Hadapi Resesi, Pemerintah Disarankan Optimalkan Sektor Pertanian
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Sidang Tahunan MPR , Jumat (14/8/2020) dinilai masih bersifat harapan-harapan dan belum menyentuh pada hal-hal yang sifatnya riil di lapangan.
Politikus PDI Perjuangan Effendi Simbolon mengatakan, pernyataan Jokowi bahwa bagaimana dalam momentum pandemi ini tidak sekadar selamat, tapi menjadikan krisis sebagai batu loncatan ke depan, meskipun realitanya sulit. "Contoh-contoh konkret yang beliau sampaikan kan hampir lebih kepada yang on going process sejak sebelum Covid, tapi yang upon Covid atau sejak Covid ini berjalan, kan hampir tidak ada yang disampaikan Presiden tadi," ujarnya. (Baca juga: Pemerintah Diminta Fokus Pemulihan Kesehatan, Ekonomi dan Sosial di 2021)
Padahal, menurutnya, ada peluang untuk melakukan reborn. Dia mencontohkan sektor pertanian, banyak komoditas pertanian yang berpotensi dikembangkan. Dia mencontohkan di Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Brebes, Jawa Tengah, yang ternyata kini sudah bisa melakukan ekspor perdana bawang putih ke Taiwan hingga mencapai 1.000 ton sepanjang 2020.
Padahal selama ini, kata Effendi, bangsa ini selalu "dininabobokan" dengan impor bawang putih untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. (Baca juga: Petani Dinilai Salah Satu Pihak yang Rentan Terdampak Bencana)
"Saya melihat ada sisi lain momentum di mana kita walaupun melihatnya dalam skala kecil, tapi itu momentum di mana misalnya ekspor kita yang dimulai dari komoditi yang selama ini kita impor, itu mungkin tidak terbaca oleh Setneg bahwa di belahan Indonesia ini sudah ada ekspor seperti bawang putih yang ini akan berdampak langsung pada pemberdayaan di dalam negeri, produksi kita, petani kita sendiri," tuturnya. (Baca juga: Presiden Joko Widodo Puji Respons Cepat DPD RI)
Effendi menyayangkan pidato Presiden yang tidak menyampaikan capaian seperti itu sebagai momentum untuk rebound. "Saya lihat di berbagai wilayah, kita punya pertanian, tapi karena mungkin selama ini kita konsumsinya tergantung impor sehingga tidak terkoordinir dengan baik penanganannya," katanya.
Pidato Jokowi yang menyebut upaya pemerintah untuk membuat food estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, menurut Effendi, juga bukan merupakan sebuah langkah yang tepat. "Saya kira lupakanlah gaya-gaya sentralistik food estate begitu. Lebih baik sudahlah berdasarkan kepada empiris, dimana wilayah itu memang ada selling point tanaman tertentu, di situ saja di-endorse untuk dikelola," katanya.
Menurut Effendi, Jokowi seharusnya bisa menjadikan dua contoh kegagalan, baik di era Orde Baru maupun di periode pertama pemerintahannya yang dinilai gagal membangun food estate di Kalteng.
Seharusnya, kata Effendi, pemerintah memberikan perhatian justru di daerah-daerah yang lahannya subur, seperti di Jawa Barat, Banten, jika ingin mengembangkan food estate. "Kenapa harus dipaksakan di Kalteng dengan bentuk kontur tanahnya yang mungkin terlalu tinggi asamnya dan banyak gambut," katanya.
Effendi menyebutkan bahwa ada dua kali contoh kegagalan proyek seperti ini baik di jaman Orde Baru maupun jaman belum lama ini, dua tiga tahun lalu, ketika pemerintah menganggarkan hampir Rp5 triliun, baik melalui kerja sama antara Kementan dengan TNI, maupun yang dialokasikan di Kemhan. "Itu kan unsuccess story, kok masih diteruskan di wilayah yang sama. Di sisi lain ada pola yang desentralistik saja yang memang daerah dengan kelebihan natural advantage yang sudah ada, di situ saja diberikan stimulus, di-endorse," tandasnya.
