Prinsip Praduga Tak Bersalah Dalam Perampasan Aset Korupsi

Senin, 18 Maret 2024 - 14:39 WIB
loading...
Prinsip Praduga Tak Bersalah Dalam Perampasan Aset Korupsi
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita

SALAH satu tujuan dari Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003 adalah Assets Recovery atau Pemulihan Aset Korupsi, istilah sering ditafsirkan keliru dengan pengembalian aset korupsi atau returning of asset of corruption.

Pemulihan aset adalah proses membangun aset hasil korupsi menjadi aset negara seutuhnya, sedangkan pengembalian aset adalah proses penempatan aset korupsi menjadi bagian dari harta kekayaan negara. Dalam konteks aset tindak pidana seperti korupsi, narkotika, dan kejahatan transnasional lainnya, masalah aset tindak pidana merupakan masalah internasional dan juga masalah nasional tiap negara terutama negara peratifikasi UNCAC 2003 yang salah satu tujuannya adalah asset-recovery.

Namun demikian, di sisi lain dari penegakan hukum pidana , terdapat asas praduga tak bersalah dikenal presumption of innocence; the fundamental criminal law principle that a person may not be convicted of a crime unless the government proves guilt beyond a reasonable doubt, withour any burden placed on the accused to prove innocence (Black’s Law Dictionary, 2001, 549).

Asas praduga tak bersalah dalam hampir semua sistem hukum kecuali sistem hukum di negara-negara yang menganut sistem hukum sosialis, dipandang merupakan hambatan mendasar dalam proses asset recovery melalui tuntutan pidana sehingga praktik hukum di negara-negara maju seperti AS, Italia, dan Irlandia, dimungkinkan perampasan aset melalui gugatan keperdataan atau disebut preventive confiscation of assets dari seorang tersangka yang diduga berasal dari kejahatan.



Pembuktian yang dilakukan dalam perampasan tersebut tidak menggunakan pembuktian asal usul perolehan asset yang diduga berasal dari tindak pidana melainkan digunakan pembuktian yang disebut, balanced probability atau tuntutan perdata kemungkinan terbesar dari aset berasal dari tindak pidana digabungkan dengan ketidakmampuan pemiliknya membuktikan sebaliknya (Oliver Stolpe, tidak dipublikasi). Pola perampasan aset korupsi dan juga kejahatan serius lainnya, dapat dilakukan melalui penuntutan pidana (criminal conviction) dan penuntutan perdata (civil litigation).

Perbedaan mendasar dari kedua pendekatan tersebut adalah bahwa pendekatan pertama baik pemilik aset korupsi maupun harta kekayaan yang berasal dari korupsi dapat dirampas untuk negara jika terdakwa telah dinyatakan terbukti dan bersalah melakukan korupsi. Pendekatan kedua, ditujukan terhadap perampasan asset korupsi tanpa pemilik aset yang diduga berasal dari korupsi dituntut pidana dan terdakwa berkewajiban membuktikan bahwa aset yang dimilikinya dianggap berasal dari korupsi kecuali terdakwa pemilik aset dapat membuktikan sebaliknya.

Proses pembuktian atas keabsahan kepemilikan aset pada terdakwa dikenal sebagai presumption of guilt dengan menggunakan metoda pembuktian terbalik atau beban pembuktian berada pada terdakwa pemilik asset yang di duga berasal dari korupsi. UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) tidak menganut metode pembuktian terbalik atau reversal of burden of proof, melainkan metode proof beyond a reasonable doubt yakni prinsip praduga tak bersalah lebih diutamakan.

Sedangkan metode pembuktikan terbalik dalam perampasan aset melalui tuntutan keperdataan menggunakan metode pembuktian yang disebut Balanced Probability Principle atau pembuktian keseimbangan yang tujuan utamanya adalah mengembalikan aset korupsi dengan cara terdakwa pemilik aset wajib membuktikan keabsahan kepemilikan asetnya, dilandaskan pada prinsip presumption of guilt atau praduga bersalah terhadap setiap sen asset yang di duga berasal dari korupsi.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1066 seconds (0.1#10.140)