Kunjungi Kantor ACT, Pejabat Palestina Ceritakan Anak-anak di Tepi Barat
A
A
A
JAKARTA - Masalah keamanan menjadi satu di antara sekian banyak masalah yang menyelimuti warga Palestina saat ini.
Sebagai bangsa yang bertahan di bawah bayang-bayang penjajahan, mereka hidup dengan status keamanan yang rawan. Setiap harinya, mereka harus berhadapan dengan bombardir, penyerbuan oleh anggota militer Israel, serta penangkapan sewenang-wenang.
Masalah keamanan ini juga berdampak terhadap kehidupan para pelajar sekolah di Palestina. Ahmad Abu Ayesh An-Najjar selaku Direktur Hubungan Internasional-Kementerian Pendidikan Palestina menyampaikan, para pelajar di Palestina tidak luput dari serangan-serangan yang dilakukan oleh militer Israel atau para pemukim Yahudi.
Hal itu diungkapkan Abu Ayesh dalam kunjungannya ke kantor pusat Aksi Cepat Tanggap (ACT), di Jakarta Selatan, Jumat 22 Februari 2019.
Dia menjelaskan, kondisi psikologis para pelajar, khususnya yang masih berusia muda cukup tertekan karena sering terjadi bombardir, serangan atau ancaman dari para Zionis untuk kembali mengobarkan perang kepada para warga di Jalur Gaza.
"Siang dan malam, warga Gaza harus berhadapan dengan bombardir, sonic boom (dentuman dan guncangan keras yang diakibatkan pesawat yang terbang melebihi kecepatan suara), serta ancaman dari para Zionis. Selama Great March of Return yang dimulai Maret kemarin, ratusan warga Palestina syahid, beberapa di antaranya adalah anak-anak,” ungkap Ahmad.
Dia menjelaskan, Kementerian Pendidikan berusaha sekuat tenaga untuk memberikan dukungan psikologis untuk para pelajar untuk meringankan beban mereka.
Abu Ayesh memaparkan situasi di Tepi Barat pun tidak lebih aman. Anak-anak Palestina di wilayah itu harus melalui pagar-pagar besi atau pos-pos pemeriksaan hanya untuk sampai ke sekolah.
"Hanya sedikit lebih baik dari Jalur Gaza karena tidak adanya pengepungan, namun cukup banyak terjadi serangan, penangkapan, atau pembunuhan warga Palestina. Banyak terjadi pencerabutan pohon-pohon serta perkebunan zaitun," tuturnya.
Dia mengungkapkan, tembok-tembok pemisah yang dibangun di kota-kota di Tepi Barat juga membuat situasi menjadi sulit bagi para pelajar karena mereka harus melalui sejumlah pagar besi atau pos pemeriksaan untuk sampai ke sekolah.
“Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Kementerian Pendidikan berusaha sekuat tenaga untuk memberikan dukungan psikologis untuk para pelajar untuk meringankan beban mereka. Situasi saat ini sangat buruk dan memiliki dampak yang sangat negatif pada proses pendidikan,” tambah Ahmad.
Pendidikan di Palestina terhambat oleh kerawanan pangan, krisis finansial, hingga represi dari pemerintah dan pemukim Zionis
Kantor Koordinasi Urusan-Urusan Kemanusiaan PBB (UN OCHA) melaporkan setidaknya sejak awal tahun ajaran 2018-2019, tepatnya di bulan Agustus 2018, terjadi peningkatan insiden yang mengganggu proses pendidikan di Tepi Barat.
Insiden-insiden yang melibatkan militer Israel atau pemukum Yahudi ini meliputi penghentian, gangguan terhadap para pelajar di pos-pos pemeriksaan atau wilayah lain, bentrokan di sekitar sekolah, serta operasi penyerangan atau pemeriksaan yang melibatkan kekerasan di dalam sekolah.
Setidaknya 17 insiden dicatat oleh OCHA sejak awal 2018 hingga pertengahan November tahun lalu. Sebanyak 323 warga Palestina, termasuk 225 anak-anak, dilaporkan luka-luka. Tiga disebabkan oleh peluru tajam, 15 korban luka disebabkan oleh peluru karet, dan sebagian besarnya disebabkan karena menghirup gas air mata.
