Apa Putusan MK tentang Sengketa Pilpres 2024? Begini Prediksi Denny Indrayana

Senin, 15 April 2024 - 17:45 WIB
loading...
Apa Putusan MK tentang Sengketa Pilpres 2024? Begini Prediksi Denny Indrayana
Majelis hakim sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 yang digelar di Gedung MK, Jumat (5/4/2024). FOTO/TANGKAPAN LAYAR
A A A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan menggelar sidang pembacaan putusan sengketa hasil Pilpres 2024 pada Senin, 22 April mendatang. Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengaku menerima banyak pertanyaan mengenai bagaimana prediksinya terhadap putusan MK nantinya.

“Bagaimana prediksi putusan MK terkait Pilpres 2024? Itulah pertanyaan yang terus saya terima dari banyak orang, offline ataupun online, di Indonesia ataupun di Australia,” kata Denny dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/4/2024).

Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) ini menjelaskan, ada tiga jenis putusan MK dalam sengketa Pilpres 2024 berdasarkan Pasal 77 UU MK juncto Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023. Pertama, permohonan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard).





Kedua, permohonan dikabulkan. Ketiga, permohonan ditolak. “Saya meyakini, Mahkamah tidak akan memutuskan permohonan tidak dapat diterima, karena permohonan paslon 01 dan 03 jelas memenuhi syarat formil untuk diputuskan pokok permohonannya,” tuturnya.

Denny mengatakan, sebelum lebih jauh memprediksi putusan MK, perlu diingat permintaan (petitum) dalam permohonan paslon nomor urut 1 dan 3. Pada intinya, petitum paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) adalah mendiskualifikasi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka).

Lalu pemungutan suara ulang (PSU) pilpres hanya antara paslon AMIN dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD; atau hanya mendiskualifikasi cawapres Gibran Rakabuming Raka, lalu PSU pilpres dengan mengikutsertakan Prabowo Subianto dengan cawapres pengganti Gibran.



Sementara itu, petitum Ganjar-Mahfud pada intinya meminta mendiskualifikasi Prabowo-Gibran, lalu pemungutan suara ulang (PSU) pilpres hanya antara paslon nomor urut 1 dan 3. Setelah melihat jalannya persidangan, bukti-bukti yang dihadirkan, termasuk keterangan saksi, ahli dan para menteri, juga memperhatikan komposisi dan rekam jejak delapan hakim konstitusi yang menyidangkan, Denny menduga putusan Mahkamah adalah di antara empat opsi berikut:

I. Opsi Satu: Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan, lalu hanya memberikan catatan dan usulan perbaikan pilpres. Dalam opsi satu ini, kata Denny, Mahkamah akan menguatkan keputusan KPU yang memenangkan Prabowo-Gibran, dan hanya memberikan catatan perbaikan penyelenggaraan pilpres, utamanya kepada KPU dan Bawaslu.

“Mahkamah pada dasarnya menyatakan dalil-dalil permohonan tidak terbukti. Melihat situasi-kondisi politik hukum di Tanah Air, saya berpandangan opsi satu ini yang sangat mungkin menjadi kenyataan,” ujarnya.

II. Opsi Dua: Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh permohonan. Dalam opsi dua ini, Mahkamah mengabulkan diskualifikasi paslon Prabowo-Gibran, dan melakukan PSU hanya di antara paslon nomor urut 1 dan 3.

“Dari semua opsi, melihat situasi-kondisi politik hukum di Tanah Air; termasuk rumit dan sulitnya proses pembuktian, saya berpandangan opsi dua ini hampir muskil bin mustahil terjadi,” ungkap Denny.

III. Opsi Tiga: Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan, yaitu mendiskualifikasi cawapres Gibran Rakabuming Raka. Dalam opsi tiga ini, Mahkamah mengabulkan salah satu petitum paslon AMIN, yang memberi alternatif hanya Gibran yang didiskualifikasi, dan Prabowo dapat kembali ikut PSU dengan pasangan cawapres yang baru.

“Meskipun mungkin saja terjadi, opsi tiga ini tetap tidak mudah, dan membutuhkan tidak hanya keyakinan hakim ataupun judicial activism, tetapi juga keberanian, pengakuan, dan introspeksi institusional bahwa problem moral-konstitusional pencalonan Gibran bersumber dari Putusan 90 Mahkamah sendiri, sebagaimana telah secara terang-benderang diputuskan oleh MKMK,” jelasnya.

IV. Opsi Empat: Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan, yaitu membatalkan kemenangan cawapres Gibran Rakabuming Raka, dan melantik hanya cawapres Prabowo Subianto, lalu memerintahkan dilaksanakannya Pasal 8 ayat (2) UUD 1945.

Denny menuturkan, opsi keempat ini membutuhkan penjelasan lebih panjang, terutama karena tidak ada dalam permohonan AMIN maupun Ganjar-Mahfud, sehingga menjadi ultra petita. Dia menambahkan, dasar amar demikian ada dua.

