Divonis Jadi Tahanan Kota, Kuasa Hukum Korban Minta JPU Banding

Jum'at, 08 Juni 2018 - 01:01 WIB
Divonis Jadi Tahanan Kota, Kuasa Hukum Korban Minta JPU Banding
Divonis Jadi Tahanan Kota, Kuasa Hukum Korban Minta JPU Banding
A A A
JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang diketuai Hakim Nuraeni SH menjatuhkan vonis kepada dua terdakwa kasus dugaan penerbitan ijazah yakni Matheus Mangentang, Rektor dan Ketua Yayasan STT Setia (Sekolah Tinggi Teologia Arastamar) dan Direktur STT Setia Ernawaty Simbolon masing-masing 7 tahun dan denda Rp1 miliar

Dalam.sidang putusanya selain menjatuhkan vonis hakim menetapkan para terdakwa dengan tahanan kota yang dikenakan wajib lapor. Atas putusan tersebut, baik kuasa hukum terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan pikir-pikir dahulu.

Tim JPU, Handri mengatakan bahwa akan melaporkan terlebih dahulu ke Tim JPU yg menangani kasus ini. Terkait upaya penahanan, di dalam putusan telah disampaikan bahwasanya tidak ada perintah untuk penahanan rutan, namun tetap berada dalam tahanan kota.

"Terkait upaya hukum apakah nanti dari pihak mereka ada atau tidak, namun kalau nanti kita memperbaiki hukum kembali kepada pengadilan tinggi, maka pengadilan tinggi yang memiliki kewenangan untuk mengatur penahanan apakah di rutan atau kota," jelas jaksa Handri, Kamis (7/6/2018).

Sementara itu, Kuasa Hukum korban, Sabar Ompu Sunggu, SH, MH mengaku sangat kecewa dengan putusan hakim pengadilan negeri Jakarta Timur yang menghukum terdakwa 7 tahun tahanan kota bukan tahanan rutan. Padahal menurut Undang-undang, putusan hukuman diatas 5 tahun harus dilakukan penahanan.

"Kami selaku kuasa hukum dari korban sangat kecewa dengan putusan hakim pengadilan Jakarta Timur dengan putusan majelis hakim yang menjatuhkan hukuman 7 tahun tapi tidak segera dimasukkan dalam rumah tahanan negara. Ini artinya putusan ini menang di atas kertas," tegas Sabar.

Ia minta JPU dapat segera melakukan banding di pengadilan tinggi karena menurutnya ada dugaan cacat hukum dan biarkan nantinya pengadilan tinggi yang mengambil alih perkara ini dan memperbaiki putusannya.

"Putusan ini harus dikawal terus sampai ke Mahkamah Agung agar memberikan efek jera terhadap perguruan-perguruan tinggi yang ada di republik ini," pungkasnya.

Sebelumnya pembacaan Pledoi oleh kedua terdakwa dugaan penerbitan ijazah Matheus Mangentang, Rektor dan Ketua Yayasan STT Setia (Sekolah Tinggi Teologia Arastamar) dan Direktur STT Setia Ernawaty Simbolon

Matheus dalam pembelaanya mengatakan sejak perkara pidananya disidangkan, dan statusnya menjadi tahanan kota, ia merasa dirugikan baik secara moril dan materil. Sekolah teologia dan yayasan yang dipimpinnya tergganggu, tugas pelayanannya sebagai pendeta terhambat.

"Hampir dua ribu anak tidak mampu yang saya layani terbengkalai, Saya sudah tigapuluh tahun mengabdi, tidak punya apa-apa. Tidak punya rumah, tidak punya uang, tidak punya mobil, kok saya dibeginikan," katanya

Sementara itu pengacara terdakwa Tommy Sihotang SH di dalam persidangan mengatakan, kliennya tidak bersalah. Terbukti ketika kasus ini pernah disidangkan di PN Tangerang dengan tuduhan menipu orang, Matheus menang. Sidang perdata di PN Jakarta Barat sampai kasasi di Mahkamah Agung, juga dimenangkan oleh kliennya. Dalam perkara di PN Jakarta Timur, Matheus dan Direktur STT Setia didakwa menyelenggarakan pendidikan tanpa ijin dan menerbitkan ijazah secara tidak sah.

Kedua dakwaan itu, menurut Tommy, mengada-ada karena, kalau hanya soal perijinan, bisa diurus. Sekarang STT Setia sudah memiliki ijin dan berganti nama menjadi STIKIP. Mengenai ijazah, tidak bisa disebut pelanggaran, karena itu hanya dipergunakan untuk kepentingan internal. Alumni STT Setia akan mengajar di sekolah-sekolah milik STT Setia sendiri yang bertebaran di tanah air.

"Saya hingga kini mempertanyakan keputusan JPU yang menuntut 9 Tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, tuntutan itu lebih parah dari tuntutan terhadap teroris. Itu kan ijazah untuk keperluan internal, yang kedua siapa bilang itu ijazah. Ijazah itu ada bentuk formil dan bentuk materil," ucapnya.

"Bentuk formilnya ada lambang Diknas, lambang garuda, ada hak dan kewajiban siswa yang memegang ijazah. Di sertifikat yang dikeluarkan STT Setia, tidak ada itu lambang negara dan tulisan yang menjelaskan bahwa lulusan STT Setia bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya. Bahwa kemudian lulusan STT Setia diterima sebagai pegawai negeri, itu kan karena kebijakan dan kebutuhan daerah akan tenaga guru," tandas Tommy.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7042 seconds (0.1#10.140)