mau atau tidak menambah anggaran pembelian senjata, tetapi dampak dari peningkatan anggaran itu pada koalisi politik di kawasan yang saat ini dimotori AS dan China. Ada negara-negara ASEAN yang enggan bekerja sama terlalu dalam dengan negara yang membeli senjata dari negara yang menjadi rivalnya.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi di kawasan juga merupakan magnet yang kuat bagi kelompok apapun, termasuk kelompok ekstremis, untuk mencari penghidupan. Apa yang disiapkan para capres untuk mengantisipasi ini?
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
WAKTU untuk debat calon presiden (capres) minggu lalu banyak dihabiskan untuk membicarakan tentang perang dan senjata. Tema debat keempat bagi para capres adalah ideologi, pemerintahan, pertahanan keamanan, dan hubungan internasional. Namun hingga debat berakhir, kata-kata perang, amunisi, core interest (kepentingan utama), dan sebagainya selalu muncul dalam diskusi.
Soal masalah amunisi dan persenjataan. Arah debat cenderung selalu kembali ke isu pertahanan, dan hal ini tidak lepas dari latar belakang capres Prabowo Subianto yang melihat segala isu dengan kacamata militer. Namun, hal itu juga bisa terjadi karena capres Joko Widodo belum dapat memberikan jawaban kepada Prabowo tentang apa hambatan politik kawasan masa kini, khususnya menimbang keterbatasan anggaran internal dan prioritas pembangunan, peningkatan pertahanan dan keamanan kita saat ini.
Apabila kita bicara soal pertahanan dan keamanan, kita perlu bayangkan diri kita sendiri. Bila orang memiliki senjata api di rumah maka orang itu bisa merasa aman, karena yakin tidak ada orang yang berani mengganggu. Ini yang disebut sebagai deterrence. Akan lain lagi soalnya bila tetangga kita yang tahu kita punya senjata api mulai ikut juga membeli senjata api.
Situasi itu membuat kita menjadi khawatir dan merasa perlu membeli senjata canggih yang sebisa mungkin membuat tetangga kita tidak bisa membalas (retaliate) apabila diserang. Kegiatan aksi dan reaksi seperti itu yang dinamakan arms race (perlombaan senjata). Efek dari kegiatan perlombaan senjata ini disebut security dilemma (dilema keamanan), karena awalnya mencari rasa aman tetapi berujung dengan perasaan tidak aman.
Colin S Gray (1971) menyebut empat syarat sebuah situasi dapat disebut sebagai perlombaan senjata: 1) antagonisme antara dua pihak atau lebih yang menyadari akan adanya permusuhan di antara mereka; 2) kecenderungan para pihak ini untuk menyiapkan angkatan bersenjata masing-masing agar efektif ketika berkonfrontasi dengan lawannya itu, termasuk untuk mencegah lawannya memulai konflik;
3) terjadinya persaingan militer, baik kualitatif dan atau kuantitatif; dan 4) yang berjalan seiring dengan perluasan kapasitas militer yang cepat, baik dari segi jumlah maupun kualitas.
Ancaman paling dekat dalam konteks pertahanan dan keamanan adalah tetangga kita. Kita tidak mungkin membeli persenjataan yang lebih canggih hanya karena kita bermusuhan dengan, misalnya Israel (kecuali kita memiliki watak agresor dan imperialis). Kita membeli persenjataan dimulai dari mana muncul ancaman yang paling dekat.
Analisis itu yang kemudian membawa kita kepada jenis senjata apa yang harus dibeli. Pertanyaannya kemudian, bagaimana analisis kita terhadap ancaman dari tetangga. Apakah empat faktor di atas ada di kawasan ASEAN kita?
Secara umum, perlu jujur kita katakan bahwa tidak ada ancaman yang serius dari negara-negara tetangga kita yang mengharuskan Indonesia meningkatkan anggaran militer secara besar-besarnya. Secara umum, pengeluaran anggaran untuk militer Indonesia adalah nomor dua tertinggi di ASEAN setelah Singapura, dengan tren peningkatan yang cukup signifikan dalam waktu sangat singkat.
