Arsul Sani Dinilai Memiliki Hak Menyidangkan Sengketa Pemilu 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hakim konstitusi Arsul Sani dinilai memiliki hak menyidangkan sengketa Pemilu 2024. Sebab, dia sudah dilantik dan tercatat sebagai hakim konstitusi.
"Pertama, bicara soal Pak Arsul Sani yang dianggap tidak boleh memimpin sidang, itu berlebihan. Kenapa? Karena bagaimanapun yang bersangkutan sudah dilantik dan sudah tercatat sebagai hakim konstitusi," kata Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin, Jumat (22/3/2024).
"Artinya punya hak, punya kewenangan, punya tanggung jawab untuk bisa memimpin jalannya persidangan karena punya hak yang sama dengan anggota anggota yang lain," sambungnya.
Dia pun merespons adanya kritikan agar tidak ada konflik kepentingan atau conflict of interest karena latar belakangnya sebagai politikus. Ujang berpendapat, Arsul Sani bukanlah satu-satunya hakim.
"Banyak hakim yang turut serta bersidang dengan Pak Arsul Sani. Artinya conflict of interest itu tidak akan terjadi, karena Pak Arsul Sani tidak sendirian, dia di damping oleh hakim-hakim yang lain, bahkan hakim-hakim yang lain lebih mayoritas, lebih banyak," tuturnya.
Dia berharap, jangan menggiring opini bahwa seolah-olah MK ini selalu berpolitik. "Karena kita bagaimanapun harus menjaga muruah MK sebagai lembaga yang terhormat, sebagai institusi yang bermartabat, yang harus kita jaga kehormatannya dan martabatnya tersebut, dalam konteks untuk bisa menyelesaikan persoalan sengketa pemilu secara objektif dan independen," imbuhnya.
Menurutnya, semua harus memberi kepercayaan yang penuh kepada hakim-hakim konstitusi agar berjiwa negarawan dan akan memutuskan persoalan sengketa pemilu itu dengan seadil-adilnya, sejujur-jujurnya, sebenar-benarnya, dan sebaik-baiknya.
"Yang keempat yaitu Mahkamah Konstitusi pernah di pimpin oleh seorang Hamdan Zoelva yang notabene mantan kader salah satu partai politik, dan pernah memimpin sengketa pemilu dan semua putusannya objektif dan independen. Dan ini sebagai catatan sejarah," ungkapnya.
Dia melanjutkan, Anwar Usman sudah dilarang. Jika Arsul Sani dilarang, maka jumlah hakim semakin berkurang. "Belum lagi kita tidak tahu ada force majeure atau ada kejadian yang luar biasa lain yang mengenai hakim MK yang menyebabkan hakimnya berkurang kembali," imbuhnya.
Artinya, lanjut dia, semakin sedikit dan kemungkinan besar terjadi deadlock dalam keputusannya itu. "Oleh karena itu semua mata masyarakat Indonesia untuk bisa memberikan kesempatan kepada hakim-hakim MK termasuk Pak Arsul Sani untuk memutus perkara dengan sebaik-baiknya, dengan sejujur-jujurnya, seadil-adilnya, dengan objektif dan independen, apa pun latar belakangnya," pungkasnya.
"Pertama, bicara soal Pak Arsul Sani yang dianggap tidak boleh memimpin sidang, itu berlebihan. Kenapa? Karena bagaimanapun yang bersangkutan sudah dilantik dan sudah tercatat sebagai hakim konstitusi," kata Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin, Jumat (22/3/2024).
"Artinya punya hak, punya kewenangan, punya tanggung jawab untuk bisa memimpin jalannya persidangan karena punya hak yang sama dengan anggota anggota yang lain," sambungnya.
Dia pun merespons adanya kritikan agar tidak ada konflik kepentingan atau conflict of interest karena latar belakangnya sebagai politikus. Ujang berpendapat, Arsul Sani bukanlah satu-satunya hakim.
"Banyak hakim yang turut serta bersidang dengan Pak Arsul Sani. Artinya conflict of interest itu tidak akan terjadi, karena Pak Arsul Sani tidak sendirian, dia di damping oleh hakim-hakim yang lain, bahkan hakim-hakim yang lain lebih mayoritas, lebih banyak," tuturnya.
Dia berharap, jangan menggiring opini bahwa seolah-olah MK ini selalu berpolitik. "Karena kita bagaimanapun harus menjaga muruah MK sebagai lembaga yang terhormat, sebagai institusi yang bermartabat, yang harus kita jaga kehormatannya dan martabatnya tersebut, dalam konteks untuk bisa menyelesaikan persoalan sengketa pemilu secara objektif dan independen," imbuhnya.
Menurutnya, semua harus memberi kepercayaan yang penuh kepada hakim-hakim konstitusi agar berjiwa negarawan dan akan memutuskan persoalan sengketa pemilu itu dengan seadil-adilnya, sejujur-jujurnya, sebenar-benarnya, dan sebaik-baiknya.
"Yang keempat yaitu Mahkamah Konstitusi pernah di pimpin oleh seorang Hamdan Zoelva yang notabene mantan kader salah satu partai politik, dan pernah memimpin sengketa pemilu dan semua putusannya objektif dan independen. Dan ini sebagai catatan sejarah," ungkapnya.
Dia melanjutkan, Anwar Usman sudah dilarang. Jika Arsul Sani dilarang, maka jumlah hakim semakin berkurang. "Belum lagi kita tidak tahu ada force majeure atau ada kejadian yang luar biasa lain yang mengenai hakim MK yang menyebabkan hakimnya berkurang kembali," imbuhnya.
Artinya, lanjut dia, semakin sedikit dan kemungkinan besar terjadi deadlock dalam keputusannya itu. "Oleh karena itu semua mata masyarakat Indonesia untuk bisa memberikan kesempatan kepada hakim-hakim MK termasuk Pak Arsul Sani untuk memutus perkara dengan sebaik-baiknya, dengan sejujur-jujurnya, seadil-adilnya, dengan objektif dan independen, apa pun latar belakangnya," pungkasnya.
(abd)