75 Tahun
loading...
A
A
A
KEMARIN, Republik Indonesia genap berusia 75 tahun. Ditilik dari umurnya, bangsa ini bisa dibilang tak muda. Namun, jika membandingkan dengan negara-negara mayoritas maju lainnya, Indonesia juga bisa dikategorikan belum tua.
Terlepas dari angka-angka yang melingkupinya, peringatan Kemerdekaan RI tahun ini sangatlah istimewa. Tergolong tak biasa karena kemerdekaan diperingati dalam suasana keprihatinan mendalam akibat pandemi Covid-19. Namun, yang lebih memprihatinkan, pekik kemerdekaan terasa belum membahana. Pekik merdeka tak sekadar berarti suara lantang. Lebih dari itu, pekik itu bermakna keberanian Indonesia untuk lepas dari belenggu dan ketakutan dalam arti sebenarnya.
Wabah korona sudah sepatutnya menjadi pelajaran berharga bagi seluruh elemen bangsa untuk mengkaji ulang sejauh mana makna merdeka yang kita dengung-dengungkan selama ini. Virus korona yang tak tampak kasatmata terbukti telah memorak-porandakan tatanan dan sendi kehidupan. Di tengah kondisi yang dialami secara global ini, tampak sekali masing-masing pihak, baik itu negara, lembaga, kelompok, atau individu seolah berupaya membuat skenario penyelamatan diri sendiri.
Kebijakan yang telat, coba-coba, ego sektoral, bahkan cenderung bertabrakan satu dengan yang lain membuat situasi saat krisis ini makin miris. Fenomena negatif yang tak henti ini membuat relasi antara negara dan rakyat menjadi terkoyak. Masalah kian serius manakala di lapangan, kebijakan-kebijakan itu juga membuat benturan antarwarga terus saja terjadi. Distribusi bantuan sosial (bansos) misalnya yang tumpang tindih dan tak merata adalah di antaranya.
Di usia 75 tahun yang bisa digolongkan tak muda lagi, faktanya bangsa ini seolah masih rapuh. Tatanan sosial mudah terkoyak, bahkan kadang hanya dipicu persoalan yang sepele. Persatuan bangsa juga beberapa kali diganggu dengan cara pandang masyarakat yang masih saja mementingkan agama, suku, ras, organisasi, atau hal yang bersifat etnisitas dan identitas. Hal ini makin diperparah manakala elite juga memanfaatkan situasi tersebut untuk kepentingan pribadi, politik, atau praktis lainnya.
Di tengah kondisi ini, mengeja ulang makna kemerdekaan adalah sebuah keniscayaan. Beragamnya identitas dan etnisitas yang tumbuh di berbagai belahan wilayah Indonesia hakikatnya bukan menjadi penghalang untuk memupuk persatuan. Justru, ketika para pejuang dan founding fathers bekerja keras mencapai titik kemerdekaan pada 1945 silam, sikap dini yang dibangun adalah adanya perasaan yang sama akan pentingnya bersatu. Di saat bangsa ini terjajah dan penuh keterbatasan, kemerdekaan mustahil tercapai tanpa bergandeng tangan, memberanikan sikap dan tekad untuk melawan ketidakadilan.
Usia 75 tahun saat ini sepatutnya menjadi tonggak untuk mensyukuri sekaligus mengevaluasi diri. Sejauh mana kesadaran bersama (collective conciousness) masih tertanam di benak kita. Situasi krisis ekonomi dan pandemi saat ini hakikatnya mirip seperti dialami para pejuang dulu yang menghadapi kondisi penuh keterbatasan. Tentu selalu ada oknum yang menjadi jongos dan cenderung berpikir perut sendiri di saat rakyat lainnya berjuang melepaskan penjajahan atau situasi sulit. Namun, hal itu jangan sampai membuat elemen bangsa ciut nyali dan terpecah.
Justru, saatnya semua pihak memiliki collective conciusness bahwa Indonesia adalah bangsa besar dan kuat. Kontraksi berbagai lini patut menjadi momentum bangsa ini untuk tampil, berkolaborasi, dan menunjukkan diri bahwa kita adalah bangsa yang merdeka. Saatnya Indonesia bersikap sebagai bangsa yang memiliki kemauan besar, kebersamaan, dan tidak tergantung atau mudah diintervensi oleh bangsa lain.
