Pengamat Komunikasi Sebut Puisi Sukmawati Sarat Makna

Rabu, 04 April 2018 - 10:13 WIB
Pengamat Komunikasi Sebut Puisi Sukmawati Sarat Makna
Pengamat Komunikasi Sebut Puisi Sukmawati Sarat Makna
A A A
JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menilai, puisi berjudul Ibu Indonesia yang dibacakan Putri Proklamator Bung Karno Sukmawati Soekarnoputri telah menimbulkan multimakna di ruang publik.

Kata Emrus, hal itu sebagai bukti bahwa puisi tersebut sarat makna. "Tergantung kerangka referensi yang digunakan dan kerangka pengalaman serta posisi sosial atau politik dari setiap orang terkait dengan pemaknaan simbol dan kalimat yang merangkai puisi tersebut," ujar Emrus dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Rabu (4/4/2018).

Sebab kata dia, dari perspektif kualitatif, khususnya paradigma konstruktivis, setiap individu memiliki kehendak bebas memberikan pemaknaan terhadap simbol yang diterima, termasuk isi puisi tersebut.

Adapun dari aspek komunikasi lanjut dia, lambang atau pesan komunikasi tidak bermakna, tetapi manusialah yang memberikan makna terhadap lambang dan pesan komunikasi tersebut.

"Perbedaan makna yang tersimpan di peta kognisi setiap individu akan menimbulkan perilaku yang unik antara satu dengan yang lainnya," kata Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner ini.

Dia menambahkan, interaksi perilaku yang unik antara setiap individu bisa bertujuan mengkonstruksi realitas sosial maupun politik tertentu di tengah masyarakat atau suatu negara.

"Oleh karena itu, tidak heran setiap perilaku komunikasi sarat nilai, kepentingan, kontekstual dan pasti subjektif," ucapnya.

Maka itu menurutnya, perlu ada solusi bijak dan produktif untuk mempertemukan perbedaan makna atau pandangan, dengan membuka ruang dialog antara berbagai pihak atau pemangku kepentingan.

"Untuk mempertemukan berbagai makna tersurat dan tersirat pada keseluruhan isi puisi tersebut yang sudah ter-saving di peta kognisi masing-mading individu dalam suatu masyarakat atau negara," imbuhnya.

Dikatakannya, pertemuan tersebut biasanya dimediasi oleh organisasi keagamaan, partai politik, atau tokoh masyarakat yang kredibel yang diterima semua golongan.

"Pertemuan tersebut, untuk menyelesaikan perbedaan wacana semacam ini, jauh lebih produktif dan permanen daripada melalui proses hukum," ungkapnya.

"Sehingga tidak terjadi polemik yang berpotensi menimbulkan gesekan sosial antarberbagai kepentingan ke depan," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8236 seconds (0.1#10.140)