Literasi Informasi Penting Ditingkatkan untuk Wujudkan Perdamaian Bangsa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bangsa Indonesia dinilai perlu merefleksikan banyak hal memasuki Tahun Baru 2024. Hal ini penting karena masih terdapat tantangan yang belum terjawab untuk mewujudkan perdamaian antarsesama yaitu hoaks, intoleransi, ujaran kebencian, radikalisme, dan terorisme.
Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI), Syarif Hidayatullah mengatakan, tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mewujudkan kerukunan antargolongan, baik di media sosial maupun kehidupan nyata, adalah rendahnya literasi informasi. Hal ini menyebabkan masyarakat rentan terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik.
Ia menilai, tingkat literasi informasi yang bagus tentu akan membantu seseorang menyerap informasi apa pun yang beredar di media sosial dengan bijak dan tepat. Literasi informasi yang kurang memadai seringkali membuat seseorang dengan mudah menyetujui berita yang datang tanpa melakukan cross check untuk menguji kebenarannya.
"Tapi karena literasi informasinya masih rendah, masyarakat kita rentan terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik," kata Syarif dalam keterangannya dikutip, Kamis (3/1/2024).
Syarif juga mengusulkan adanya peningkatan literasi informasi di tengah masyarakat, terutama dalam penggunaan media sosial. Hal ini bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mewujudkan kerukunan antargolongan, baik di media sosial maupun kehidupan nyata.
Menurutnya, rendahnya literasi informasi menyebabkan masyarakat rentan terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik. Informasi hoaks dan ujaran kebencian sering kali digunakan oleh kelompok-kelompok intoleran dan radikal untuk menyebarkan paham-paham yang dapat memecah belah masyarakat.
Karena itu, peningkatan literasi informasi penting dilakukan demi membekali masyarakat dengan kemampuan untuk memilah dan menyaring informasi yang mereka terima. Masyarakat harus diajarkan untuk kritis terhadap informasi yang mereka baca, lihat, atau dengar, terutama di media sosial.
Pemahaman penggunaan internet dan media sosial secara bijak dapat meningkatkan kesadaran bersama untuk menjaga kerukunan antar umat beragama. Masyarakat diharapkan untuk semakin bertanggungjawab dalam memberikan pernyataannya sehingga kerukunan di Indonesia dapat terjaga dengan baik.
"Masyarakat Indonesia secara luas juga perlu mendukung dan memperkuat peran tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menjaga kerukunan. Selain itu, penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian diharapkan dapat menimbulkan efek jera serta menekan timbulnya kejahatan serupa," kata Syarif.
Saat ini sudah begitu banyak para tokoh yang menyebarkan narasi moderat dan dengan mudah bisa diakses oleh masyarakat luas, baik di media sosial ataupun di berita online. Narasi moderat yang sarat pesan toleransi ini dapat memberikan perspektif yang lebih berimbang dalam menyikapi segala perbedaan yang ada. Oleh karena itu, penggunaan internet dan sosial media secara bijak juga dapat membangun imunitas kita terhadap narasi intoleransi dan radikalisme.
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta ini juga menyoroti pentingnya kesadaran bersama untuk menjaga kerukunan antarumat beragama. Hubungan yang harmonis antar golongan di Indonesia menjadi kekuatan sosial yang dapat mencegah masuknya intoleransi dan paham radikal yang diuntungkan dengan adanya kekacauan di masyarakat.
"Kita harus menyadari bahwa perbedaan itu adalah sesuatu karunia dari Tuhan. Perlu diingat bahwa perbedaan itu harus kita jadikan kekuatan, bukan menjadi beban," katanya.
Syarif mengingatkan gesekan antaretnis atau agama masih berpotensi menjadi ancaman destabilisasi nasional, terlebih lagi menjelang Pemilu 2024. Konflik horizontal yang ditimbulkan hanya karena ingin mendongkrak elektabilitas merupakan hal yang memalukan dan jelas merugikan banyak orang, terlepas apapun latar belakang golongan atau agamanya.
"Gesekan-gesekan kecil mungkin masih ada, namun mudah-mudahan dari waktu ke waktu, dari Pilpres ke Pilpres, dari Pemilu ke Pemilu, kita sebagai bangsa sudah mulai menyadari bahwa konflik bernuansa politis adalah rutinitas yang tidak perlu," kata Syarif.
Ia menguraikan bahwa masyarakat juga jangan abai dan harus waspada kepada orang-orang yang punya kepentingan serta menghalalkan segala cara. Dalam mencapai agendanya. Mereka tidak segan jika harus membenturkan antar agama, antar etnis, dan lain sebagainya.
Dirinya juga mengingatkan bahwa narasi yang sarat pemahaman radikalisme dan terorisme sering kali memanfaatkan perbedaan agama dan etnis untuk memecah belah masyarakat. Namun, ia kembali menegaskan bahwa perbedaan itu adalah karunia dari Tuhan yang harus disyukuri dan dijaga.
"Tidak bisa dipungkiri bahwa gesekan antar etnis atau agama dapat menjadi ancaman destabilisasi nasional. Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen bangsa untuk bekerja sama menjaga kerukunan dan kedamaian," kata Syarif.