Database SIPRI Military Expenditure menyebutkan bahwa anggaran belanja militer Indonesia meningkat dua kali lipat antara 2015 dan 2016, dan sejak 2005 hingga 2015 meningkat lebih dari dua kali lipat; statusnya peningkatan besaran anggaran serupa dengan Vietnam dan Kamboja.
Kita tidak bisa membandingkan posisi anggaran kita dengan negara seperti Singapura, karena pendapatan negara di Singapura sudah hampir 10 kali lipat Indonesia, dan negara kecil memang punya kecenderungan mengalokasikan anggaran pertahanan lebih besar dibandingkan negara-negara berpenduduk besar.
Alasan peningkatan anggaran pertahanan bervariasi di kawasan ASEAN. Ada yang disebabkan peralatan militernya sudah ketinggalan zaman (Filipina atau Kamboja), faktor pemberontakan di dalam negeri (Myanmar), atau juga karena menghadapi konflik dari pihak lain (Vietnam) khususnya dalam konflik di Laut China Selatan.
Namun demikian, Felix Heiduk (2017) dari Stiftung Wissenschaft und Politik German Institute for International and Security Affairs Tingkat mencatat bahwa telah terjadi percepatan pembelian senjata di ASEAN dalam kurun waktu 2006-2015. Pembelanjaan senjata di ASEAN secara total meningkat 57%, sementara China meningkat 132%, dengan perbandingan Eropa naik hanya 5,4%.
Rendahnya belanja militer Eropa tidak lepas karena jasa pengamanan NATO yang dikomandoi oleh Amerika Serikat (AS) atau dengan kata lain AS menjadi “supplier” jasa keamanan kawasan kepada masyarakat Eropa sehingga belanja militer Amerika lah yang tinggi.
Belanja senjata ASEAN dibandingkan kawasan lain di Asia dan Osenia juga relatif lebih kecil. SIPRI 2 melaporkan bahwa total pembelanjaan militer negara ASEAN masuk dalam urutan ketiga dari empat kawasan di Asia. Negara yang paling besar belanja militernya adalah kawasan Asia Timur, yang meliputi China, Korea, dan Jepang. Negara Osenia yang memang sebagian besar negara kecil dan negara kepulauan adalah kawasan yang paling rendah belanja militernya.
Angka-angka tersebut memiliki makna bahwa negara-negara Asia Tenggara lebih banyak sibuk berdagang daripada mempersiapkan perang. Hal ini tecermin dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil dibandingkan negara-negara di kawasan lain yang berperang.
Meski demikian, tidak berarti ASEAN juga sepi ancaman. Konflik seperti di Laut China Selatan masih ada kemungkinan untuk terakumulasi apabila masing-masing pihak belum menemukan konsensus yang lebih permanen dan menguntungkan semua pihak. Konflik-konflik di dalam negeri seperti Rohingya di Rakhine State, gerakan teroris Maute di Marawi Filipina, atau gerakan Papua Merdeka di Papua Barat adalah contoh yang dapat menjadi dasar intervensi asing ke dalam kedaulatan sebuah negara.
Kondisi terkini yang dihadapi Indonesia dalam bidang pertahanan keamanan belum terjelaskan dengan baik dalam debat capres pekan lalu. Di kawasan macam ASEAN, yang pertumbuhan ekonomi selalu menjadi pusat perhatian, isu pertahanan keamanan tetap tidak boleh luput dari perhatian, karena pada dasarnya esensi dialog dalam pertahanan keamanan juga menyangkut transaksi ekonomi dari negara-negara penjual senjata di kawasan. Eropa adalah pemasok senjata terbesar untuk Asia Tenggara, kecuali Vietnam dan Myanmar yang lebih banyak membeli dari Rusia dan China.
Dalam gelaran pembelian senjata, isunya juga bukan semata soal mau atau tidak menambah anggaran pembelian senjata, tetapi dampak dari peningkatan anggaran itu pada koalisi politik di kawasan yang saat ini dimotori AS dan China. Ada negara-negara ASEAN yang enggan bekerja sama terlalu dalam dengan negara yang membeli senjata dari negara yang menjadi rivalnya.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi di kawasan juga merupakan magnet yang kuat bagi kelompok apapun, termasuk kelompok ekstremis, untuk mencari penghidupan. Apa yang disiapkan para capres untuk mengantisipasi ini?
(poe)