Indonesia Harus Belajar Mitigasi sejak Dini
A
A
A
JAKARTA - Indonesia adalah negara yang rentan dengan ancaman bencana. Bukan hanya bencana geologi seperti gunung meletus, gempa bumi (tektonik dan vulkanik), dan tsunami, tapi juga bencana alam hidrometropologi semacam tanah longsor, banjir, hingga likuifaksi.
Senior Vice Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Syuhelmaidi Syukur menyatakan bahwa Indonesia perlu menyadari potensi bencana yang mengelilinginya.
”Kita harus lebih baik dalam semua aspek, khususnya bagaimana melihat potensi bencana pada 2019. Karena kita sadar dan paham bahwa Indonesia merupakan negeri yang kaya potensi sumber daya alamnya, namun besar pula ancaman bencananya,” ungkapnya saat pembukaan forum Yayasan ACT dan Disaster Management Institute of Indonesia (DMII) bertema “Disaster Outlook, Meneropong Potensi Ancaman Bencana dan Upaya Mitigasi” di Hotel Bidakara, Jakarta, kemarin.
Syuhelmaidi menjelaskan, posisi Indonesia berada di dalam lingkaran besar, yakni di wilayah cincin api di tengah lempeng. Karena itu, negeri ini memiliki potensi besar bencana alam. Dia menjelaskan, tahun 2018 adalah tahun dengan pengalaman yang sangat luar biasa, karena ada tiga kejadian besar yang menimpa Indonesia. Pertama, bencana gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kedua, gempa, tsunami, dan likuifaksi yang menerjang Sulawesi Tengah. Terakhir, bencana tsunami Selat Sunda yang memorak porandakan pesisir Banten dan sebagian wilayah Lampung.
“Kita sudah melihat bagaimana dampaknya ketiga bencana itu. Karena itu, ACT berkomitmen untuk membantu proses mitigasi bencana di Indonesia,” ujar Syhelmaidi.
Syuhelmaidi pun mengingatkan agar Indonesia belajar proses mitigasi bencana sejak dini. Apalagi, negeri ini memiliki banyak ahli untuk membantu apa yang bisa dilakukan sebelum, saat, dan setelah terjadinya bencana.
“Kami memiliki banyak ahli dan kampus yang konsen terhadap proses mitigasi bencana. Maka dari itu, semua stakeholder harus berpartisipasi dalam proses mitigasi bencana. Karena itu, kami mengajak semua pihak untuk konsen terhadap permasalahan negeri ini, terutama bencana alam dan bencana sosial. Sehingga, masyarakat Indonesia memiliki ketangguhan ketika menghadapi bencana,” katanya.
Kepala Mitigasi Gunungapi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Hendra Gunawan, mengatakan, bahwa dalam proses mitigasi bencana, Badan Geologi sebenarnya telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah, terutama di daerah. Namun, permasalahannya adalah rekomendasi yang telah diberikan kepada daerah tidak dijalankan.
”Kalau belum terjadi bencana tidak ada penanganan lanjut. Ini yang menjadi masalah di Indonesia hingga saat ini,” tegas Hendra.
Dia juga menjelaskan bahwa dalam proses mitigasi bencana seharusnya tidak hanya fokus pada pemerintah pusat, namun lebih bersifat kedaerahan. “Prioritas mitigasi melekat pada kebencanaan daerah. Sehingga, masing-masing daerah dalam proses mitigasi ini melakukan pendekatan kedaerahan atau lokalitas. Kemudian early warning system ini juga telah diberlakukan,” tegasnya.
Agie Wandala Putra, Kepala Sub Bidang Prediksi Cuaca BMKG mengungkapkan bahwa 2018 menjadi moment of silent bagi Indonesia. Menurut dia, Indonesia adalah negara nan begitu indah, namun berada di ring of fire. Yakni berada pada bagian bumi kontinen tropis yang menyimpan energi besar tapi di sisi lain berpotensi besar terjadinya bencana.
