KAMI Diingatkan Tak Keluarkan Pernyataan Tendensius yang Melanggar Hukum
loading...
A
A
A
JAKARTA - Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang digagas sejumlah tokoh nasional seperti Din Syamsuddin, hari ini resmi dideklarasikan di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Koalisi tersebut dipastikan bakal terus menyampaikan kritik terhadap jalannya pemerintahan Presiden Jokowi-KH. Ma’ruf Amin.
”Sebatas pemberitaan viral di media sosial masih dalam tataran kritik/pernyataan terhadap kebijakan maupun keputusan pemerintah, itu dijamin oleh konstitusi dalam kerangka kebebasan berpendapat dan belum bisa dikategorikan pemberitaan provokatif,” ujar pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (18/8/2020). (Baca juga: Deklarasi KAMI Dibanjiri Pendukung, Ini Deretan Tokoh yang Hadir)
Apabila KAMI melakukan kritik atau pernyataan terhadap kebijakan maupun keputusan pemerintah dengan tuduhan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melanggar konstitusi karena melanggar politik bebas aktif. Serta menyebut pemerintah melakukan pembiaran dengan masuknya militer China dengan covering TKA dan munculnya PKI gaya baru yang dibiarkan pemerintah, ataupun pendapat-pendapat yang membungkus seolah kebebasan berpendapat sebagai jaminan konstitusi yang puncaknya adalah provokasi penggantian pucuk pimpinan negara maka itu bisa dikatakan penghinaan formil. (Baca juga: Pembentukan KAMI Dinilai Sarat dengan Kepentingan Politis)
”Jika dilakukan dengan cara-cara kasar, tidak objektif dan sopan, serta tidak konstruktif dan tak zakelijk sifatnya sehingga membawa orang tersebut dalam apa yang kemudian disebut sebagai kebencian (hatred), ejekan/cemoohan (ridicule) ataupun penghinaan (contempt), maka kritik atau pernyataan itu menjadi bentuk penghinaan formil yang strafbaar sifatnya. Jadi haruslah dibedakan antara kritik/pernyataan dalam konteks kebebasan berpendapat dengan penghinaan formil yang melanggar hukum,” katanya.
Selain itu, sambung Indriyanto, kritik, pernyataan ataupun pendapat-pendapat yang membungkus seolah kebebasan berpendapat sebagai jaminan konstitusi yang puncaknya adalah provokasi penggantian pucuk pimpinan negara akan mengarah kepada makar dengan ukuran objektif. Sebagaimana dikatakan Prof Eddy OS Hiariej bahwa Niat (Voornemen) dan Permulaan Pelaksanaan (Begin Van Uitvoering) yang sudah mendekati delik yang dituju (Voluntas Reputabitur Pro Facto) adalah cara-cara inkonstitusional yang menghendaki (niat) perlawanan terhadap pemerintahan yang sah sebagai pemenuhan unsur delik makar Pasal 107 KUHPidana.
"KAMI sebaiknya bersikap konstitusional karena pernyataan kebebasan berpendapat secara politik tidak pernah bersifat absolut tanpa batas. Dalam kehidupan bernegara, ada limitasi-limitasi regulasi dan doktrin hukum yang memberikan pagar politik dan hukum secara implementatif, jangan sampai ada destruksi rambu-rambu untuk melanggar hukum,” katanya.
”Sebatas pemberitaan viral di media sosial masih dalam tataran kritik/pernyataan terhadap kebijakan maupun keputusan pemerintah, itu dijamin oleh konstitusi dalam kerangka kebebasan berpendapat dan belum bisa dikategorikan pemberitaan provokatif,” ujar pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (18/8/2020). (Baca juga: Deklarasi KAMI Dibanjiri Pendukung, Ini Deretan Tokoh yang Hadir)
Apabila KAMI melakukan kritik atau pernyataan terhadap kebijakan maupun keputusan pemerintah dengan tuduhan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melanggar konstitusi karena melanggar politik bebas aktif. Serta menyebut pemerintah melakukan pembiaran dengan masuknya militer China dengan covering TKA dan munculnya PKI gaya baru yang dibiarkan pemerintah, ataupun pendapat-pendapat yang membungkus seolah kebebasan berpendapat sebagai jaminan konstitusi yang puncaknya adalah provokasi penggantian pucuk pimpinan negara maka itu bisa dikatakan penghinaan formil. (Baca juga: Pembentukan KAMI Dinilai Sarat dengan Kepentingan Politis)
”Jika dilakukan dengan cara-cara kasar, tidak objektif dan sopan, serta tidak konstruktif dan tak zakelijk sifatnya sehingga membawa orang tersebut dalam apa yang kemudian disebut sebagai kebencian (hatred), ejekan/cemoohan (ridicule) ataupun penghinaan (contempt), maka kritik atau pernyataan itu menjadi bentuk penghinaan formil yang strafbaar sifatnya. Jadi haruslah dibedakan antara kritik/pernyataan dalam konteks kebebasan berpendapat dengan penghinaan formil yang melanggar hukum,” katanya.
Selain itu, sambung Indriyanto, kritik, pernyataan ataupun pendapat-pendapat yang membungkus seolah kebebasan berpendapat sebagai jaminan konstitusi yang puncaknya adalah provokasi penggantian pucuk pimpinan negara akan mengarah kepada makar dengan ukuran objektif. Sebagaimana dikatakan Prof Eddy OS Hiariej bahwa Niat (Voornemen) dan Permulaan Pelaksanaan (Begin Van Uitvoering) yang sudah mendekati delik yang dituju (Voluntas Reputabitur Pro Facto) adalah cara-cara inkonstitusional yang menghendaki (niat) perlawanan terhadap pemerintahan yang sah sebagai pemenuhan unsur delik makar Pasal 107 KUHPidana.
"KAMI sebaiknya bersikap konstitusional karena pernyataan kebebasan berpendapat secara politik tidak pernah bersifat absolut tanpa batas. Dalam kehidupan bernegara, ada limitasi-limitasi regulasi dan doktrin hukum yang memberikan pagar politik dan hukum secara implementatif, jangan sampai ada destruksi rambu-rambu untuk melanggar hukum,” katanya.
(cip)