DPR Harus Terima Masukan Publik Terkait Pelibatan TNI Atasi Terorisme
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) tentang Pelibatan TNI Mengatasi Aksi Terorisme, hingga saat ini belum dilakukan pembahasan oleh pimpinan DPR. Pasalnya R-Perpres tersebut menimbulkan polemik di mata masyarakat.
(Baca juga: Pemerintah Akan Bentuk Komcad, Imparsial: Lebih Baik Perkuat dan Benahi TNI Dulu)
Menanggapi hal itu, Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri mengatakan, dalam R-Perpres tersebut pimpinan DPR RI harus terbuka dan menerima masukan-masukan yang diberikan publik terkait dengan R-Perpres.
(Baca juga: Inpres Nomor 6, TNI Tegaskan Pelibatan Atasi Corona Jauh Sebelum Pandemi)
"DPR harus secara terbuka, dan menerima masukan-masukan publik tentu menjadi penting. Harus ada keseimbangan antara menjaga keamanan dan melindungi HAM," kata Ghufron dalam sebuah diskusi virtual Menimbang Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, Selasa (18/8/2020).
Menurutnya, langkah pemerintah terkesan memaksakan agar militer masuk penanganan terorisme. Karena pada dasarnya TNI itu dilatih untuk perang maka dari itu menjadi berbahaya.
"Tugas TNI dalam menjalankan opersi militer selain perang, dalam hal ini mengatasi aksi terorisme, harus diletakkan fungsinya sebatas penindakkan yaitu keterlibatan militer dalam penindakan terorisme harus bersifat terbatas," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Abd Wachid Habibullah mengatakan, terkait dengan R-Perpres tentang pelibatan TNI mengatasi aksi Terorisme sebenarnya yang bermasalah adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Yang kita tahu sendiri sebenarnya UU ini dikeluarkan secara reaksional, karena pada saat itu ada bom Surabaya. Sebenarnya membuat Perpres sangat tidak tepat dalam mengatur mengenai tugas dan fungsi, karena harus ada upaya hukum lebih kuat daripada Perpres. Perpres itu adalah tindakan sepihak yang dilakukan oleh presiden, seharusnya perpres itu suatu aturan teknik pelaksana bukan kewenangan baru," ucap Wachid.
(Baca juga: Pemerintah Akan Bentuk Komcad, Imparsial: Lebih Baik Perkuat dan Benahi TNI Dulu)
Menanggapi hal itu, Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri mengatakan, dalam R-Perpres tersebut pimpinan DPR RI harus terbuka dan menerima masukan-masukan yang diberikan publik terkait dengan R-Perpres.
(Baca juga: Inpres Nomor 6, TNI Tegaskan Pelibatan Atasi Corona Jauh Sebelum Pandemi)
"DPR harus secara terbuka, dan menerima masukan-masukan publik tentu menjadi penting. Harus ada keseimbangan antara menjaga keamanan dan melindungi HAM," kata Ghufron dalam sebuah diskusi virtual Menimbang Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, Selasa (18/8/2020).
Menurutnya, langkah pemerintah terkesan memaksakan agar militer masuk penanganan terorisme. Karena pada dasarnya TNI itu dilatih untuk perang maka dari itu menjadi berbahaya.
"Tugas TNI dalam menjalankan opersi militer selain perang, dalam hal ini mengatasi aksi terorisme, harus diletakkan fungsinya sebatas penindakkan yaitu keterlibatan militer dalam penindakan terorisme harus bersifat terbatas," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Abd Wachid Habibullah mengatakan, terkait dengan R-Perpres tentang pelibatan TNI mengatasi aksi Terorisme sebenarnya yang bermasalah adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Yang kita tahu sendiri sebenarnya UU ini dikeluarkan secara reaksional, karena pada saat itu ada bom Surabaya. Sebenarnya membuat Perpres sangat tidak tepat dalam mengatur mengenai tugas dan fungsi, karena harus ada upaya hukum lebih kuat daripada Perpres. Perpres itu adalah tindakan sepihak yang dilakukan oleh presiden, seharusnya perpres itu suatu aturan teknik pelaksana bukan kewenangan baru," ucap Wachid.
(maf)