Pengamat Pertanyakan Kredibilitas Lembaga Survei di Pemilu 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kredibilitas lembaga survei mengalami ujian terberat pada Pemilu 2024 ini. Pasalnya, sejumlah lembaga survei juga berperan sebagai konsultan politik sehingga memiliki kecenderungan berupaya menggiring opini publik untuk capres tertentu.
“Ujian paling berat lembaga survei sepanjang pemilu pasca reformasi menurut saya ya kali ini, Pemilu 2024,” ujar pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Surokim Abdussalam, Senin (11/12/2023).
Menurut dia, lembaga survei terjebak ke dalam perangkap sebagai konsultan politik. Padahal keduanya memiliki porsi tugas yang berbeda. Kondisi itu merupakan lampu merah bagi penyelenggara pemilu.
”Situasi yang sungguh patut diwaspadai dan dijaga khususnya oleh para penyelenggara pemilu agar trust publik bisa pulih. Sebab, bagaimanapun esensi demokrasi elektoral itu legitimasi dan trust dan ini wajib dijaga semua pihak jika kita ingin Pemilu 2024 meningkat kualitasnya secara substantif,” ungkap Surokim.
Kemudian, untuk membuktikan apakah hasil survei tersebut didapatkan dengan cara-cara yang benar bukan pesanan maka perlu ada survei lain. “Sebenarnya saya berharap akan muncul lembaga survei pembanding yang lain agar kita bisa membandingkan dan menemukan intersubjectivity itu sehingga akan lebih mudah memberi penilaian,” jelasnya.
Jika lembaga survei terbatas, maka absolutisme dan hegemonik data bisa terjadi. Meski begitu, Surokim tetap yakin lembaga survei bisa memainkan perannya pada pesta demokrasi ini.
“Saya masih meyakini lembaga survei di Indonesia bisa menjadi oksigen demokrasi elektoral kita dan masih punya masa depan untuk menjadi bahan referensi dan edukasi publik, karena itu lembaga survei yang muncul dari banyak pihak sungguh diharapkan” tandas Surokim.
Senada, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti menganggap ada kesenjangan pengetahuan atas azas dan tata cara pemilu demokratis bekerja.
"Di kalangan kaum Generasi Y/Z. Mereka belum sepenuhnya menerima apa dan bagaimana pemilu demokratis yang sebenarnya. Dengan hanya mendasarkan diri pada info-info sekilas di berbagai tayangan media sosial, mereka menebalkan makna apa itu kecurangan pemilu, dan pemilu yang demokratis," ujarnya.
Menurut Ray, hal itu pula yang membuat mayoritas publik kurang peka terhadap isu demokrasi. Ditambah dampak dari media sosial yang lebih mengutamakan pelanggaran salah satu calon dibanding calon yang lain. "Hal itu semakin membuat nalar kritis masyarakat semakin meredup," katanya.
"Itulah kiranya mengapa mereka kurang sensitif pada isu (politik) dinasti, isu putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang cacat etik berat, berbagai contoh ketidaknetralan aparat, dan sebagainya. Mereka menerima atau menolaknya dengan begitu saja. Tanpa kritisisme," tandasnya.
“Ujian paling berat lembaga survei sepanjang pemilu pasca reformasi menurut saya ya kali ini, Pemilu 2024,” ujar pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Surokim Abdussalam, Senin (11/12/2023).
Menurut dia, lembaga survei terjebak ke dalam perangkap sebagai konsultan politik. Padahal keduanya memiliki porsi tugas yang berbeda. Kondisi itu merupakan lampu merah bagi penyelenggara pemilu.
”Situasi yang sungguh patut diwaspadai dan dijaga khususnya oleh para penyelenggara pemilu agar trust publik bisa pulih. Sebab, bagaimanapun esensi demokrasi elektoral itu legitimasi dan trust dan ini wajib dijaga semua pihak jika kita ingin Pemilu 2024 meningkat kualitasnya secara substantif,” ungkap Surokim.
Kemudian, untuk membuktikan apakah hasil survei tersebut didapatkan dengan cara-cara yang benar bukan pesanan maka perlu ada survei lain. “Sebenarnya saya berharap akan muncul lembaga survei pembanding yang lain agar kita bisa membandingkan dan menemukan intersubjectivity itu sehingga akan lebih mudah memberi penilaian,” jelasnya.
Jika lembaga survei terbatas, maka absolutisme dan hegemonik data bisa terjadi. Meski begitu, Surokim tetap yakin lembaga survei bisa memainkan perannya pada pesta demokrasi ini.
“Saya masih meyakini lembaga survei di Indonesia bisa menjadi oksigen demokrasi elektoral kita dan masih punya masa depan untuk menjadi bahan referensi dan edukasi publik, karena itu lembaga survei yang muncul dari banyak pihak sungguh diharapkan” tandas Surokim.
Senada, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti menganggap ada kesenjangan pengetahuan atas azas dan tata cara pemilu demokratis bekerja.
"Di kalangan kaum Generasi Y/Z. Mereka belum sepenuhnya menerima apa dan bagaimana pemilu demokratis yang sebenarnya. Dengan hanya mendasarkan diri pada info-info sekilas di berbagai tayangan media sosial, mereka menebalkan makna apa itu kecurangan pemilu, dan pemilu yang demokratis," ujarnya.
Menurut Ray, hal itu pula yang membuat mayoritas publik kurang peka terhadap isu demokrasi. Ditambah dampak dari media sosial yang lebih mengutamakan pelanggaran salah satu calon dibanding calon yang lain. "Hal itu semakin membuat nalar kritis masyarakat semakin meredup," katanya.
"Itulah kiranya mengapa mereka kurang sensitif pada isu (politik) dinasti, isu putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang cacat etik berat, berbagai contoh ketidaknetralan aparat, dan sebagainya. Mereka menerima atau menolaknya dengan begitu saja. Tanpa kritisisme," tandasnya.
(cip)