Membawa Mahar Politik ke Tempat Terang
loading...
A
A
A
Fadli Ramadhanil
Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
SATU bulan menjelang dibukanya pendaftaran calon kepala daerah merupakan momen yang menentukan. Pada saat-saat inilah lobi politik bakal calon kepala daerah ke partai semakin gencar. Bakal calon kepala daerah memburu rekomendasi dan persetujuan pencalonan dari partai politik. Perburuan tiket pencalonan ini jarang sekali dilakukan ke satu partai. Sebab ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20% kursi DPRD atau 25% suara sah pemilu terakhir, membuat bakal pasangan calon kepala daerah mesti bertungkus lumus berkeliling meyakinkan partai politik agar mencalonkan dirinya.
Dalam batas-batas tertentu, komunikasi antarparpol juga semakin intensif. Pengalaman pilkada-pilkada sebelumnya, koalisi partai politik di level provinsi dan kabupaten/kota berjalan dengan sangat cair. Pakem koalisi yang terbentuk di level pusat, nyaris tidak berpengaruh banyak terhadap bangunan koalisi di daerah. Pendekatan partai bisa jadi lebih pragmatis untuk pencalonan kepala daerah. Sepanjang ada calon yang potensial, dan proses komunikasi antara calon dan partai menemukan kenyamanan satu sama lain, rekomendasi dan persetujuan pencalonan akan diberikan oleh partai.
Dalam proses lobi dan pendekatan kepada partai politik ini, pengalaman pilkada sebelumnya, terdapat isu yang mahar politik yang selalu mengiringi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir tidak mungkin partai politik memberikan tiket pencalonan tanpa imbalan apa-apa. Bahkan, hal ini sudah berulang kali diakui sendiri oleh elite partai dengan berbagai macam perspektif dan alasan pembenar.
Salah satu alasan pembenar yang sering disampaikan adalah, serahan yang diberikan bakal calon kepada partai itu adalah sumbangan terhadap institusi partai. Selain itu, penyerahan uang tersebut juga kadang didalilkan sebagai biaya operasional persiapan pilkada, salah satunya adalah biaya saksi untuk pemungutan suara di TPS kelak. Jika memaknai penjelasan ini dalam kacamata yang lurus positifistik, tentu saja tidak ada yang salah dengan penjelasan-penjelasan tersebut. Bahwa ada individu yang “kebetulan” adalah bakal calon kepala daerah menyumbang kepada partai, tentulah sesuatu yang diperbolehkan.
Termasuk pula jika seorang bakal calon kepala daerah menyerahkan sejumlah uang kepada partai untuk persiapan operasional selama kontestasi nanti. Semisal biaya saksi, atau biaya konsolidasi awal dengan kader partai politik yang mendukung bakal calon kepala daerah. Namun, yang jadi masalah selama ini, penyerahan uang sebagai bantuan kepada partai politik tersebut tidak pernah dicatatkan dan dilaporkan secara benar. Hal ini bisa dilihat dari laporan keuangan atau bahkan hasil audit tata kelola keuangan partai politik, tidak mencantumkan secara cermat dan transparan sumbangan-sumbangan dari bakal calon kepala daerah.
Harusnya, jika memang uang yang disumbangkan akan dipergunakan untuk pengelolaan organisasi partai, uang tersebut wajib untuk dilaporkan di dalam laporan keuangan partai. Termasuk juga untuk alasan bahwa uang yang diserahkan kepada partai politik akan dipergunakan untuk biaya saksi dan operasional kontestasi pasangan calon. Untuk dalil ini, harusnya bakal pasangan calon kepala daerah wajib mencatatkan pengeluaran uang tersebut di dalam laporan awal dana kampanyenya.
Artinya, ketika belum ditetapkan menjadi calon kepala daerah, seorang bakal calon kepala daerah sudah mengeluarkan biaya yang akan dipergunakan untuk operasional kandidasi, dan uang itu diserahkan kepada partai politik. Jika ini tidak dicatatkan di dalam laporan awal dana kampanye, indikasi adanya ketidakjujuran di dalam melaporkan dana kampanye sudah bisa dipenuhi.
Pelajaran Sebelumnya
Jika melihat kondisi selama ini, pemberian uang dari bakal calon kepala daerah kepada partai selalu berada di ruang gelap. Tidak tahu berapa jumlahnya, uang akan dipergunakan untuk apa, dan bagaimana mekanisme transparansi dan akuntabilitasnya. Padahal, uang yang dikeluarkan oleh seorang bakal calon kepala daerah yang kaitannya dengan kontestasi politik yang sedang diikutinya, akan berdampak pada biaya politik yang bersangkutan. Lebih jauh, andai ia terpilih nanti, biaya yang dikeluarkan tersebut akan berpengaruh pada kebijakan-kebijakannya sebagai kepala daerah. Bahkan, pendekatan yang bersangkutan dalam mengambil keputusan sebagai pejabat publik juga akan dipengaruhi dari biaya kontestasi yang sudah dikeluarkan, dan dari siapa biaya itu ia dapatkan.
Kepala daerah dapat saja terbelenggu ketika sudah terjebak dari awal dengan kepentingan pemodal yang membiayainya dalam pilkada. Ketika ia sudah jadi pejabat publik, konflik kepentingan untuk mengedepankan kepentingan pemodal menjadi sulit untuk dihindari. Kondisi ini tentu menjadi titik rawan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lebih lagi, kondisi seperti inilah yang menjadi cikal bakal terjadinya praktik korupsi politik di pemerintahan daerah.
Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
SATU bulan menjelang dibukanya pendaftaran calon kepala daerah merupakan momen yang menentukan. Pada saat-saat inilah lobi politik bakal calon kepala daerah ke partai semakin gencar. Bakal calon kepala daerah memburu rekomendasi dan persetujuan pencalonan dari partai politik. Perburuan tiket pencalonan ini jarang sekali dilakukan ke satu partai. Sebab ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20% kursi DPRD atau 25% suara sah pemilu terakhir, membuat bakal pasangan calon kepala daerah mesti bertungkus lumus berkeliling meyakinkan partai politik agar mencalonkan dirinya.
Dalam batas-batas tertentu, komunikasi antarparpol juga semakin intensif. Pengalaman pilkada-pilkada sebelumnya, koalisi partai politik di level provinsi dan kabupaten/kota berjalan dengan sangat cair. Pakem koalisi yang terbentuk di level pusat, nyaris tidak berpengaruh banyak terhadap bangunan koalisi di daerah. Pendekatan partai bisa jadi lebih pragmatis untuk pencalonan kepala daerah. Sepanjang ada calon yang potensial, dan proses komunikasi antara calon dan partai menemukan kenyamanan satu sama lain, rekomendasi dan persetujuan pencalonan akan diberikan oleh partai.
Dalam proses lobi dan pendekatan kepada partai politik ini, pengalaman pilkada sebelumnya, terdapat isu yang mahar politik yang selalu mengiringi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir tidak mungkin partai politik memberikan tiket pencalonan tanpa imbalan apa-apa. Bahkan, hal ini sudah berulang kali diakui sendiri oleh elite partai dengan berbagai macam perspektif dan alasan pembenar.
Salah satu alasan pembenar yang sering disampaikan adalah, serahan yang diberikan bakal calon kepada partai itu adalah sumbangan terhadap institusi partai. Selain itu, penyerahan uang tersebut juga kadang didalilkan sebagai biaya operasional persiapan pilkada, salah satunya adalah biaya saksi untuk pemungutan suara di TPS kelak. Jika memaknai penjelasan ini dalam kacamata yang lurus positifistik, tentu saja tidak ada yang salah dengan penjelasan-penjelasan tersebut. Bahwa ada individu yang “kebetulan” adalah bakal calon kepala daerah menyumbang kepada partai, tentulah sesuatu yang diperbolehkan.
Termasuk pula jika seorang bakal calon kepala daerah menyerahkan sejumlah uang kepada partai untuk persiapan operasional selama kontestasi nanti. Semisal biaya saksi, atau biaya konsolidasi awal dengan kader partai politik yang mendukung bakal calon kepala daerah. Namun, yang jadi masalah selama ini, penyerahan uang sebagai bantuan kepada partai politik tersebut tidak pernah dicatatkan dan dilaporkan secara benar. Hal ini bisa dilihat dari laporan keuangan atau bahkan hasil audit tata kelola keuangan partai politik, tidak mencantumkan secara cermat dan transparan sumbangan-sumbangan dari bakal calon kepala daerah.
Harusnya, jika memang uang yang disumbangkan akan dipergunakan untuk pengelolaan organisasi partai, uang tersebut wajib untuk dilaporkan di dalam laporan keuangan partai. Termasuk juga untuk alasan bahwa uang yang diserahkan kepada partai politik akan dipergunakan untuk biaya saksi dan operasional kontestasi pasangan calon. Untuk dalil ini, harusnya bakal pasangan calon kepala daerah wajib mencatatkan pengeluaran uang tersebut di dalam laporan awal dana kampanyenya.
Artinya, ketika belum ditetapkan menjadi calon kepala daerah, seorang bakal calon kepala daerah sudah mengeluarkan biaya yang akan dipergunakan untuk operasional kandidasi, dan uang itu diserahkan kepada partai politik. Jika ini tidak dicatatkan di dalam laporan awal dana kampanye, indikasi adanya ketidakjujuran di dalam melaporkan dana kampanye sudah bisa dipenuhi.
Pelajaran Sebelumnya
Jika melihat kondisi selama ini, pemberian uang dari bakal calon kepala daerah kepada partai selalu berada di ruang gelap. Tidak tahu berapa jumlahnya, uang akan dipergunakan untuk apa, dan bagaimana mekanisme transparansi dan akuntabilitasnya. Padahal, uang yang dikeluarkan oleh seorang bakal calon kepala daerah yang kaitannya dengan kontestasi politik yang sedang diikutinya, akan berdampak pada biaya politik yang bersangkutan. Lebih jauh, andai ia terpilih nanti, biaya yang dikeluarkan tersebut akan berpengaruh pada kebijakan-kebijakannya sebagai kepala daerah. Bahkan, pendekatan yang bersangkutan dalam mengambil keputusan sebagai pejabat publik juga akan dipengaruhi dari biaya kontestasi yang sudah dikeluarkan, dan dari siapa biaya itu ia dapatkan.
Kepala daerah dapat saja terbelenggu ketika sudah terjebak dari awal dengan kepentingan pemodal yang membiayainya dalam pilkada. Ketika ia sudah jadi pejabat publik, konflik kepentingan untuk mengedepankan kepentingan pemodal menjadi sulit untuk dihindari. Kondisi ini tentu menjadi titik rawan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lebih lagi, kondisi seperti inilah yang menjadi cikal bakal terjadinya praktik korupsi politik di pemerintahan daerah.