Dekan FU UIN Syarif Hidayatullah: Islamophobia Sama dengan Fenomena Rasisme

Rabu, 27 Maret 2024 - 13:13 WIB
loading...
Dekan FU UIN Syarif Hidayatullah: Islamophobia Sama dengan Fenomena Rasisme
Peserta menghadiri seminar nasional bertajuk Islamophobia Within Muslim & Islamophobia Without Islam. Kebencian atas Muslim dan Islam: Antara Asumsi, Fakta dan Prasangka di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Foto/istimewa
A A A
JAKARTA - Islamophobia dan antisemitism menjadi diskursus keberagamaan skala dunia dalam kurun waktu sepuluh hingga dua puluh tahun terakhir ini. Islamophobia sendiri merupakan ekspresi ketakutan baik kepada Islam maupun kepada Muslim.

Hal itu dikatakan Dekan Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismatu Ropi dalam Seminar Nasional bertajuk “Islamophobia Within Muslim & Islamophobia Without Islam. Kebencian atas Muslim dan Islam: Antara Asumsi, Fakta dan Prasangka”.

Seminar yang diselenggarakan di Gedung FU Lantai 4, Ruang Teater H.A.R Partosentono ini dihadiri empat narasumber yakni, Guru Besar & Filologi Kebudayaan Islam Indonesia Universitas KöLn Jerman Edwin P. Wieringa, Guru Besar Sosiologi Agama, UIN Jakarta M. Amin Nurdin. Selain itu, Mubalig, Jemaat Ahmadiyah Indonesia Rakeeman R.A.M. Jumaan, dan alumni S3 École Normale Supérieure ENS, Lyon, Prancis Andar Nubowo.



Acara yang dimoderatori oleh Dosen Fakultas Ushuluddin Saadatul Jannah ini juga dihadiri Rektor UIN Jakarta Asep Saepuddin Jahar yang diwakili Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Kelembagaan, Din Wahid, para Guru Besar FU, dosen, mahasiswa dan tamu undangan.

Dalam kesempatan itu, Ismatu Ropi mengkritisi imajinasi mengenai Islamic Terrorist akan tetap terbenam di benak orang–orang. Sedangkan koreksi khususnya pada tragedi di Brazil. Di mana terbukti setelahnya bahwa tidak ada unsur teroris Islam dalam tragedi itu melainkan kelompok revolusioner yang menjadi bagian dari kelompok kiri di Brazil tidak pernah menjadi headline yang sama besarnya dengan headline isu Islamophobia.


“Islamophobia itu sama saja dengan phobia–phobia lainnya dengan apa yang disebut sebagai fenomena rasisme,” katanya, Kamis (27/3/2024).

Ismatu Ropi menjelaskan, istilah Islamophobia muncul pertama kali di Perancis (Islamophobie) pada awal abad ke-19 dan muncul pada akhir 1990-an dalam Bahasa Inggris. Menurut Ismatu Ropi, Islamophobia berarti ketakutan terhadap Islam, tetapi dalam arti yang lebih luas bisa juga berarti sikap yang melibatkan emosi, kognisi, penilaian, dan tindakan yang mengekspresikan ketakutan baik kepada Islam maupun kepada Muslim.

“Jadi kalau kita bicara tentang Islamophobia maka kita berbicara tentang sebuah cara pandang yang dibangun secara sistematis untuk membenci sebuah kelompok tertentu yang dalam hal ini Islam itu sendiri tentunya,” imbuhnya.

Edwin P. Wieringa dalam pemaparannya mengangkat sebuah karya yang ditelitinya berjudul “Suluk Gatholoco”. Buku ini karangan seorang priyayi, berisikan kritik terhadap agama kulturalis dan sangat kejawen.

”Sebagai fakta bahwa fenomena Islamophobia sudah terjadi sejak dahulu kala, dan telah tertulis oleh naskah klasik yang bahkan ditulis oleh penganut Islam sendiri,” katanya.

Sedangkan, Amin Nurdin menyebut istilah Islamophobia secara bahasa diartikan ketakutan. Secara definitif pertama kali diperkenalkan sebagai suatu konsep dalam sebuah laporan Runnymede Trust Report di 1991 sebagai permusuhan yang tidak berdasar terhadap Islam.

“Insiden WTC merupakan puncak Islamophobia dan menjadi fenomena yang global dan merupakan hal yang normal, yang awalnya Islamophobia ini hanya seputar teologis, namun kemudian merebak menjelma menjadi kebencian itu sendiri,” jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, Andar Nubowo, dalam pemaparannya mengangkat judul “Islamophobia di Eropa Barat: Sejarah, Akar dan Aktor”. Menurutnya, Islamophobia adalah ketakutan pada Islam dan simbolnya.

“Sedangkan Islamofia adalah cinta, kekaguman pada Islam, simbol dan peradabannya. Islamophobia berkembang dalam konteks hubungan agama, politik, sosial dan ekonomi yang tidak harmonis,” ujarnya.

Andar menyebut, Islam di Barat mengutarakan paham politik nasionalis, ultranasionalis hingga sayap ekstrem kanan di Eropa. Menurutnya, agama Islam menjadi kambing hitam di dalam ruang politik terkait kebijakan-kebijakan yang ada.

Sementara Rakeeman R.A.M. Jumaan mengatakan, pada 15 Maret 2022 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan sebagai The Internasional Day To Combat Islamophobia (Hari Internasional Melawan Islamophobia).

Dia menjelaskan, definisi Islamophobia singkatnya adalah permusuhan tidak berdasar terhadap umat Islam. Dengan demikian ketakutan atau kebencian terhadap semua atau sebagian besar umat Islam.

“Adapun akar mengapa ketakutan dan kebencian terhadap Muslim Ahmadiyah karena tuduhan-tuduhan seperti mereka tidak melaksanakan salat, tidak berpuasa, dianggap memiliki nabi, kitab suci, tempat ibadah sendiri, tata cara salat sendiri, tuduhan-tuduhan tersebut berkembang menjadi ketakutan dan kebencian terhadap Muslim Ahmadiyah,” tegasnya.

Ketua Pelaksana Kegiatan, Yuminah mengatakan, secara singkat bisa dilihat beragam definisi terkait fenomena Islamophobia ini dari beberapa narasumber di atas.

“Baiknya dari sini kita bisa semakin membuka pikiran sekaligus mengedukasi dunia apa dan siapa sebenarnya di balik isu yang selalu hangat diperbincangkan tersebut? Tentunya juga peran media massa tidak lepas dalam memberikan penafsiran terhadap teror atau sebut saja isu Islamophobia itu,” katanya.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1236 seconds (0.1#10.140)