Gula-Gula untuk Sang Oposan

Jum'at, 14 Agustus 2020 - 07:04 WIB
loading...
Gula-Gula untuk Sang Oposan
Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang dikenal vokal mengkritisi Presiden Jokowi menerima tanda penghormatan tertinggi berupa Bintang Mahaputra, kemarin. Foto: dok/Presiden.go.id
A A A
JAKARTA - Munculnya nama Fahri Hamzah dan Fadli Zon dalam daftar penerima tanda jasa dan tanda penghargaan jelang Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke-75 mengejutkan banyak kalangan. Selain selalu bersikap kritis kepada pemerintah, jejak prestasi dua politisi dalam memimpin DPR 2014-2019 tergolong biasa saja.

Fahri dan Fadli menerima penghargaan Bintang Mahaputra. Tak main-main tanda penghargaan Bintang Mahaputra ini merupakan tanda kehormatan tertinggi setelah Bintang Republik Indonesia. Untuk mendapat penghargaan ini individu, kesatuan, institusi pemerintah atau organisasi harus memenuhi syarat umum maupun khusus.

Persyaratan umum misalnya WNI, memiliki integritas moral dan keteladanan, serta tidak pernah dipidana. Sementara, syarat khusus untuk memperoleh tanda kehormatan Bintang Mahaputera di antaranya berjasa luar biasa di berbagai bidang yang bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan Negara. Para penerima tanda jasa Bintang Mahaputra ini mendapatkan sejumlah fasilitas di antaranya pemberian sejumlah uang sekaligus atau berkala, hak untuk hadir untuk acara resmi dan acara kenegaraan, serta berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan jika meninggal dunia.

Para ahli waris dari penerima Bintang Mahaputra berhak menerima sejumlah uang sekaligus maupun berkala. Tentu dengan persyaratan yang begitu ketat, Fahri dan Fadli dinilai mempunyai prestasi dan jasa luar biasa bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan Negara.

Duo Fahri dan Fadli memang fenomenal. Nama duo sahabat sejak jaman kuliah itu mulai melambung saat menjadi pengkritik setia Jokowi. Mereka dengan tajam menembakan peluru-peluru kritik sejak Jokowi resmi mencalonkan diri sebagai Presiden dan bersaing dengan Prabowo Subianto yang dicalonkan sebagai Presiden oleh koalisi Gerindra dan PKS dalam Pemilu 2014.

Fahri Hamzah misalnya dengan tajam mengkritik ide penetapan Hari Santri. Saat itu putra asli Bima ini menyebut ide Jokowi sebagai ide sinting. Kritikan duo Fahri dan Fadli kian menjadi saat Jokowi terpilih sebagai presiden di periode pertama. Sebagai figure dari dua partai yang berada di luar pemerintah, Fahri dan Fadli tak segan melontarkan kritikan tajam yang disampaikan baik melalui akun media sosial mereka, forum persidangan DPR, maupun media massa.

Gula-Gula untuk Sang Oposan


Fadli misalnya menyebut jika Nawa Cita Jokowi gagal total dan lebih pantas disebut Nawa Duka. Pria asal Sumbar itu juga tak segan menilai Jokowi tak layak disandingkan dengan para tokoh-tokoh bangsa yang punya bahan bacaan berbobot dibanding mantan Gubernur DKI itu yang malah suka bacak komik Doraemon dan Shincan. Setali tiga uang, Fahri tak segan menyebut rezim Jokowi-Jusuf Kalla sebagai rezim bodoh.

Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Ahmad Khoirul Umam mengatakan, penghargaan Bintang Mahaputera Nararya untuk Fadli Zon dan Fahri Hamzah sebenarnya seremoni rutin yang diberikan kepada para mantan pimpinan lembaga negara. Diketahui, keduanya sempat ikut memimpin lembaga DPR sebagai wakil ketua. "Tapi ini menjadi menarik karena pihak pemerintah hanya meng-higlihght dua nama politisi tersebut, bukan yang lain," ujar Umam, kemarin.

Langkah ini, menurut Umam, tentu memiliki makna politik tersendiri, mengingat pemberian ini diberikan pemerintah dan dari keduanya tidak ada penolakan. Menurutnya, langkah pemberian penghargaan ini bisa dipengaruhi oleh dua kemungkinan. Pertama, terjadi rekonsiliasi politik antara kubu pemerintah dengan dua figur politisi yang selama ini menjadi pengkritik terdepan. "Meskipun kritikannya sering bernada nyinyir dan asal hantam, namun efek destruktif terhadap pemerintah tentu terasa," katanya.