Salah satu insiden penangkapan yang melibatkan pelajar Palestina terjadi pada tanggal 12 November 2018. Dua belas orang pelajar Palestina ditangkap atas tuduhan melemparkan batu ke arah sebuah mobil milik warga Israel.
“Sangat sulit rasanya melihat ibu saya menangis dan memohon kepada para prajurit Israel untuk membebaskan saya. Kejadian tersebut tidak dapat saya lupakan,” kata Mohammed (17 tahun, bukan nama sebenarnya), seorang siswa kelas dua belas di sekolah As Sawiya al Lubban.
Setelah para pelajar diinterogasi dan diperiksa selama dua jam, mereka pun dilepaskan kecuali Mohammad. Ia dibawa menggunakan mobil militer ke Desa Sinjel, 10 kilometer dari sekolahnya.
Sebuah sekolah di Hebron yang dirobohkan pemerintah Israel atas tuduhan tak berizin.
“Para tentara memindahkan saya dari jeep dan membuka penutup mata saya, dan mendudukkan saya di depan seorang perempuan yang merupakan seorang pemukim Yahudi. Si perempuan menunjukkan foto-foto di telepon genggamnya kepada para tentara. Mereka mengancam saya, dan menuduh saya melemparkan batu ke arah mobil. Mereka mengancam bahwa saya akan masuk penjara. Saya sama sekali tidak khawatir saat itu karena saya memang tidak melempar batu,” kata Mohammed.
“Para tentara itu kembali memborgol dan menutup mata saya. Kali ini mereka memaksa saya berbaring di lantai jeep dan membawa saya ke pangkalan militer di Al-Huwwara (Nablus). Saat itu, saya benar-benar sangat takut. Saya memikirkan bagaimana mereka menuduh saya atas tuduhan palsu dan mengancam memenjarakan saya. Saya terancam tidak dapat menyelesaikan tahun terakhir saya di sekolah dan tidak dapat masuk universitas,” tuturnya.
Sebagai bangsa yang bertahan di bawah bayang-bayang penjajahan, mereka hidup dengan status keamanan yang rawan. Setiap harinya, mereka harus berhadapan dengan bombardir, penyerbuan oleh anggota militer Israel, serta penangkapan sewenang-wenang.
Masalah keamanan ini juga berdampak terhadap kehidupan para pelajar sekolah di Palestina. Ahmad Abu Ayesh An-Najjar selaku Direktur Hubungan Internasional-Kementerian Pendidikan Palestina menyampaikan, para pelajar di Palestina tidak luput dari serangan-serangan yang dilakukan oleh militer Israel atau para pemukim Yahudi.
Hal itu diungkapkan Abu Ayesh dalam kunjungannya ke kantor pusat Aksi Cepat Tanggap (ACT), di Jakarta Selatan, Jumat 22 Februari 2019.
Dia menjelaskan, kondisi psikologis para pelajar, khususnya yang masih berusia muda cukup tertekan karena sering terjadi bombardir, serangan atau ancaman dari para Zionis untuk kembali mengobarkan perang kepada para warga di Jalur Gaza.
"Siang dan malam, warga Gaza harus berhadapan dengan bombardir, sonic boom (dentuman dan guncangan keras yang diakibatkan pesawat yang terbang melebihi kecepatan suara), serta ancaman dari para Zionis. Selama Great March of Return yang dimulai Maret kemarin, ratusan warga Palestina syahid, beberapa di antaranya adalah anak-anak,” ungkap Ahmad.
Dia menjelaskan, Kementerian Pendidikan berusaha sekuat tenaga untuk memberikan dukungan psikologis untuk para pelajar untuk meringankan beban mereka.
Abu Ayesh memaparkan situasi di Tepi Barat pun tidak lebih aman. Anak-anak Palestina di wilayah itu harus melalui pagar-pagar besi atau pos-pos pemeriksaan hanya untuk sampai ke sekolah.
