Ketua YLBHI: Cara Kerja Buzzer Merusak Demokrasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kemajuan teknologi informasi (TI) memberikan sisi positif dan negatif bagi iklim demokrasi Indonesia. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan dunia digital itu bisa menjadi peluang dan gangguan bagi demokrasi.
TI mendorong pemerintah menjadi lebih responsif dalam melayani dan menanggapi keluhan masyarakat. Bahkan, masyarakat bisa bercakap-cakap dengan akun media sosial (medsos) presiden, kementerian, dan gubernur. Walaupun itu mungkin dikendalikan oleh operator. (Baca juga: ICW Sebut Dana Aktivitas Digital Pemerintah Meningkat Sejak 2017 )
Asfinawati menerangkan, TI membuat data pemerintah menjadi transparan. Asumsinya, dengan semua kebijakan, program, dan kegiatan diunggah ke situs dan media sosial, orang akan mudah mengaksesnya. Dahulu, untuk mencari data rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau tata ruang, masyarakat harus datang ke instansi dan mengajukan izin. ( )
Namun, ada sisi gelap dunia digital dengan maraknya penggunaan jasa influencer atau buzzer . Asfinawati menyatakan influencer dapat mengurangi kualitas demokrasi. "Buzzer secara prinsip tidak mempunyai basis moral untuk ada di suasana demokrasi," ujarnya dalam diskusi daring dengan tema "Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer?", Kamis (20/8/2020).
Masalah lain dari influencer ini membuat masyarakat menjadi tidak bisa membedakan mana pendapat pribadi dan iklan. Ini berbeda dengan iklan di media massa yang selalu menunjukan mana berita dan iklan.
Pemisahan mana iklan, pesanan, dan suara masyarakat asli sulit untuk ditemukan karena keberadaan buzzer. Asfinawati kembali menegaskan demokrasi adalah suara rakyat. Sementara itu, bot yang biasanya digunakan di medsos, terutama twitter, itu bukan suara rakyat.
"Mesin tidak masuk ke ruang pemilihan. Tidak memilih Pak Jokowi dan anggota DPR, yang memilih itu rakyat. Dalam proses demokrasi (sekarang), suara mesin lebih berkuasa dari suara rakyat," katanya.( )
Suara rakyat akan hilang karena kebisingan buzzer. Asfinawati menjelaskan masyarakat itu setiap hari harus berkegiatan, entah bekerja atau bertani. Maka, akan semakin sulit melawan buzzer apalagi mereka di orkestra oleh profesional. "Cara kerjanya merusak demokrasi dan memanipulasi fakta," katanya.
TI mendorong pemerintah menjadi lebih responsif dalam melayani dan menanggapi keluhan masyarakat. Bahkan, masyarakat bisa bercakap-cakap dengan akun media sosial (medsos) presiden, kementerian, dan gubernur. Walaupun itu mungkin dikendalikan oleh operator. (Baca juga: ICW Sebut Dana Aktivitas Digital Pemerintah Meningkat Sejak 2017 )
Asfinawati menerangkan, TI membuat data pemerintah menjadi transparan. Asumsinya, dengan semua kebijakan, program, dan kegiatan diunggah ke situs dan media sosial, orang akan mudah mengaksesnya. Dahulu, untuk mencari data rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau tata ruang, masyarakat harus datang ke instansi dan mengajukan izin. ( )
Namun, ada sisi gelap dunia digital dengan maraknya penggunaan jasa influencer atau buzzer . Asfinawati menyatakan influencer dapat mengurangi kualitas demokrasi. "Buzzer secara prinsip tidak mempunyai basis moral untuk ada di suasana demokrasi," ujarnya dalam diskusi daring dengan tema "Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer?", Kamis (20/8/2020).
Masalah lain dari influencer ini membuat masyarakat menjadi tidak bisa membedakan mana pendapat pribadi dan iklan. Ini berbeda dengan iklan di media massa yang selalu menunjukan mana berita dan iklan.
Pemisahan mana iklan, pesanan, dan suara masyarakat asli sulit untuk ditemukan karena keberadaan buzzer. Asfinawati kembali menegaskan demokrasi adalah suara rakyat. Sementara itu, bot yang biasanya digunakan di medsos, terutama twitter, itu bukan suara rakyat.
"Mesin tidak masuk ke ruang pemilihan. Tidak memilih Pak Jokowi dan anggota DPR, yang memilih itu rakyat. Dalam proses demokrasi (sekarang), suara mesin lebih berkuasa dari suara rakyat," katanya.( )
Suara rakyat akan hilang karena kebisingan buzzer. Asfinawati menjelaskan masyarakat itu setiap hari harus berkegiatan, entah bekerja atau bertani. Maka, akan semakin sulit melawan buzzer apalagi mereka di orkestra oleh profesional. "Cara kerjanya merusak demokrasi dan memanipulasi fakta," katanya.
(abd)