“Indonesia juga berada di tempat bertemunya udara di utara dan selatan bumi. Ini yang menyebabkan wilayah Indonesia dalam kondisi sama, namun memiliki potensi bencana berbeda. Di daerah yang satu misalnya, menyiapkan bencana karena curah hujan tinggi, namun di daerah lain akan mempersiapkan musim kemarau yang mengintai kebakaran hutan,” katanya.
Agie juga menjelaskan bahwa bencana yang terjadi di Indonesia paling banyak diakibatkan oleh air, yakni 95% berasal dari bencana hidrometerologi. Ancaman ini sungguh nyata, bahkan frekuensinya cukup sering dan tinggi.
“Saya ingin menarik kembali bahwa posisi geografis Indonesia berada pada bumi yang sangat indah di ekuator dan tropis di mana kita berada di laut dan benua yang sejatinya adalah pertemuan air,” katanya.
Danny Hilman Natawidjaja, Peneliti LIPI dan Ketua Kelompok Kerja Geologi Pusat Studi Gempa Nasional juga mengungkapkan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap gempa, terutama karena Indonesia berada di dalam zona gempa yang diakibatkan pergerakan tiga lempeng. Bahkan jika dibandingkan Jepang, potensi gempa Indonesia tiga kali lipat lebih besar dari Jepang, sehingga mitigasi bencana gempa ini lebih besar pula.
“Indonesia terhimpit lempeng ini, sehingga interior Indonesia terdapat sesar-sesar atau patahan-patahan yang menyebabkan Indonesia sering terjadi gempa. Potensi gempa di Indonesia itu lebih besar dibanding Jepang,” tegasnya.
Gegar S Prasetya, Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia mengungkapkan bahwa dalam mitigasi bencana pembangunan di daerah harus disesuaikan dengan rekomendasi lembaga terkait agar tidak terjadi kerusakan besar jika terjadi bencana.
“Kerusakan akibat tsunami adalah diterjang air. Setelah kejadian tsunami, waktu yang dilakukan untuk pembersihan adalah 6 bulan lebih. Tsunami ini menerjang bangunan-bangunan sehingga nanti bisa menjadi pembelajaran jika melakukan pembangunan,” katanya. (Binti Mufarida)
Senior Vice Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Syuhelmaidi Syukur menyatakan bahwa Indonesia perlu menyadari potensi bencana yang mengelilinginya.
”Kita harus lebih baik dalam semua aspek, khususnya bagaimana melihat potensi bencana pada 2019. Karena kita sadar dan paham bahwa Indonesia merupakan negeri yang kaya potensi sumber daya alamnya, namun besar pula ancaman bencananya,” ungkapnya saat pembukaan forum Yayasan ACT dan Disaster Management Institute of Indonesia (DMII) bertema “Disaster Outlook, Meneropong Potensi Ancaman Bencana dan Upaya Mitigasi” di Hotel Bidakara, Jakarta, kemarin.
Syuhelmaidi menjelaskan, posisi Indonesia berada di dalam lingkaran besar, yakni di wilayah cincin api di tengah lempeng. Karena itu, negeri ini memiliki potensi besar bencana alam. Dia menjelaskan, tahun 2018 adalah tahun dengan pengalaman yang sangat luar biasa, karena ada tiga kejadian besar yang menimpa Indonesia. Pertama, bencana gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kedua, gempa, tsunami, dan likuifaksi yang menerjang Sulawesi Tengah. Terakhir, bencana tsunami Selat Sunda yang memorak porandakan pesisir Banten dan sebagian wilayah Lampung.
“Kita sudah melihat bagaimana dampaknya ketiga bencana itu. Karena itu, ACT berkomitmen untuk membantu proses mitigasi bencana di Indonesia,” ujar Syhelmaidi.
Syuhelmaidi pun mengingatkan agar Indonesia belajar proses mitigasi bencana sejak dini. Apalagi, negeri ini memiliki banyak ahli untuk membantu apa yang bisa dilakukan sebelum, saat, dan setelah terjadinya bencana.
