Inovasi Butuh Sinergi Semua Lini
loading...
A
A
A
Selain jumlah peneliti dan dana, hal lain yang juga mempengaruhi perkembangan ristek adalah lingkungan akademis. Di Australia, peneliti tidak memegang uang karena dikelola kampus. Namun peneliti di Indonesia umumnya mendapat beban tambahan.
Selain meneliti, mereka banyak disibukkan juga dengan urusan administratif. Selain itu, waktu penelitian juga lebih terbatas karena dibebankan juga laporan pertanggungjawaban. Beben juga menilai perlunya apresiasi pemerintah terhadap kerja yang dilakukan peneliti. (Baca juga: Dengan Dana Rp14 Triliun, Bali Bakal Punya Tol Kedua)
Di Amerika Serikat, kebijakan riset dan pengembangan sains dibebankan kepada banyak organisasi federal. Dana untuk pengembangan dan riset dianggarkan sekitar 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Selain mengandalkan dana pemerintah federal, riset dan pengembangan juga melibatkan banyak perusahaan swasta di negara tersebut.
China menargetkan 2,5% dari PBD untuk dialokasikan untuk riset dan pengembangan pada 2020. Firma riset Battelle memprediksi anggaran riset China akan melampui AS pada 2023 karena pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Sektor swasta juga memainkan peranan penting karena menguasai tiga perempat atau 77% belanja untuk riset dan pengembangan pada 2015. Se Jepang menghabiskan sekitar 2,6 hingga 2,9 dari PDB untuk anggaran riset dan pengembangan pada 1980-an.
Pada 2016, anggaran riset dan pengembangan mencapai USD165,7 miliar atau 3% dari PDB. Itu mampu meningkatkan daya saing Jepang. Singapura memiliki anggaran riset USD19 miliar tahun ini.
Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Berry Juliandi menilai lemahnya pengembangan riset dan teknologi di Indonesia dipengaruhi beberapa faktor. Antara lain belum adanya ekosistem riset yang baik di Indonesia.
“Tapi aktor-aktor ini tidak bekerja sesuai dengan tupoksinya saat ini. Masih ada ego sektoral melebihi tupoksi. Ini bukan salah lembaganya, tapi dari regulator,” ujarnya.
Dia mencontohkan, BPPT yang harusnya tidak melakukan penelitian, tetapi justru sekarang turun ke bawah ikut penelitian karena ‘tidak percaya’ hasil lembaga penelitian. Sebaliknya, lembaga-lembaga penelitian sekarang dipaksa untuk melakukan pengembangan yang lebih jauh dari tugas pokok dan fungsinya. Faktor penentu lainnya yaitu pendanaan. (Lihat videonya: Gununng Sinabung Erupsi, Empat Kecamatan Tertutup Abu Vulkanik)
Berdasarkan GDP, jumlahnya sangat kecil sekitar 0,01%. Sebanyak 60% dari dana itu dimanfaatkan untuk kegiatan rutin, bukan untuk riset. Senada dengan Beben, dia mendorong perlunya dana yang memadai. Dia mengusulkan perlunya ada abadi penelitian karena memungkinkan untuk jangka lama (multiyears).
Selain meneliti, mereka banyak disibukkan juga dengan urusan administratif. Selain itu, waktu penelitian juga lebih terbatas karena dibebankan juga laporan pertanggungjawaban. Beben juga menilai perlunya apresiasi pemerintah terhadap kerja yang dilakukan peneliti. (Baca juga: Dengan Dana Rp14 Triliun, Bali Bakal Punya Tol Kedua)
Di Amerika Serikat, kebijakan riset dan pengembangan sains dibebankan kepada banyak organisasi federal. Dana untuk pengembangan dan riset dianggarkan sekitar 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Selain mengandalkan dana pemerintah federal, riset dan pengembangan juga melibatkan banyak perusahaan swasta di negara tersebut.
China menargetkan 2,5% dari PBD untuk dialokasikan untuk riset dan pengembangan pada 2020. Firma riset Battelle memprediksi anggaran riset China akan melampui AS pada 2023 karena pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Sektor swasta juga memainkan peranan penting karena menguasai tiga perempat atau 77% belanja untuk riset dan pengembangan pada 2015. Se Jepang menghabiskan sekitar 2,6 hingga 2,9 dari PDB untuk anggaran riset dan pengembangan pada 1980-an.
Pada 2016, anggaran riset dan pengembangan mencapai USD165,7 miliar atau 3% dari PDB. Itu mampu meningkatkan daya saing Jepang. Singapura memiliki anggaran riset USD19 miliar tahun ini.
Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Berry Juliandi menilai lemahnya pengembangan riset dan teknologi di Indonesia dipengaruhi beberapa faktor. Antara lain belum adanya ekosistem riset yang baik di Indonesia.
“Tapi aktor-aktor ini tidak bekerja sesuai dengan tupoksinya saat ini. Masih ada ego sektoral melebihi tupoksi. Ini bukan salah lembaganya, tapi dari regulator,” ujarnya.
Dia mencontohkan, BPPT yang harusnya tidak melakukan penelitian, tetapi justru sekarang turun ke bawah ikut penelitian karena ‘tidak percaya’ hasil lembaga penelitian. Sebaliknya, lembaga-lembaga penelitian sekarang dipaksa untuk melakukan pengembangan yang lebih jauh dari tugas pokok dan fungsinya. Faktor penentu lainnya yaitu pendanaan. (Lihat videonya: Gununng Sinabung Erupsi, Empat Kecamatan Tertutup Abu Vulkanik)
Berdasarkan GDP, jumlahnya sangat kecil sekitar 0,01%. Sebanyak 60% dari dana itu dimanfaatkan untuk kegiatan rutin, bukan untuk riset. Senada dengan Beben, dia mendorong perlunya dana yang memadai. Dia mengusulkan perlunya ada abadi penelitian karena memungkinkan untuk jangka lama (multiyears).