Eep Saefulloh Ungkap 5 Modus Pencurian Suara Pemilu 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pendiri Polmark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah mengungkapkan lima modus pencurian suara pada Pemilu 2024. Dari kelima modus pencurian suara itu, kata dia, ada yang tidak masuk akal, mengherankan, serta menggunakan cara lama.
Eep mengungkapkan modus yang pertama adalah penggelembungan suara melebihi 102% dari daftar pemilih tetap (DPT) di tempat pemungutan suara (TPS). Dia menjelaskan kelebihan surat suara secara nasional yakni 2% dari seluruh jumlah DPT dan diturunkan ke seluruh TPS.
Ini berarti kertas suara suara pada setiap TPS jumlahnya adalah 102%. 100% sesuai DPT dan 2% daftar pemilihan tambahan (DPTB). “Pada kenyataanya jumlah pemilih tidak sampai 100%, sehingga cadangan suara untuk DPTb itu lebih dari 2%," kata Eep dikutip dari kanal YouTube Keep Talking, Kamis (14/3/2024).
"Namun, berulang-ulang ditunjukkan kasus setelah pemungutan suara, total pemilih lebih dari 102%. Ini modus tidak masuk akal," sambungnya.
Modus yang kedua, lanjut Eep, penggelembungan suara pada pihak tertentu seperti paslon pada pilpres, caleg DPR dan DPD tanpa basis C Hasil. Dia menjelaskan, dalam modus ini, artinya penggelembungan suara dibuat sedemikian rupa tanpa didukung C Hasil.
“Ini pernah beredar buktinya dalam bentuk video, ditelusuri ke provinsi, ke kabupaten, dalam rekap ada pemilih dari parpol tertentu, sementara di daerah itu tidak ada nama caleg dari parpol tersebut. Sebetulnya ini harus dibatalkan," tegas Eep.
Selanjutnya, modus ketiga menurut Eep yaitu dugaan pencurian suara dengan cara halaman dua C Hasil dipalsukan, sementara halaman satu dan tiga C Hasil asli. Eep mengatakan, beberapa jaringannya di lapangan menemukan tanda tangan yang berbeda pada halaman satu dengan dua atau dua dengan tiga untuk orang yang sama, baik Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan saksi.
“Ini adalah pemalsuan C Hasil dan dibuktikan dengan tanda tangan orang yang sama tetapi berbeda. Jika ditemukan dalam jumlah besar berpotensi menjadi bukti kecurangan," terang Eep.
Lebih lanjut, Eep mengatakan modus pencurian suara keempat yaitu memindahkan suara parpol atau tanda gambar kepada peserta pemilu lainnya. Ia mengungkapkan jika memilih caleg, maka caleg akan memantau suaranya masing-masing. Tapi, seringkali pemilik suara mencoblos suara partai, hal ini memiliki kelemahan karena tidak ada pemantau yang secara jeli dan sigap mengawasi.
“Ini tidak berisiko karena pemantau dari parpol tidak sigap untuk mengamankan suara partainya. Jika ini terjadi maka parpol tertentu bisa mendapat penambahan suara atau penggelembungan suara yang diraih dari parpol lain,” tutur Eep.
Terakhir, ungkap Eep, modus pencurian suara kelima yaitu memindahkan suara tidak sah ke paslon atau caleg dan partai tertentu. Eep menyampaikan, suara pemilih ada yang sah dan tidak sah karena berbagai alasan.
Misalnya, surat suara sobek, memilih tiga paslon pilpres sekaligus atau mencoblos semua partai sekaligus. “Tingkat partisipasi diukur dari jumlah suara sah, bukan jumlah orang yang datang ke TPS. Jadi, jika ada suara tidak sah dipindahkan ke salah satu caleg, paslon atau partai tertentu, maka tingkat partisipasi bertambah,” pungkasnya.
Lihat Juga: PDIP Anggap Janggal Hakim PTUN Tak Menerima Gugatan Pencalonan Gibran: Kita Menang Dismissal
Eep mengungkapkan modus yang pertama adalah penggelembungan suara melebihi 102% dari daftar pemilih tetap (DPT) di tempat pemungutan suara (TPS). Dia menjelaskan kelebihan surat suara secara nasional yakni 2% dari seluruh jumlah DPT dan diturunkan ke seluruh TPS.
Ini berarti kertas suara suara pada setiap TPS jumlahnya adalah 102%. 100% sesuai DPT dan 2% daftar pemilihan tambahan (DPTB). “Pada kenyataanya jumlah pemilih tidak sampai 100%, sehingga cadangan suara untuk DPTb itu lebih dari 2%," kata Eep dikutip dari kanal YouTube Keep Talking, Kamis (14/3/2024).
"Namun, berulang-ulang ditunjukkan kasus setelah pemungutan suara, total pemilih lebih dari 102%. Ini modus tidak masuk akal," sambungnya.
Modus yang kedua, lanjut Eep, penggelembungan suara pada pihak tertentu seperti paslon pada pilpres, caleg DPR dan DPD tanpa basis C Hasil. Dia menjelaskan, dalam modus ini, artinya penggelembungan suara dibuat sedemikian rupa tanpa didukung C Hasil.
“Ini pernah beredar buktinya dalam bentuk video, ditelusuri ke provinsi, ke kabupaten, dalam rekap ada pemilih dari parpol tertentu, sementara di daerah itu tidak ada nama caleg dari parpol tersebut. Sebetulnya ini harus dibatalkan," tegas Eep.
Selanjutnya, modus ketiga menurut Eep yaitu dugaan pencurian suara dengan cara halaman dua C Hasil dipalsukan, sementara halaman satu dan tiga C Hasil asli. Eep mengatakan, beberapa jaringannya di lapangan menemukan tanda tangan yang berbeda pada halaman satu dengan dua atau dua dengan tiga untuk orang yang sama, baik Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan saksi.
“Ini adalah pemalsuan C Hasil dan dibuktikan dengan tanda tangan orang yang sama tetapi berbeda. Jika ditemukan dalam jumlah besar berpotensi menjadi bukti kecurangan," terang Eep.
Lebih lanjut, Eep mengatakan modus pencurian suara keempat yaitu memindahkan suara parpol atau tanda gambar kepada peserta pemilu lainnya. Ia mengungkapkan jika memilih caleg, maka caleg akan memantau suaranya masing-masing. Tapi, seringkali pemilik suara mencoblos suara partai, hal ini memiliki kelemahan karena tidak ada pemantau yang secara jeli dan sigap mengawasi.
“Ini tidak berisiko karena pemantau dari parpol tidak sigap untuk mengamankan suara partainya. Jika ini terjadi maka parpol tertentu bisa mendapat penambahan suara atau penggelembungan suara yang diraih dari parpol lain,” tutur Eep.
Terakhir, ungkap Eep, modus pencurian suara kelima yaitu memindahkan suara tidak sah ke paslon atau caleg dan partai tertentu. Eep menyampaikan, suara pemilih ada yang sah dan tidak sah karena berbagai alasan.
Misalnya, surat suara sobek, memilih tiga paslon pilpres sekaligus atau mencoblos semua partai sekaligus. “Tingkat partisipasi diukur dari jumlah suara sah, bukan jumlah orang yang datang ke TPS. Jadi, jika ada suara tidak sah dipindahkan ke salah satu caleg, paslon atau partai tertentu, maka tingkat partisipasi bertambah,” pungkasnya.
Lihat Juga: PDIP Anggap Janggal Hakim PTUN Tak Menerima Gugatan Pencalonan Gibran: Kita Menang Dismissal
(rca)