"Hanya sedikit lebih baik dari Jalur Gaza karena tidak adanya pengepungan, namun cukup banyak terjadi serangan, penangkapan, atau pembunuhan warga Palestina. Banyak terjadi pencerabutan pohon-pohon serta perkebunan zaitun," tuturnya.
Dia mengungkapkan, tembok-tembok pemisah yang dibangun di kota-kota di Tepi Barat juga membuat situasi menjadi sulit bagi para pelajar karena mereka harus melalui sejumlah pagar besi atau pos pemeriksaan untuk sampai ke sekolah.
“Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Kementerian Pendidikan berusaha sekuat tenaga untuk memberikan dukungan psikologis untuk para pelajar untuk meringankan beban mereka. Situasi saat ini sangat buruk dan memiliki dampak yang sangat negatif pada proses pendidikan,” tambah Ahmad.
Pendidikan di Palestina terhambat oleh kerawanan pangan, krisis finansial, hingga represi dari pemerintah dan pemukim Zionis
Kantor Koordinasi Urusan-Urusan Kemanusiaan PBB (UN OCHA) melaporkan setidaknya sejak awal tahun ajaran 2018-2019, tepatnya di bulan Agustus 2018, terjadi peningkatan insiden yang mengganggu proses pendidikan di Tepi Barat.
Insiden-insiden yang melibatkan militer Israel atau pemukum Yahudi ini meliputi penghentian, gangguan terhadap para pelajar di pos-pos pemeriksaan atau wilayah lain, bentrokan di sekitar sekolah, serta operasi penyerangan atau pemeriksaan yang melibatkan kekerasan di dalam sekolah.
Setidaknya 17 insiden dicatat oleh OCHA sejak awal 2018 hingga pertengahan November tahun lalu. Sebanyak 323 warga Palestina, termasuk 225 anak-anak, dilaporkan luka-luka. Tiga disebabkan oleh peluru tajam, 15 korban luka disebabkan oleh peluru karet, dan sebagian besarnya disebabkan karena menghirup gas air mata.
Salah satu insiden penangkapan yang melibatkan pelajar Palestina terjadi pada tanggal 12 November 2018. Dua belas orang pelajar Palestina ditangkap atas tuduhan melemparkan batu ke arah sebuah mobil milik warga Israel.
“Sangat sulit rasanya melihat ibu saya menangis dan memohon kepada para prajurit Israel untuk membebaskan saya. Kejadian tersebut tidak dapat saya lupakan,” kata Mohammed (17 tahun, bukan nama sebenarnya), seorang siswa kelas dua belas di sekolah As Sawiya al Lubban.
Setelah para pelajar diinterogasi dan diperiksa selama dua jam, mereka pun dilepaskan kecuali Mohammad. Ia dibawa menggunakan mobil militer ke Desa Sinjel, 10 kilometer dari sekolahnya.
Sebuah sekolah di Hebron yang dirobohkan pemerintah Israel atas tuduhan tak berizin.
“Para tentara memindahkan saya dari jeep dan membuka penutup mata saya, dan mendudukkan saya di depan seorang perempuan yang merupakan seorang pemukim Yahudi. Si perempuan menunjukkan foto-foto di telepon genggamnya kepada para tentara. Mereka mengancam saya, dan menuduh saya melemparkan batu ke arah mobil. Mereka mengancam bahwa saya akan masuk penjara. Saya sama sekali tidak khawatir saat itu karena saya memang tidak melempar batu,” kata Mohammed.
“Para tentara itu kembali memborgol dan menutup mata saya. Kali ini mereka memaksa saya berbaring di lantai jeep dan membawa saya ke pangkalan militer di Al-Huwwara (Nablus). Saat itu, saya benar-benar sangat takut. Saya memikirkan bagaimana mereka menuduh saya atas tuduhan palsu dan mengancam memenjarakan saya. Saya terancam tidak dapat menyelesaikan tahun terakhir saya di sekolah dan tidak dapat masuk universitas,” tuturnya.
(dam)