Terlepas dari angka-angka yang melingkupinya, peringatan Kemerdekaan RI tahun ini sangatlah istimewa. Tergolong tak biasa karena kemerdekaan diperingati dalam suasana keprihatinan mendalam akibat pandemi Covid-19. Namun, yang lebih memprihatinkan, pekik kemerdekaan terasa belum membahana. Pekik merdeka tak sekadar berarti suara lantang. Lebih dari itu, pekik itu bermakna keberanian Indonesia untuk lepas dari belenggu dan ketakutan dalam arti sebenarnya.
Wabah korona sudah sepatutnya menjadi pelajaran berharga bagi seluruh elemen bangsa untuk mengkaji ulang sejauh mana makna merdeka yang kita dengung-dengungkan selama ini. Virus korona yang tak tampak kasatmata terbukti telah memorak-porandakan tatanan dan sendi kehidupan. Di tengah kondisi yang dialami secara global ini, tampak sekali masing-masing pihak, baik itu negara, lembaga, kelompok, atau individu seolah berupaya membuat skenario penyelamatan diri sendiri.
Kebijakan yang telat, coba-coba, ego sektoral, bahkan cenderung bertabrakan satu dengan yang lain membuat situasi saat krisis ini makin miris. Fenomena negatif yang tak henti ini membuat relasi antara negara dan rakyat menjadi terkoyak. Masalah kian serius manakala di lapangan, kebijakan-kebijakan itu juga membuat benturan antarwarga terus saja terjadi. Distribusi bantuan sosial (bansos) misalnya yang tumpang tindih dan tak merata adalah di antaranya.
Di usia 75 tahun yang bisa digolongkan tak muda lagi, faktanya bangsa ini seolah masih rapuh. Tatanan sosial mudah terkoyak, bahkan kadang hanya dipicu persoalan yang sepele. Persatuan bangsa juga beberapa kali diganggu dengan cara pandang masyarakat yang masih saja mementingkan agama, suku, ras, organisasi, atau hal yang bersifat etnisitas dan identitas. Hal ini makin diperparah manakala elite juga memanfaatkan situasi tersebut untuk kepentingan pribadi, politik, atau praktis lainnya.
Di tengah kondisi ini, mengeja ulang makna kemerdekaan adalah sebuah keniscayaan. Beragamnya identitas dan etnisitas yang tumbuh di berbagai belahan wilayah Indonesia hakikatnya bukan menjadi penghalang untuk memupuk persatuan. Justru, ketika para pejuang dan founding fathers bekerja keras mencapai titik kemerdekaan pada 1945 silam, sikap dini yang dibangun adalah adanya perasaan yang sama akan pentingnya bersatu. Di saat bangsa ini terjajah dan penuh keterbatasan, kemerdekaan mustahil tercapai tanpa bergandeng tangan, memberanikan sikap dan tekad untuk melawan ketidakadilan.
Usia 75 tahun saat ini sepatutnya menjadi tonggak untuk mensyukuri sekaligus mengevaluasi diri. Sejauh mana kesadaran bersama (collective conciousness) masih tertanam di benak kita. Situasi krisis ekonomi dan pandemi saat ini hakikatnya mirip seperti dialami para pejuang dulu yang menghadapi kondisi penuh keterbatasan. Tentu selalu ada oknum yang menjadi jongos dan cenderung berpikir perut sendiri di saat rakyat lainnya berjuang melepaskan penjajahan atau situasi sulit. Namun, hal itu jangan sampai membuat elemen bangsa ciut nyali dan terpecah.
Justru, saatnya semua pihak memiliki collective conciusness bahwa Indonesia adalah bangsa besar dan kuat. Kontraksi berbagai lini patut menjadi momentum bangsa ini untuk tampil, berkolaborasi, dan menunjukkan diri bahwa kita adalah bangsa yang merdeka. Saatnya Indonesia bersikap sebagai bangsa yang memiliki kemauan besar, kebersamaan, dan tidak tergantung atau mudah diintervensi oleh bangsa lain.
(ras)