Kolaborasi dalam Melawan Resesi di Tengah Pandemi
loading...
A
A
A
Muhamad Ali
Pemerhati Human Capital
RISET terbaru Harvard Business School, yang baru ditayangkan 10 Agustus lalu, tentang upaya penemuan vaksin berbasis riset sangat menarik untuk dilirik. Dielaborasi dalam riset tersebut kaum perempuan berprofesi menjadi sangat terancam karier mereka sebagai peneliti, akibat adanya pandemi yang membuat laboratorium dan lembaga riset terpaksa mengurangi aktivitas mereka secara sangat signifikan. Di sisi lain, kaum perempuan peneliti juga masih bertambah bebannya dengan urusan-urusan rumah tangga selama masa pandemi. Apalagi bila mereka memiliki anak kecil yang harus diurus selama pembatasan sosial maupun lockdown.
Padahal, negara-negara yang banyak dipandang berhasil menangani pandemi secara baik justru adalah negara-negara yang dipimpin oleh kaum perempuan. Jerman, Norwegia, Denmark, Taiwan, Selandia Baru, adalah beberapa contoh yang sering disebut.
Dua kenyataan yang sepertinya saling bertolak belakang dalam konteks pandemi Covid-19 itu sesungguhnya justru memberikan sinyalemen bahwa analisis atau tinjauan berbasis gender justru menjadi kurang relevan dalam konteks pentingnya membangun kolaborasi yang lebih luas. Tidak hanya kolaborasi menyangkut berbagai macam profesi, kelompok-kelompok dalam masyarakat, maupun para pemimpin antarbangsa.
Ada tantangan yang jauh lebih besar yang sebenarnya sedang dihadapi oleh banyak negara, yang turunannya sudah pasti akan dihadapi oleh lembaga-lembaga di bawahnya, mulai dari birokrasi pemerintahan, lembaga atau organisasi bisnis, sampai kelompok kepentingan lain di dalam masyarakat.
Beberapa negara sudah mengumumkan kondisi resesi --negara-negara lain tinggal menunggu waktu. Sementara kunci atau titik kritis berikutnya sudah berada di depan mata, yakni bagaimana kondisi dan situasi dalam kuartal ketiga tahun ini: bisa berbalik menuju normal atau jatuh ke dalam resesi. Ketidakberhasilan mengupayakan titik balik ekonomi atau sering disebut sebagai countercyclical akan membuat situasi semakin rumit dan akan muncul korban terdampak dalam skala yang lebih luas dan pemulihannya sudah barang tentu akan memakan waktu lebih lama.
Kolaborasi Konteks Mikro
Jika dalam konteks makro-antarbangsa, antarkorporasi, antarkelompok --kolaborasi menjadi kata kunci terpenting, situasi yang sama dalam pandangan saya juga dibutuhkan dalam konteks mikro, baik dalam skala korporasi maupun kolaborasi antarsektor. Mari kita lihat dengan situasi terakhir di Indonesia sendiri.
Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga 2020 dan hasilnya kita mengalami pertumbuhan negatif yang membuat kita juga akan menghadapi ancaman resesi yang sudah dialami negara-negara lain seperti Singapura atau Amerika Serikat atau beberapa negara Eropa. Nah, dari tinjauan pertumbuhan di sisi sektor, sebagian besar sektor mengalami penurunan signifikan, sedangkan satu-satunya sektor yang mengalami pertumbuhan dibandingkan kuartal sebelumnya adalah sektor pertanian.
Karena itu, kolaborasi antarsektor dengan ujung tombak sektor pertanian menjadi sangat penting dan krusial. Hal yang harus dipahami dan disepakati bersama adalah pandemi Covid-19 telah membuat perubahan drastis dari sisi rantai pasokan (supply chain) maupun dari sisi pola perilaku konsumen (demand). Ciri utama sektor pertanian yang memiliki rantai pasok yang relatif sederhana pada proses produksinya telah menunjukkan bahwa semakin simpel rantai pasok semakin kuat pula sektor tersebut dapat memulihkan diri dari terjangan pandemi.
Sebaliknya, sektor-sektor lain yang memiliki rantai pasokan yang lebih panjang secara natural akan mengalami guncangan lebih dalam. Ketergantungan terhadap titik-titik dalam rantai pasok yang panjang --yang sudah pasti terguncang karena pandemi-- akan membuat proses produksi menjadi terganggu. Belum lagi ketika kita bicara dalam proses distribusi sampai di tingkat konsumen yang sudah barang tentu juga mengalami gangguan.
