Waspadai Doktrin Teror Lewat Media Sosial

Kamis, 13 Agustus 2020 - 08:00 WIB
loading...
Waspadai Doktrin Teror...
Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Sel-sel terorisme masih aktif bergerak di Tanah Air. Jika sebelumnya pentolan teroris menyebarkan doktrin jihadis melalui forum pengajian tertutup, kini mereka aktif merekrut calon-calon “pengantin bom” melalui berbagai platform media sosial.

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) pun nyatanya tidak membuat jaringan kelompok radikalisteroris menyurutkan semangat dan langkah dalam berkampanye, propaganda, hingga rekrutmen. Keterbatasan jarak dan pertemuan diakali dengan memanfaatkan saluran internet, termasuk media sosial (medsos). Berdasarkan data yang ada dari berbagai lembaga, pengguna internet mencakup beragam usia, dari umur 5 hingga 65 tahun.

Penangkapan yang dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Mabes Polri terhadap pemuda berinisial AR (21 tahun) di Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, pada Jumat, 5 Juni 2020, bisa menjadi alarm. AR diduga mengenal jaringan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) melalui media sosial yakni Facebook dan diduga telah menjadi simpatisan ISIS. (Baca: Mendekap Para korban Terorisme Seutuhnya)

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafli Amar menyatakan, berdasarkan deteksi jajaran penegak hukum, upaya penyebaran paham terorisme tak berhenti, meskipun dimasa pandemi Covid-19. Kampanye dan propaganda perekrutan oleh ja ringan kelompok radikal masih terus berlangsung. Kampanye dan propaganda itu dilakukan baik secara offline maupun online. “Proses rekrutmen me lalui jagat maya menjadi pilihan ke lompok dengan paham radikalisme dan terorisme karena banyak orang berada di rumah, tetapi masih tetap bisa online,” katanya.

Boy menegaskan, di masa pandemi saat ini BNPT lebih memfokuskan pada upaya pencegahan terorisme dalam jaringan (daring) alias online. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan kontra radikalisme, yakni melawan informasi bertebaran di medsos yang bertentangan dengan nilai dasar falsafah bangsa, yakni Pancasila. Apalagi, medsos menjadi sarana paling efektif karena saat ini adalah era digital. Ditambah lagi, kelompok-kelompok radikalis-te roris semakin lama semakin meninggalkan metode face to face atau bertemu langsung untuk menyebarkan paham tersebut.

“Kita melihat penyalahgunaan dunia maya cukup tinggi dengan penyebarluasan paham terorisme, intoleran,dan radikalisme. Ini sangat menghiasi ruang publik dunia maya. Ini adalah tugas BNPT bagaimana melakukan kontra radikalisme,” ungkapnya. (Baca juga: Deradikalisasi, Pembinaan terhadap Napiter Harus Optimal)

Analis konflik dan terorisme, Alto Luger, menyatakan kelompok radikal/teroris sudah bermain pada dunia maya sejak lama. Mereka sangat nyaman on line. Kondisi pandemi Covid-19 menjadi peluang besar bagi mereka karena sebagian besar kegiatan masyarakat beralih ke daring.

Waspadai Doktrin Teror Lewat Media Sosial


“Ini adalah comfort zone dari kelompok-kelompok radikal dan teroris . Nah, di masa pandemi Covid-19 ini memang terlihat bahwa kelompok radikal/teroris ini pun memanfaatkan isu Covid-19 dalam propaganda mereka,” ujarnya saat berbincang dengan Koran SINDO.

Walaupun kelompok radikal/teroris memakai isu Covid-19 sebagai bahan propaganda dan rekrutmen mereka, tapi terlihat bahwa gerakan kelompok tersebut di medsos tidak konsisten. Ke lompok itu pun cenderung hanya menunggangi isu yang lagi hits di waktu tertentu saja. Misalnya saat ini mereka mengampanyekan anti-China karena ada berita uji klinis tahap tiga vaksin Covid-19 buatan China di Indonesia. “Jadi boleh dikatakan masif secara jumlah, tapi tidak terstruktur dan terencana dengan baik,” beber Alto. (Baca juga: Postingan Menghujat Nabi Muhammad Picu Bentrokan di India, Tiga Tewas)

Secara spesifik kelompok radikal/teroris punya dua sasaran demografi saat melakukan kampanye, propaganda, dan penyebaran paham radikalisme terorisme serta untuk perekrutan calon pelaku teror. Kedua sasaran demografi tersebut kelompok anak muda dan kelompok usia produktif. Anak muda yang disasar berkategori usia sekolah di tingkat SMA hingga universitas.

Adapun usia pekerja produktif berarti berusia 22-55 tahun. “(Sasaran) dua grup ini tidak berubah di masa pandemi ini. Kenapa mereka? Anak-anak muda dipilih karena mereka berpotensi dijadikan ‘prajurit’ di lapangan. Mereka bisa ikut dalam aksi, mereka juga berpotensi untuk menambah jumlah, sedangkan kelompok usia produktif dipilih karena mereka bisa ikut kelompok radikal/teroris dalam pendanaan lewat sumbangan,” ungkap Alto.

Founder Drone Emprit and Media Kernels Indonesia Ismail Fahmi menilai, medsos memang menjadi salah satu sarana penyampaian pesan yang efektif. Dia menyatakan, Drone Emprit pernah memantau penyampaian pesan pengguna medsos pada aspek intoleran dan radikalisme. Hanya, untuk memastikan arah konteksnya masih butuh waktu. Untuk isu intoleran dan radikalisme terdapat beberapa kata kunci. (Lihat videonya: Jaksa Cantik Pinangki Jadi Tersangka, Diduga terima Suap Rp7 Miliar)

Dia memastikan, berdasarkan data yang ada memang penyebaran paham-paham tersebut masih terus berlangsung di medsos saat masa pandemi Covid-19. “Data-data itu kami kumpulkan, bah kan sampai saat ini. Cuma, untuk me nyimpulkannya harus dianalisis lagi dan itu butuh waktu. Hal yang pasti, sikap intoleran dan radikalisme itu me mang dikampanyekan terus-menerus lewat medsos, bahkan dimasa pandemi. Paham-paham itu masih terus selalu ada,” ujar Ismail saat di hubungi Koran SINDO. (Sabir Laluhu)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1394 seconds (0.1#10.140)