Pesan Ketua APPRI untuk Para Humas: Jangan Gunakan Hoax Membangun!
A
A
A
JAKARTA - Para praktisi public relations atau hubungan masyarakat (humas) diminta tidak menggunakan istilah hoax membangun untuk melegalkan berita bohong demi pencitraan perusahaan atau klien.
“Istilah hoax membangun tidak ada dalam kamus kehumasan di negara manapun. Mau dikemas untuk pencitraan siapa pun, hoax adalah berita bohong dan itu melanggar kode etik kehumasan,” kata Ketua Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) Suharjo Nugroho dalam siaran persnya kepada SINDOnews, Sabtu (6/1/2018).
Dia menyayangkan pernyataan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Djoko Setiadi yang seolah menguatkan hoax sebagai satu kegiatan yang bisa menjadi positif.
“Fenomena hoax di Indonesia ini saja masih sulit sekali untuk bisa diredam, dan menjadi PR (pekerjaan rumah-red) berat bagi praktisi humas, eh dengan pernyataan Kepala BSSN, meski sudah diklarifikasi sekarang malah menjadi seolah dilegalkan dengan istilah hoax membangun,” tutur pria yang biasa disapa Jojo ini. (Baca juga: Soal Hoax Membangun, Kepala Badan Siber Bilang Itu Pancingan )
Dia memaparkan tanda pegar (tagar) #hoaxmembangun, menurut Spredfast, sudah dicuitkan lebih dari 42.000 kali dan mengundang tanggapan ramai sekali bukan hanya dari warganet, namun juga dari politisi.
Menurut dia, pemerintah seharusnya menghindari kegaduhan dan membahas hal ini secara internal terlebih dahulu dengan melibatkan pihak-pihak terkait seperti Asosiasi Kehumasan seperti APPRI dan Perhumas. “Jangan sampai masyarakat melihat istilah hoax membangun memang sengaja dimunculkan untuk membungkus pencitraan pemerintah,” kata Jojo.
Jojo mengatakan, menjelang tahun politik di tahun ini, pencitraan politikus melalui hoax disinyalir akan semakin banyak. Dia mengingatkan para konsultan PR atau humas yang terjun membela kandidat politik tertentu agar memiliki etika profesi yang membatasi sepak terjangnya agar tidak kebablasan membuat hoax untuk pencitraan.
“Mulai tahun ini sudah mulai panas pilkada, praktisi atau konsultan humas ada yang bela satu pihak, yang lain bela pihak lawan, ini perlu berpedoman pada etika PR yang membatasi, jika tidak kita akan saling perang hoax dengan segala jurus tanpa ada batasan,” tutur wakil Indonesia untuk Public Relations Organisation Internatinal (PROI), organisasi konsultan humas terbesar di dunia ini.
“Istilah hoax membangun tidak ada dalam kamus kehumasan di negara manapun. Mau dikemas untuk pencitraan siapa pun, hoax adalah berita bohong dan itu melanggar kode etik kehumasan,” kata Ketua Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) Suharjo Nugroho dalam siaran persnya kepada SINDOnews, Sabtu (6/1/2018).
Dia menyayangkan pernyataan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Djoko Setiadi yang seolah menguatkan hoax sebagai satu kegiatan yang bisa menjadi positif.
“Fenomena hoax di Indonesia ini saja masih sulit sekali untuk bisa diredam, dan menjadi PR (pekerjaan rumah-red) berat bagi praktisi humas, eh dengan pernyataan Kepala BSSN, meski sudah diklarifikasi sekarang malah menjadi seolah dilegalkan dengan istilah hoax membangun,” tutur pria yang biasa disapa Jojo ini. (Baca juga: Soal Hoax Membangun, Kepala Badan Siber Bilang Itu Pancingan )
Dia memaparkan tanda pegar (tagar) #hoaxmembangun, menurut Spredfast, sudah dicuitkan lebih dari 42.000 kali dan mengundang tanggapan ramai sekali bukan hanya dari warganet, namun juga dari politisi.
Menurut dia, pemerintah seharusnya menghindari kegaduhan dan membahas hal ini secara internal terlebih dahulu dengan melibatkan pihak-pihak terkait seperti Asosiasi Kehumasan seperti APPRI dan Perhumas. “Jangan sampai masyarakat melihat istilah hoax membangun memang sengaja dimunculkan untuk membungkus pencitraan pemerintah,” kata Jojo.
Jojo mengatakan, menjelang tahun politik di tahun ini, pencitraan politikus melalui hoax disinyalir akan semakin banyak. Dia mengingatkan para konsultan PR atau humas yang terjun membela kandidat politik tertentu agar memiliki etika profesi yang membatasi sepak terjangnya agar tidak kebablasan membuat hoax untuk pencitraan.
“Mulai tahun ini sudah mulai panas pilkada, praktisi atau konsultan humas ada yang bela satu pihak, yang lain bela pihak lawan, ini perlu berpedoman pada etika PR yang membatasi, jika tidak kita akan saling perang hoax dengan segala jurus tanpa ada batasan,” tutur wakil Indonesia untuk Public Relations Organisation Internatinal (PROI), organisasi konsultan humas terbesar di dunia ini.
(dam)