Kita bisa mengambil pelajaran dari suatu entitas bisnis paling sederhana, misalnya pedagang bakso. Meskipun terlihat sederhana, model bisnis bakso memerlukan bahan-bahan yang melibatkan sektor yang kompleks. Ada bahan-bahan baku yang diproduksi oleh sektor industri seperti tepung atau bumbu masak. Ada bahan baku yang harus diambil dari sektor pertanian seperti sayur-mayur. Ada bahan yang juga tergantung dari sektor peternakan, yaitu daging. Kompleksitas itu baru dari sisi produksi, belum dari sisi bagaimana seorang pedagang bakso harus menjualnya di tengah situasi aktivitas masyarakat di ruang publik yang belum pulih.
Sederhana itu Kuat
Jika kita memotret dinamika sektor yang paling ulet dalam bertahan (resilience) di mana pertanian menjadi jagoannya, pelajaran terpenting yang dapat kita lihat adalah betapa pentingnya sistem atau struktur yang sederhana. Apabila kita melihatnya dalam konteks fungsi di dalam organisasi atau korporasi, semakin sederhana sistem atau struktur organisasi merespons situasi pandemi Covid-19, semakin besar kemungkinan keberhasilan organisasi atau korporasi menjaga kinerja mereka.
Pertanyaan lanjutannya, apakah dengan demikian struktur organisasi dalam korporasi atau birokrasi perlu beradaptasi dan menyederhanakan proses eksekusi? Jawabannya adalah ya. Kecepatan adalah kunci keberhasilan, dan dalam konteks ketidakpastian menghadapi situasi pandemi kecepatan akan menjadi panglima utamanya. Baru diikuti oleh aspek-aspek lainnya, terutama dari sisi keakuratan. Harus disadari bahwa situasi pandemi adalah situasi yang sering disebut unprecedented. Situasi yang belum pernah kita alami dengan semua ekosistem yang terbentuk pada hari ini.
Hal terpenting dalam proses adaptasi adalah kemampuan untuk memahami perubahan dan kemauan untuk merespons secara cepat lagi tepat sesuai dengan situasi yang dihadapi. Karena itu, kolaborasi menjadi kata paling penting dalam upaya kita melawan resesi.
Pemerhati Human Capital
RISET terbaru Harvard Business School, yang baru ditayangkan 10 Agustus lalu, tentang upaya penemuan vaksin berbasis riset sangat menarik untuk dilirik. Dielaborasi dalam riset tersebut kaum perempuan berprofesi menjadi sangat terancam karier mereka sebagai peneliti, akibat adanya pandemi yang membuat laboratorium dan lembaga riset terpaksa mengurangi aktivitas mereka secara sangat signifikan. Di sisi lain, kaum perempuan peneliti juga masih bertambah bebannya dengan urusan-urusan rumah tangga selama masa pandemi. Apalagi bila mereka memiliki anak kecil yang harus diurus selama pembatasan sosial maupun lockdown.
Padahal, negara-negara yang banyak dipandang berhasil menangani pandemi secara baik justru adalah negara-negara yang dipimpin oleh kaum perempuan. Jerman, Norwegia, Denmark, Taiwan, Selandia Baru, adalah beberapa contoh yang sering disebut.
Dua kenyataan yang sepertinya saling bertolak belakang dalam konteks pandemi Covid-19 itu sesungguhnya justru memberikan sinyalemen bahwa analisis atau tinjauan berbasis gender justru menjadi kurang relevan dalam konteks pentingnya membangun kolaborasi yang lebih luas. Tidak hanya kolaborasi menyangkut berbagai macam profesi, kelompok-kelompok dalam masyarakat, maupun para pemimpin antarbangsa.
Ada tantangan yang jauh lebih besar yang sebenarnya sedang dihadapi oleh banyak negara, yang turunannya sudah pasti akan dihadapi oleh lembaga-lembaga di bawahnya, mulai dari birokrasi pemerintahan, lembaga atau organisasi bisnis, sampai kelompok kepentingan lain di dalam masyarakat.
Beberapa negara sudah mengumumkan kondisi resesi --negara-negara lain tinggal menunggu waktu. Sementara kunci atau titik kritis berikutnya sudah berada di depan mata, yakni bagaimana kondisi dan situasi dalam kuartal ketiga tahun ini: bisa berbalik menuju normal atau jatuh ke dalam resesi. Ketidakberhasilan mengupayakan titik balik ekonomi atau sering disebut sebagai countercyclical akan membuat situasi semakin rumit dan akan muncul korban terdampak dalam skala yang lebih luas dan pemulihannya sudah barang tentu akan memakan waktu lebih lama.