Politikus PDI Perjuangan Effendi Simbolon mengatakan, pernyataan Jokowi bahwa bagaimana dalam momentum pandemi ini tidak sekadar selamat, tapi menjadikan krisis sebagai batu loncatan ke depan, meskipun realitanya sulit. "Contoh-contoh konkret yang beliau sampaikan kan hampir lebih kepada yang on going process sejak sebelum Covid, tapi yang upon Covid atau sejak Covid ini berjalan, kan hampir tidak ada yang disampaikan Presiden tadi," ujarnya. (Baca juga: Pemerintah Diminta Fokus Pemulihan Kesehatan, Ekonomi dan Sosial di 2021)
Padahal, menurutnya, ada peluang untuk melakukan reborn. Dia mencontohkan sektor pertanian, banyak komoditas pertanian yang berpotensi dikembangkan. Dia mencontohkan di Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Brebes, Jawa Tengah, yang ternyata kini sudah bisa melakukan ekspor perdana bawang putih ke Taiwan hingga mencapai 1.000 ton sepanjang 2020.
Padahal selama ini, kata Effendi, bangsa ini selalu "dininabobokan" dengan impor bawang putih untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. (Baca juga: Petani Dinilai Salah Satu Pihak yang Rentan Terdampak Bencana)
"Saya melihat ada sisi lain momentum di mana kita walaupun melihatnya dalam skala kecil, tapi itu momentum di mana misalnya ekspor kita yang dimulai dari komoditi yang selama ini kita impor, itu mungkin tidak terbaca oleh Setneg bahwa di belahan Indonesia ini sudah ada ekspor seperti bawang putih yang ini akan berdampak langsung pada pemberdayaan di dalam negeri, produksi kita, petani kita sendiri," tuturnya. (Baca juga: Presiden Joko Widodo Puji Respons Cepat DPD RI)
Effendi menyayangkan pidato Presiden yang tidak menyampaikan capaian seperti itu sebagai momentum untuk rebound. "Saya lihat di berbagai wilayah, kita punya pertanian, tapi karena mungkin selama ini kita konsumsinya tergantung impor sehingga tidak terkoordinir dengan baik penanganannya," katanya.
Pidato Jokowi yang menyebut upaya pemerintah untuk membuat food estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, menurut Effendi, juga bukan merupakan sebuah langkah yang tepat. "Saya kira lupakanlah gaya-gaya sentralistik food estate begitu. Lebih baik sudahlah berdasarkan kepada empiris, dimana wilayah itu memang ada selling point tanaman tertentu, di situ saja di-endorse untuk dikelola," katanya.
Menurut Effendi, Jokowi seharusnya bisa menjadikan dua contoh kegagalan, baik di era Orde Baru maupun di periode pertama pemerintahannya yang dinilai gagal membangun food estate di Kalteng.
Seharusnya, kata Effendi, pemerintah memberikan perhatian justru di daerah-daerah yang lahannya subur, seperti di Jawa Barat, Banten, jika ingin mengembangkan food estate. "Kenapa harus dipaksakan di Kalteng dengan bentuk kontur tanahnya yang mungkin terlalu tinggi asamnya dan banyak gambut," katanya.
Effendi menyebutkan bahwa ada dua kali contoh kegagalan proyek seperti ini baik di jaman Orde Baru maupun jaman belum lama ini, dua tiga tahun lalu, ketika pemerintah menganggarkan hampir Rp5 triliun, baik melalui kerja sama antara Kementan dengan TNI, maupun yang dialokasikan di Kemhan. "Itu kan unsuccess story, kok masih diteruskan di wilayah yang sama. Di sisi lain ada pola yang desentralistik saja yang memang daerah dengan kelebihan natural advantage yang sudah ada, di situ saja diberikan stimulus, di-endorse," tandasnya.