Masyarakat Diimbau Jangan Mudah Digiring Hasil Survei Capres-Cawapres
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat Indonesia diimbau tidak mudah percaya terhadap hasil survei. Sebab, hasil survei tidak bisa dijadikan pegangan untuk mengambil keputusan dalam Pemilu 2024.
Pasalnya, hasil survei yang dikeluarkan lembaga survei kerap berbeda di luar batas margin of error. Padahal seharusnya, perbedaan hasil tidak akan menjadi masalah jika masih berada pada batas margin of error.
"Saya melihat hasil survei di Indonesia tidak boleh menjadi acuan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mengambil keputusan, buktinya ada berbeda," kata pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing, Kamis (28/12/2023).
Emrus pun meminta publik berhati-hati dengan opini yang bisa terbentuk dari hasil survei. "Supaya kita tidak digiring," ungkapnya.
Tidak hanya itu, publik juga diminta untuk bersikap kritis terhadap hasil survei elektabilitas pasangan calon. Sepanjang tidak dibuka sumber pendanaannya, sepanjang itu pubik harus pertanyakan hasil survei. "Jangan langsung terima hasil survei. Bongkar sumber pendanaan, bongkar metodologinya, termasuk kuesionernya," tambahnya.
Emrus menambahkan, metodologi survei yang digunakan lembaga survei pun perlu didiskusikan lebih lanjut. Selain metodologi, pertanyaan survei pun berbunyi jika pemilu dilakukan hari ini. "Itu kan pada saat kalau andaikan pemilu hari ini. Artinya sangat dinamis," ujarnya.
Komunikolog itu juga menyebut beberapa contoh pilkada yang justru dimenangkan oleh paslon dengan elektabilitas rendah dan tidak diunggulkan. "Coba cek beberapa pilkada yang justru dimenangkan kandidat dengan elektabilitas rendah," katanya.
Emrus menekankan pertarungan belum dimenangkan kendati sudah mengantongi hasil survei elektabilitas tinggi. Pilpres 2024 diyakini akan berlangsung dua putaran. "Oleh sebab itu, para 3 kandidat silakan berjuang, para tim sukses, rangkul rakyat, dekati rakyat, kasih program yang rasional yang operasional. Misalnya sumber pendanaannya dari mana? Masuk akal enggak?" pungkasnya.
Pasalnya, hasil survei yang dikeluarkan lembaga survei kerap berbeda di luar batas margin of error. Padahal seharusnya, perbedaan hasil tidak akan menjadi masalah jika masih berada pada batas margin of error.
"Saya melihat hasil survei di Indonesia tidak boleh menjadi acuan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mengambil keputusan, buktinya ada berbeda," kata pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing, Kamis (28/12/2023).
Emrus pun meminta publik berhati-hati dengan opini yang bisa terbentuk dari hasil survei. "Supaya kita tidak digiring," ungkapnya.
Tidak hanya itu, publik juga diminta untuk bersikap kritis terhadap hasil survei elektabilitas pasangan calon. Sepanjang tidak dibuka sumber pendanaannya, sepanjang itu pubik harus pertanyakan hasil survei. "Jangan langsung terima hasil survei. Bongkar sumber pendanaan, bongkar metodologinya, termasuk kuesionernya," tambahnya.
Emrus menambahkan, metodologi survei yang digunakan lembaga survei pun perlu didiskusikan lebih lanjut. Selain metodologi, pertanyaan survei pun berbunyi jika pemilu dilakukan hari ini. "Itu kan pada saat kalau andaikan pemilu hari ini. Artinya sangat dinamis," ujarnya.
Komunikolog itu juga menyebut beberapa contoh pilkada yang justru dimenangkan oleh paslon dengan elektabilitas rendah dan tidak diunggulkan. "Coba cek beberapa pilkada yang justru dimenangkan kandidat dengan elektabilitas rendah," katanya.
Emrus menekankan pertarungan belum dimenangkan kendati sudah mengantongi hasil survei elektabilitas tinggi. Pilpres 2024 diyakini akan berlangsung dua putaran. "Oleh sebab itu, para 3 kandidat silakan berjuang, para tim sukses, rangkul rakyat, dekati rakyat, kasih program yang rasional yang operasional. Misalnya sumber pendanaannya dari mana? Masuk akal enggak?" pungkasnya.