Partai Perindo: Pemilu Ulang karena Indonesia Sedang Mengalami Bencana Ketidakjujuran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sekretaris Jenderal Partai Perindo Ahmad Rofiq menegaskan, pemilu ulang yang dimaksud dalam tuntutan partainya adalah pemilu ulang, bukan pemungutan suara ulang. Pemilu ulang harus dilakukan karena Indonesia tengah mengalami bencana ketidakjujuran.
“Kita tahu, mekanismenya tidak gampang. Tetapi ketika Indonesia sedang mengalami bencana ketidakjujuran, bencana yang terkait pemilu, kecurangan. Proses kecurangan terjadi sangat masif, terkait keikutsertaan pemerintah dan segala macam untuk menyukseskan pasangan dan partai politik tertentu," kata Ahmad Rofiq dalam dialog iNews Sore bersama dosen FH UI Titi Anggraini dan pengamat politik Ray Rangkuti, Kamis (29/2/2024).
Kecurangan yang terjadi itu, kata Rofiq, bisa menjadi satu dasar untuk dilaksanakannya pemilu ulang. Ketika terjadi kecurangan yang begitu masif sebelum pemilu, itu mempengarungi hasil pemilu beberapa hari lalu.
"Tentu ini dibuktikan dengan hasil di Sirekap. Bagaimana acakadulnya penyelenggara terkait penghitungan manual yang sempat terhenti. Bagaimana proses IT dan segala macam," ujar dia.
Karena itu, tutur Rofiq, kondisi ini direspons oleh partai-partai politik diajukan ke parlemen melalui ke hak angket. Sementara itu, Titi Anggraini mengatakan, hak angket merupakan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang dan kebijakan strategis pemerintah.
Kemudian bisa diikuti dengan hak menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat itulah yang membawa konsekuensi. "Kalau kita lihat, masa jabatan presiden itu sesuatu yang rigid, 20 Oktober 2024 harus ada presiden hasil Pemilu 2024 terpilih,” ujar Titi.
“Dengan konfigurasi itu, meskipun dimungkinkan hak angket mengoreksi beberapa proses dalam penyelenggaraan pemilu, praktiknya selama ini dengan hak angket 2009, itu ditunjukkan untuk perbaikan pemilu ke depan. Saya sendiri mendukung hak angket dengan tujuan karena memang ada banyak hal dalam pemilu dan demokrasi yang harus dikoreksi," sambung Titi.
“Kita tahu, mekanismenya tidak gampang. Tetapi ketika Indonesia sedang mengalami bencana ketidakjujuran, bencana yang terkait pemilu, kecurangan. Proses kecurangan terjadi sangat masif, terkait keikutsertaan pemerintah dan segala macam untuk menyukseskan pasangan dan partai politik tertentu," kata Ahmad Rofiq dalam dialog iNews Sore bersama dosen FH UI Titi Anggraini dan pengamat politik Ray Rangkuti, Kamis (29/2/2024).
Kecurangan yang terjadi itu, kata Rofiq, bisa menjadi satu dasar untuk dilaksanakannya pemilu ulang. Ketika terjadi kecurangan yang begitu masif sebelum pemilu, itu mempengarungi hasil pemilu beberapa hari lalu.
"Tentu ini dibuktikan dengan hasil di Sirekap. Bagaimana acakadulnya penyelenggara terkait penghitungan manual yang sempat terhenti. Bagaimana proses IT dan segala macam," ujar dia.
Karena itu, tutur Rofiq, kondisi ini direspons oleh partai-partai politik diajukan ke parlemen melalui ke hak angket. Sementara itu, Titi Anggraini mengatakan, hak angket merupakan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang dan kebijakan strategis pemerintah.
Kemudian bisa diikuti dengan hak menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat itulah yang membawa konsekuensi. "Kalau kita lihat, masa jabatan presiden itu sesuatu yang rigid, 20 Oktober 2024 harus ada presiden hasil Pemilu 2024 terpilih,” ujar Titi.
“Dengan konfigurasi itu, meskipun dimungkinkan hak angket mengoreksi beberapa proses dalam penyelenggaraan pemilu, praktiknya selama ini dengan hak angket 2009, itu ditunjukkan untuk perbaikan pemilu ke depan. Saya sendiri mendukung hak angket dengan tujuan karena memang ada banyak hal dalam pemilu dan demokrasi yang harus dikoreksi," sambung Titi.
(rca)