Sementara rekonsiliasi itu bisa terjadi karena Fahri perlu mengamankan kepentingan partai barunya yakni Partai Gelora di hadapan pemerintah. Sedangkan Fadli Zon sendiri dipaksa untuk bungkam oleh realitas politik di mana Prabowo telah berada di internal kolisi pemerintah.

Kedua, tutur Umam, pemberian penghargaan tokoh-tokoh kritis ini bisa dimaknai sebagai upaya menjinakkan kekuatan kritis yang dinilai tidak produktif bagi soliditas kepentingan mereka yang berada di rezim pemerintahan.

"Logika itu bisa valid karena hal itu pula yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi kepada seteru lamanya Prabowo. Daripada merepotkan kerja pemerintahan di parlemen maka diberilah Gerindra dua jatah kursi menteri, meskipun hal itu tentu melukai logika demokrasi yang kompetitif," katanya.

Hal ini, kata Umam, merepresentasikan cara-cara kepemimpinan politik Jawa (Javanese leadership style). "Seperti ditulis oleh Benedict Anderson (1970) bahwa dalam filosofi Jawa, untuk membungkam mereka yang bersuara maka cukup dengan "dipangku" agar suara itu 'mati'," tutur Doktor Ilmu Politik dari School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, Australia itu.

Telah Disetujui Dewan Tanda Gelar dan Jasa

Presiden Jokowi menilai tidak ada yang salah atas pemberian Bintang Mahaputra terhadap Fadli Zon dan Fahri Hamzah . Menurutnya pemberian tanda jasa tersebut telah melalui pertimbangan matang di Dewan Tanda Gelar dan Jasa. Penghargaan ini diberikan kepada beliau-beliau yang memiliki jasa terhadap bangsa dan negara dan ini melalui pertimbangan-pertimbangan yang matang oleh Dewan Tanda Gelar dan Jasa. Pertimbangannya sudah matang," ujar Jokowi, di Istana Negara, kemarin.

Dia mengatakan wajar jika ada kontroversi terhadap pemberian jasa kepada Fadli Zon dan Fahri Hamzah karena selama ini dua sosok ini kerap berseberangan dengan pemerintah. Kendati demikian Jokowi menilai bahwa tidak ada yang salah jika dua tokoh bangsa tersebut selalu bersikap kritis kepada pemerintah. Menurutnya berlawanan secara politik bukan berarti bermusuhan. "Bahwa misalnya ada pertanyaan mengenai Pak Fahri Hamzah, kemudian Pak Fadli Zon , ya berlawanan dalam politik, berbeda dalam politik ini bukan berarti kita bermusuhan dalam berbangsa dan bernegara," katanya.

Fadli Zon mengatakan anugerah yang diraihnya hari ini adalah bentuk penghargaan kepada rakyat karena sama-sama menjaga demokrasi. "Tentu penghargaan ini menurut saya adalah penghargaan kepada rakyat juga karena kita sama-sama menjaga demokrasi, dari kepala negara, dari Presiden, tadi apa yang disampaikan merupakan tradisi yang kita mempunyai tujuan yang sama, sama-sama merawat dan menjaga Indonesia," jelas politikus Gerindra itu.

“Jadi kami ucapkan terima kasih atas pengakuan terhadap demokrasi kita dengan tadi, berbagai perbedaan itu sebenarnya adalah potensi kita untuk maju dan tetap kuat melakukan checks and balances," tambah Fadli.

Sementara Fahri mengatakan, posisi Presiden Jokowi dalam sistem tata negara adalah kepala pemerintahan dan juga kepala negara. Pada momentum HUT ke-75 RI ini Jokowi tampil sebagai kepala negara untuk menjaga persatuan dan kesatuan.

"Pada momen-momen 17-an seperti ini Presiden sebagai kepala negara tentu lebih menonjol menjaga persatuan kita, menjaga simbol negara kita," kata Fahri seusai menerima penghargaan di Istana Negara.

"Itu yang tadi beliau sampaikan sebagai negara demokrasi kita harus bisa memelihara persatuan dan kebersamaan, apalagi situasinya sekarang kan lagi Covid-19 dan sebagainya. Jadi saya kira itu lah momennya sekarang bagi kita semua untuk mempersatukan bangsa kita," tambahnya. (Abdul Rochim/Dita Angga)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1262 seconds (0.1#10.140)