“Kami memiliki banyak ahli dan kampus yang konsen terhadap proses mitigasi bencana. Maka dari itu, semua stakeholder harus berpartisipasi dalam proses mitigasi bencana. Karena itu, kami mengajak semua pihak untuk konsen terhadap permasalahan negeri ini, terutama bencana alam dan bencana sosial. Sehingga, masyarakat Indonesia memiliki ketangguhan ketika menghadapi bencana,” katanya.
Kepala Mitigasi Gunungapi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Hendra Gunawan, mengatakan, bahwa dalam proses mitigasi bencana, Badan Geologi sebenarnya telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah, terutama di daerah. Namun, permasalahannya adalah rekomendasi yang telah diberikan kepada daerah tidak dijalankan.
”Kalau belum terjadi bencana tidak ada penanganan lanjut. Ini yang menjadi masalah di Indonesia hingga saat ini,” tegas Hendra.
Dia juga menjelaskan bahwa dalam proses mitigasi bencana seharusnya tidak hanya fokus pada pemerintah pusat, namun lebih bersifat kedaerahan. “Prioritas mitigasi melekat pada kebencanaan daerah. Sehingga, masing-masing daerah dalam proses mitigasi ini melakukan pendekatan kedaerahan atau lokalitas. Kemudian early warning system ini juga telah diberlakukan,” tegasnya.
Agie Wandala Putra, Kepala Sub Bidang Prediksi Cuaca BMKG mengungkapkan bahwa 2018 menjadi moment of silent bagi Indonesia. Menurut dia, Indonesia adalah negara nan begitu indah, namun berada di ring of fire. Yakni berada pada bagian bumi kontinen tropis yang menyimpan energi besar tapi di sisi lain berpotensi besar terjadinya bencana.
“Indonesia juga berada di tempat bertemunya udara di utara dan selatan bumi. Ini yang menyebabkan wilayah Indonesia dalam kondisi sama, namun memiliki potensi bencana berbeda. Di daerah yang satu misalnya, menyiapkan bencana karena curah hujan tinggi, namun di daerah lain akan mempersiapkan musim kemarau yang mengintai kebakaran hutan,” katanya.
Agie juga menjelaskan bahwa bencana yang terjadi di Indonesia paling banyak diakibatkan oleh air, yakni 95% berasal dari bencana hidrometerologi. Ancaman ini sungguh nyata, bahkan frekuensinya cukup sering dan tinggi.
“Saya ingin menarik kembali bahwa posisi geografis Indonesia berada pada bumi yang sangat indah di ekuator dan tropis di mana kita berada di laut dan benua yang sejatinya adalah pertemuan air,” katanya.
Danny Hilman Natawidjaja, Peneliti LIPI dan Ketua Kelompok Kerja Geologi Pusat Studi Gempa Nasional juga mengungkapkan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap gempa, terutama karena Indonesia berada di dalam zona gempa yang diakibatkan pergerakan tiga lempeng. Bahkan jika dibandingkan Jepang, potensi gempa Indonesia tiga kali lipat lebih besar dari Jepang, sehingga mitigasi bencana gempa ini lebih besar pula.
“Indonesia terhimpit lempeng ini, sehingga interior Indonesia terdapat sesar-sesar atau patahan-patahan yang menyebabkan Indonesia sering terjadi gempa. Potensi gempa di Indonesia itu lebih besar dibanding Jepang,” tegasnya.
Gegar S Prasetya, Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia mengungkapkan bahwa dalam mitigasi bencana pembangunan di daerah harus disesuaikan dengan rekomendasi lembaga terkait agar tidak terjadi kerusakan besar jika terjadi bencana.
“Kerusakan akibat tsunami adalah diterjang air. Setelah kejadian tsunami, waktu yang dilakukan untuk pembersihan adalah 6 bulan lebih. Tsunami ini menerjang bangunan-bangunan sehingga nanti bisa menjadi pembelajaran jika melakukan pembangunan,” katanya. (Binti Mufarida)
(nfl)