Kolaborasi Konteks Mikro
Jika dalam konteks makro-antarbangsa, antarkorporasi, antarkelompok --kolaborasi menjadi kata kunci terpenting, situasi yang sama dalam pandangan saya juga dibutuhkan dalam konteks mikro, baik dalam skala korporasi maupun kolaborasi antarsektor. Mari kita lihat dengan situasi terakhir di Indonesia sendiri.
Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga 2020 dan hasilnya kita mengalami pertumbuhan negatif yang membuat kita juga akan menghadapi ancaman resesi yang sudah dialami negara-negara lain seperti Singapura atau Amerika Serikat atau beberapa negara Eropa. Nah, dari tinjauan pertumbuhan di sisi sektor, sebagian besar sektor mengalami penurunan signifikan, sedangkan satu-satunya sektor yang mengalami pertumbuhan dibandingkan kuartal sebelumnya adalah sektor pertanian.
Karena itu, kolaborasi antarsektor dengan ujung tombak sektor pertanian menjadi sangat penting dan krusial. Hal yang harus dipahami dan disepakati bersama adalah pandemi Covid-19 telah membuat perubahan drastis dari sisi rantai pasokan (supply chain) maupun dari sisi pola perilaku konsumen (demand). Ciri utama sektor pertanian yang memiliki rantai pasok yang relatif sederhana pada proses produksinya telah menunjukkan bahwa semakin simpel rantai pasok semakin kuat pula sektor tersebut dapat memulihkan diri dari terjangan pandemi.
Sebaliknya, sektor-sektor lain yang memiliki rantai pasokan yang lebih panjang secara natural akan mengalami guncangan lebih dalam. Ketergantungan terhadap titik-titik dalam rantai pasok yang panjang --yang sudah pasti terguncang karena pandemi-- akan membuat proses produksi menjadi terganggu. Belum lagi ketika kita bicara dalam proses distribusi sampai di tingkat konsumen yang sudah barang tentu juga mengalami gangguan.
Kita bisa mengambil pelajaran dari suatu entitas bisnis paling sederhana, misalnya pedagang bakso. Meskipun terlihat sederhana, model bisnis bakso memerlukan bahan-bahan yang melibatkan sektor yang kompleks. Ada bahan-bahan baku yang diproduksi oleh sektor industri seperti tepung atau bumbu masak. Ada bahan baku yang harus diambil dari sektor pertanian seperti sayur-mayur. Ada bahan yang juga tergantung dari sektor peternakan, yaitu daging. Kompleksitas itu baru dari sisi produksi, belum dari sisi bagaimana seorang pedagang bakso harus menjualnya di tengah situasi aktivitas masyarakat di ruang publik yang belum pulih.
Sederhana itu Kuat
Jika kita memotret dinamika sektor yang paling ulet dalam bertahan (resilience) di mana pertanian menjadi jagoannya, pelajaran terpenting yang dapat kita lihat adalah betapa pentingnya sistem atau struktur yang sederhana. Apabila kita melihatnya dalam konteks fungsi di dalam organisasi atau korporasi, semakin sederhana sistem atau struktur organisasi merespons situasi pandemi Covid-19, semakin besar kemungkinan keberhasilan organisasi atau korporasi menjaga kinerja mereka.
Pertanyaan lanjutannya, apakah dengan demikian struktur organisasi dalam korporasi atau birokrasi perlu beradaptasi dan menyederhanakan proses eksekusi? Jawabannya adalah ya. Kecepatan adalah kunci keberhasilan, dan dalam konteks ketidakpastian menghadapi situasi pandemi kecepatan akan menjadi panglima utamanya. Baru diikuti oleh aspek-aspek lainnya, terutama dari sisi keakuratan. Harus disadari bahwa situasi pandemi adalah situasi yang sering disebut unprecedented. Situasi yang belum pernah kita alami dengan semua ekosistem yang terbentuk pada hari ini.
Hal terpenting dalam proses adaptasi adalah kemampuan untuk memahami perubahan dan kemauan untuk merespons secara cepat lagi tepat sesuai dengan situasi yang dihadapi. Karena itu, kolaborasi menjadi kata paling penting dalam upaya kita melawan resesi.
(ras)