Pertama, peradilan sengketa pilpres bukan sengketa perdata, tetapi peradilan konstitusional tata negara, sehingga demi menjaga kehormatan konstitusi, bisa memutuskan di luar permintaan para pihak. “Hal mana sudah beberapa kali dilakukan oleh Mahkamah,” imbuhnya.

Kedua, dalam Pasal 53 ayat (2) Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2024 diatur, “Dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).” Norma tersebut dapat dimaknai, Mahkamah membuka peluang ultra petita, bukan hanya di luar yang dimintakan para pihak, bahkan pun di luar ketentuan Peraturan MK atau bahkan UU MK.

“Yang dilakukan bukan pendiskualifikasian paslon 02, karena Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan atas pelanggaran TSM paslon 02, di samping tentu ada pula argumen hal demikian adalah kewenangan Bawaslu RI. Bukti-bukti yang dihadirkan tidak cukup untuk menguatkan dalil para pemohon (paslon 01 dan 03). Memang pembuktian sengketa pilpres sangat rumit dan sulit,” tuturnya.

Namun, lanjut dia, Mahkamah akhirnya mengambil keputusan membatalkan kemenangan cawapres Gibran Rakabuming Raka, bukan karena persoalan pencawapresan yang sudah terlanjur absah melalui Putusan 90 dan berbagai putusan MK sesudahnya. Tetapi, MK memutuskan membatalkan kemenangan cawapres Gibran dengan berbagai pertimbangan konstitusional, antara lain:

1. Cawe-Cawe Presiden Joko Widodo terbukti, dari pernyataan dan tindakan Presiden Jokowi sendiri, dan hal demikian melanggar prinsip pemilu presiden yang luber, jujur, dan adil sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1);

2. Melalui Putusan 90 dan beberapa Putusan MK sesudahnya, meskipun secara hukum positif tidak ada lagi persoalan dengan pencawapresan Gibran, namun pelanggaran prinsip anti KKN, khususnya nepotisme relasi cawapres Gibran dengan Presiden Joko Widodo telah melanggar prinsip pemilu yang dijamin UUD 1945 dan menjadi pelanggaran konstitusi yang intolerable, dan menjadi kemenangan yang harus dibatalkan demi menjaga marwah dan kehormatan konstitusi.

3. Karena yang dapat dibuktikan hanya pelanggaran konstitusi cawe-cawe Presiden Jokowi dan nepotisme cawapres Gibran Rakabuming Raka, sedangkan pelanggaran pasangannya Prabowo Subianto, dianggap Mahkamah tidak dapat dibuktikan, maka kemenangan capres Prabowo tetap dikuatkan oleh Mahkamah. Tentu dengan komplikasi, bahwa suara paslon nomor urut 2 tentunya adalah hasil kerja keduanya sebagai pasangan calon.

“Opsi keempat ini sejatinya punya bobot politis, selain yuridis. Karena dia seakan-akan menjadi jalan tengah (kompromis) antara hukum yang moralis-idealis dengan politik yang pragmatis-realistis. Bagi kekuatan politik yang diam-diam menolak dilantiknya cawapres Gibran dengan berbagai alasan, opsi ke empat ini menjadi bagian dari solusi,” ungkapnya.

Karena, kata dia, Pasal 8 ayat (2) UUD 1945 memberikan waktu paling lambat 60 hari bagi MPR untuk memilih wapres dari dua calon yang diusulkan Presiden Prabowo Subianto, tentu setelah pelantikan pada 20 Oktober 2024. “Persoalannya, enam bulan menjelang pelantikan, saya yakin Presiden Jokowi tentu tidak akan diam,” ucapnya.

Selain itu, sambung dia, yang tidak kalah penting adalah seberapa kuat dan berani bukan hanya mayoritas hakim MK, tetapi juga partai-partai politik untuk bersepakat menggolkan opsi putusan keempat yang demikian. Sejauh ini, menurut Denny, belum ada kekuatan politik yang berani melawan pelanggaran bahkan kejahatan konstitusional yang terang-benderang dilakukan oleh Presiden Jokowi.

“Hampir semua kita, tunduk dan takluk atas berbagai kezaliman konstitusi yang sejatinya dilakukan secara telanjang oleh Presiden Jokowi. Sewajibnya Hakim-Hakim Konstitusi selaku Negarawan, statemanship bukan partisanship, mampu melepaskan diri dari penjajahan, penghambaan, dan ketakutan atas kuasa otoritarian Presiden Jokowi, yang sebenarnya sudah akan berakhir masa jabatannya,” ungkapnya.

Namun, diakuinya bahwa hakim konstitusi juga manusia, kecuali ada kejutan luar biasa. “Terus terang saya tidak yakin, para Hakim Konstitusi mau berkorban dan menjadi pahlawan demi menyelamatkan negara demokrasi konstitusional Republik Indonesia,” kata Denny.

“Opsi mana yang akan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Akankah ada kejutan? Saya yakin, tidak. Saya prediksi, MK belum punya dukungan bukti dan keberanian untuk memutus di luar opsi putusan yang pertama, yaitu: Menolak seluruh permohonan, dan hanya memberikan catatan perbaikan atas pelaksanaan Pilpres 2024,” pungkasnya.
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1765 seconds (0.1#10.140)