Pakar Pidana Sebut Putusan Kasus Irman Gusman Tak Berdasar Hukum

Rabu, 31 Oktober 2018 - 19:21 WIB
Pakar Pidana Sebut Putusan Kasus Irman Gusman Tak Berdasar Hukum
Pakar Pidana Sebut Putusan Kasus Irman Gusman Tak Berdasar Hukum
A A A
JAKARTA - Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman menghadirkan tiga saksi ahli dalam sidang lanjutan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Irman Gusman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (31/10/2018).

Ketiga saksi ahli itu, yakni mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva, pakar hukum pidana Andi Hamzah dan Chairul Huda.

Dalam paparannya di hadapan majelis hakim, pakar hukum pidana Andi Hamzah menilai dalil jaksa yang menyebut Irman Gusman memperdagangkan pengaruh dalam kasus suap pengaturan impor gula tidak memiliki dasar hukum.

Menurut Andi, Konvensi Internasional Antikorupsi (UNCIC) yang dijadikan dasar hukum untuk menjerat Irman belum menjadi undang-undang di Indonesia.

"Konvensi Internasional Antikorupsi itu belum dijadikan undang-undang di Indonesia. Undang-undang pidananya belum, hanya dianjurkan membuat undang-undang mengenai itu, tapi belum dibuat," kata Andi.

Andi menilai mempidanakan seseorang tanpa dasar hukum adalah tindakan tidak benar. Andi pun mencontohkan perkara memperdagangkan pengaruh ini dengan kasus kumpul kebo.

Menurut Andi, pelaku kumpul kebo tak bisa dipidana karena belum ada aturannya dalam undang-undang. "Orang dihukum tapi tidak ada undang-undangnya, kan tidak mungkin," kata Andi.

Senada juga diungkapkan Hamdan Zoelva. Mantan Ketua MK ini menilai langkah jaksa yang menjadikan Konvensi Internasional Antikorupsi atai UNCIC sebagai dasar hukum untuk menjerat Irman Gusman, dinilai tidak tepat.

Zoelva mengatakan, konvensi tersebut belum bisa dijadikan rujukan hukum karena belum berlaku sebagai hukum nasional. Zoelva mengatakan, kedudukan konvensi tersebut masih sebagai janji Indonesia untuk mengadopsinya ke dalam hukum nasional.

"Itu hanya janji Indonesia untuk mengadopsi norma-norma itu ke dalam Undang-undang, dan sampai terakhir ini belum. Dia bisa berlaku ketika dimasukkan dalam undang-undang," beber Zoelva.

Hamdan juga membantah dalil jaksa yang menyebut PK atas putusan hakim terhadap perkara suap impor gula yang menjerat Irman Gusman tidak bisa dilakukan.

Jaksa mengatakan, PK yang diajukan Irman Gusman tidak bisa diajukan lantaran perkara hukum mantan Ketua DPD itu telah diputus. "Saya dengar keterangan dari penasihat hukum, jaksa mendalilkan bahwa ini tidak bisa di-PK karena dulu sudah menerima putusan," kata Zoelva.

Zoelva mengatakan, suatu PK bisa diajukan karena adanya novum atau alat bukti baru atau terdapat kesalahan majelis hakim dalam memutus suatu perkara. "tidak ada urusannya dengan menerima atau tidak menerima putusan," ucap Zoelva.

Kuasa hukum Irman Gusman, Maqdir Ismail menemukan ada kejanggalan dalam putusan hakim pada kasus suap pengaturan kuota impor gula yang menjerat kliennya.

Dalam putusan hakim, Irman dinilai terbukti memperdagangkan pengaruh dalam mengatur kuota impor gula. Irman disebut menerima hadiah atas jasanya tersebut.

Berdasarkan keterangan ahli dalam sidang lanjutan permohonan PK kasus Irman Gusman, Maqdir mengatakan, hukum pidana baru berlaku bila sudah menjadi undang-undang.

"Secara khusus berkenaan dengan trading influence (memperdagangkan pengaruh), tidak bisa diterapkan karena belum ada undang-undangnya," kata Maqdir usai persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (31/10/2018).

Maqdir menambahkan, para ahli juga menyebut ada kekeliruan dalam perkara itu sebab dalam putusan hakim seolah-olah dikesankan ada trading influence yang dilakukan oleh Irman.

"Berkenaan dengan pasal dari keterangan ahli, ada kesalahan-kesalahan dalam penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam perkara ini," kata Maqdir.

Atas dasar itu, Maqdir berharap Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan PK yang diajukan Irman Gusman. "Berharap MA mengikuti pikiran-pikiran yang disampaikan para ahli," kata Maqdir.

Sementara itu, Irman optimistis permohonan PK perkara suap impor gula yang diajukan akan diterima oleh MA. Optimisme Irman bukan tanpa alasan. Optimisme itu didasarkan pada keterangan ahli yang dijadikan dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Tipikor, Rabu (31/10/2018).

Ketiga ahli kompak menyebut Konvensi Internasional Antikorupsi atau UNCIC yang menjadi dasar mempidana Irman tidak bisa digunakan karena belum berbentuk Undang Undang.

"Mendengarkan para saksi ahli yang ahli dibidangnya diharapkan hakim MA akan terbuka, bahwa apa yang divonis ke saya, dengan novum yang ada, ada pertentangan keputusan," kata Irman usai mengikuti persidangan.

Irman berharap MA mengabulkan PK yang diajukan dan membebaskan dirinya dari jerat hukum. "Insya Allah kita mencari kebenaran bukan menghukum orang. Kalau kita menegakkan keadilan tentu konsekuensinya harus dibebaskan, harapannya itu," kata Irman.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5875 seconds (0.1#10.140)