Lihat Juga: Australia Nekad Larang Media Sosial untuk Anak di Bawah 16 Tahun, Langkah Positif atau Salah Arah?
Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI), Syarif Hidayatullah mengatakan, tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mewujudkan kerukunan antargolongan, baik di media sosial maupun kehidupan nyata, adalah rendahnya literasi informasi. Hal ini menyebabkan masyarakat rentan terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik.
Ia menilai, tingkat literasi informasi yang bagus tentu akan membantu seseorang menyerap informasi apa pun yang beredar di media sosial dengan bijak dan tepat. Literasi informasi yang kurang memadai seringkali membuat seseorang dengan mudah menyetujui berita yang datang tanpa melakukan cross check untuk menguji kebenarannya.
"Tapi karena literasi informasinya masih rendah, masyarakat kita rentan terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik," kata Syarif dalam keterangannya dikutip, Kamis (3/1/2024).
Syarif juga mengusulkan adanya peningkatan literasi informasi di tengah masyarakat, terutama dalam penggunaan media sosial. Hal ini bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mewujudkan kerukunan antargolongan, baik di media sosial maupun kehidupan nyata.
Menurutnya, rendahnya literasi informasi menyebabkan masyarakat rentan terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik. Informasi hoaks dan ujaran kebencian sering kali digunakan oleh kelompok-kelompok intoleran dan radikal untuk menyebarkan paham-paham yang dapat memecah belah masyarakat.
Karena itu, peningkatan literasi informasi penting dilakukan demi membekali masyarakat dengan kemampuan untuk memilah dan menyaring informasi yang mereka terima. Masyarakat harus diajarkan untuk kritis terhadap informasi yang mereka baca, lihat, atau dengar, terutama di media sosial.
Pemahaman penggunaan internet dan media sosial secara bijak dapat meningkatkan kesadaran bersama untuk menjaga kerukunan antar umat beragama. Masyarakat diharapkan untuk semakin bertanggungjawab dalam memberikan pernyataannya sehingga kerukunan di Indonesia dapat terjaga dengan baik.
"Masyarakat Indonesia secara luas juga perlu mendukung dan memperkuat peran tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menjaga kerukunan. Selain itu, penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian diharapkan dapat menimbulkan efek jera serta menekan timbulnya kejahatan serupa," kata Syarif.
Saat ini sudah begitu banyak para tokoh yang menyebarkan narasi moderat dan dengan mudah bisa diakses oleh masyarakat luas, baik di media sosial ataupun di berita online. Narasi moderat yang sarat pesan toleransi ini dapat memberikan perspektif yang lebih berimbang dalam menyikapi segala perbedaan yang ada. Oleh karena itu, penggunaan internet dan sosial media secara bijak juga dapat membangun imunitas kita terhadap narasi intoleransi dan radikalisme.
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta ini juga menyoroti pentingnya kesadaran bersama untuk menjaga kerukunan antarumat beragama. Hubungan yang harmonis antar golongan di Indonesia menjadi kekuatan sosial yang dapat mencegah masuknya intoleransi dan paham radikal yang diuntungkan dengan adanya kekacauan di masyarakat.
"Kita harus menyadari bahwa perbedaan itu adalah sesuatu karunia dari Tuhan. Perlu diingat bahwa perbedaan itu harus kita jadikan kekuatan, bukan menjadi beban," katanya.
Syarif mengingatkan gesekan antaretnis atau agama masih berpotensi menjadi ancaman destabilisasi nasional, terlebih lagi menjelang Pemilu 2024. Konflik horizontal yang ditimbulkan hanya karena ingin mendongkrak elektabilitas merupakan hal yang memalukan dan jelas merugikan banyak orang, terlepas apapun latar belakang golongan atau agamanya.
"Gesekan-gesekan kecil mungkin masih ada, namun mudah-mudahan dari waktu ke waktu, dari Pilpres ke Pilpres, dari Pemilu ke Pemilu, kita sebagai bangsa sudah mulai menyadari bahwa konflik bernuansa politis adalah rutinitas yang tidak perlu," kata Syarif.
Ia menguraikan bahwa masyarakat juga jangan abai dan harus waspada kepada orang-orang yang punya kepentingan serta menghalalkan segala cara. Dalam mencapai agendanya. Mereka tidak segan jika harus membenturkan antar agama, antar etnis, dan lain sebagainya.
Dirinya juga mengingatkan bahwa narasi yang sarat pemahaman radikalisme dan terorisme sering kali memanfaatkan perbedaan agama dan etnis untuk memecah belah masyarakat. Namun, ia kembali menegaskan bahwa perbedaan itu adalah karunia dari Tuhan yang harus disyukuri dan dijaga.
"Tidak bisa dipungkiri bahwa gesekan antar etnis atau agama dapat menjadi ancaman destabilisasi nasional. Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen bangsa untuk bekerja sama menjaga kerukunan dan kedamaian," kata Syarif.
Lihat Juga: Australia Nekad Larang Media Sosial untuk Anak di Bawah 16 Tahun, Langkah Positif atau Salah Arah?
(abd)