Presiden Harus Cuti jika Ingin Kampanye, Kapan Waktu Pengajuannya?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seorang presiden yang ingin melakukan kampanye pada masa kampanye pemilu harus mengajukan cuti. Pengajuan cuti tersebut diajukan tujuh hari sebelum pelaksanaan kampanye dan diurus oleh Kesekretariatan Negara.
Menurut anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem ) Titi Anggraini, pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal presiden boleh berkampanye dan memihak di Pemilu 2024 kurang lengkap.
"Saya kira pernyataan itu kurang utuh, yang hanya menekankan dalam kampanye dan berpihak tapi ada komponen yang tidak bisa dipisahkan dari praktik kampanye yang dilibatkan presiden atau menteri. Pertama, tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Kedua, harus dilakukan ketika cuti di luar tanggungan negara," kata Titi Anggraini, Jumat (26/1/2024).
Lebih detail Titi mengatakan, proses cuti presiden harus dilakukan secara tertulis. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengunduran Diri dalam Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden, Permintaan Izin dalam Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, Serta Cuti dalam Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum, cuti harus diajukan dalam tempo waktu 7 hari sebelum pelaksanaan kampanye dan prosesnya harus diurus oleh Kesekretariatan Negara.
Diketahui, dalam Pasal 34 PP tersebut yang diakses SINDOnews, Jumat (26/1/2024), diatur tentang Pelaksanaan Cuti Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 34 ayat (1) disebutkan bahwa "Pelaksanaan Cuti Presiden dan Wakil Presiden yang akan melakukan Kampanye Pemilihan Umum dilakukan secara bergantian dengan memperhatikan pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden".
Selanjutnya, Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa "Jadwal Cuti Kampanye Pemilihan Umum yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden disampaikan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara kepada Komisi Pemilihan Umum paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum Presiden dan Wakil Presiden melaksanakan kampanye".
Titi juga mengatakan, presiden sebagai kepala negara harus netral tertuang pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tepatnya Pasal 282 yang menyebutkan pejabat negara itu harus netral, tidak berpihak membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu tertentu.
"Itu dalam kapasitas jabatannya Presiden, Menteri-menteri, ASN, Kepala Desa. Itu posisi yang nonpartisan, tetapi sebagai individu politik Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri, tapi syaratnya tidak menggunakan fasilitas jabatan. Kedua cuti," pungkasnya.
Sebelumnya, Jokowi mengatakan bahwa seorang kepala negara boleh berkampanye atau memihak. Hal tersebut dikatakannya menanggapi perihal adanya menteri kabinet yang tidak ada hubungannya dengan politik, tapi ikut serta menjadi tim sukses pasangan capres-cawapres.
"Ya ini kan hak demokrasi, hak politik setiap orang setiap menteri sama saja. Yang paling penting presiden itu boleh loh itu kampanye, presiden itu boleh loh memihak, boleh," kata Jokowi dalam keterangannya di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024).
Jokowi mengatakan bahwa meskipun kepala negara ataupun menteri bukan pejabat politik, namun sebagai pejabat negara memiliki hak untuk berpolitik.
"Boleh Pak, kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik masa gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh, boleh. Menteri juga boleh," kata Jokowi.
Jokowi menegaskan bahwa yang terpenting menteri ataupun kepala negara bisa berkampanye tanpa menggunakan fasilitas dari negara. "Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara," kata Jokowi.
Menurut anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem ) Titi Anggraini, pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal presiden boleh berkampanye dan memihak di Pemilu 2024 kurang lengkap.
"Saya kira pernyataan itu kurang utuh, yang hanya menekankan dalam kampanye dan berpihak tapi ada komponen yang tidak bisa dipisahkan dari praktik kampanye yang dilibatkan presiden atau menteri. Pertama, tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Kedua, harus dilakukan ketika cuti di luar tanggungan negara," kata Titi Anggraini, Jumat (26/1/2024).
Lebih detail Titi mengatakan, proses cuti presiden harus dilakukan secara tertulis. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengunduran Diri dalam Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden, Permintaan Izin dalam Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, Serta Cuti dalam Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum, cuti harus diajukan dalam tempo waktu 7 hari sebelum pelaksanaan kampanye dan prosesnya harus diurus oleh Kesekretariatan Negara.
Diketahui, dalam Pasal 34 PP tersebut yang diakses SINDOnews, Jumat (26/1/2024), diatur tentang Pelaksanaan Cuti Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 34 ayat (1) disebutkan bahwa "Pelaksanaan Cuti Presiden dan Wakil Presiden yang akan melakukan Kampanye Pemilihan Umum dilakukan secara bergantian dengan memperhatikan pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden".
Selanjutnya, Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa "Jadwal Cuti Kampanye Pemilihan Umum yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden disampaikan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara kepada Komisi Pemilihan Umum paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum Presiden dan Wakil Presiden melaksanakan kampanye".
Titi juga mengatakan, presiden sebagai kepala negara harus netral tertuang pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tepatnya Pasal 282 yang menyebutkan pejabat negara itu harus netral, tidak berpihak membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu tertentu.
"Itu dalam kapasitas jabatannya Presiden, Menteri-menteri, ASN, Kepala Desa. Itu posisi yang nonpartisan, tetapi sebagai individu politik Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri, tapi syaratnya tidak menggunakan fasilitas jabatan. Kedua cuti," pungkasnya.
Sebelumnya, Jokowi mengatakan bahwa seorang kepala negara boleh berkampanye atau memihak. Hal tersebut dikatakannya menanggapi perihal adanya menteri kabinet yang tidak ada hubungannya dengan politik, tapi ikut serta menjadi tim sukses pasangan capres-cawapres.
"Ya ini kan hak demokrasi, hak politik setiap orang setiap menteri sama saja. Yang paling penting presiden itu boleh loh itu kampanye, presiden itu boleh loh memihak, boleh," kata Jokowi dalam keterangannya di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024).
Jokowi mengatakan bahwa meskipun kepala negara ataupun menteri bukan pejabat politik, namun sebagai pejabat negara memiliki hak untuk berpolitik.
"Boleh Pak, kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik masa gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh, boleh. Menteri juga boleh," kata Jokowi.
Jokowi menegaskan bahwa yang terpenting menteri ataupun kepala negara bisa berkampanye tanpa menggunakan fasilitas dari negara. "Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara," kata Jokowi.
(zik)