Antologi Kedua Pemikiran Sudirman Said, Bergerak dengan Kewajaran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said meluncurkan buku antologi keduanya yang berjudul Bergerak dengan Kewajaran di Teater Salihara, Jakarta, Kamis (30/11/2023). Dalam goresannya itu, Sudirman merefleksikan beragam perhatiannya pada kehidupan publik sepanjang tahun 2016 hingga 2022.
"Perilaku gaya hidup mewah yang dipertontonkan pejabat ASN dan keluarganya atau adegan pejabat tinggi yang menjalankan bisnis sambil mengurusi tugas negara adalah sesuatu yang kerap kita lihat belakangan ini," kata Sudirman Said di sela-sela peluncuran buku.
"Belum lagi praktik-praktik tidak terpuji yang dilakukan oleh para penegak hukum. Berbagai perilaku di atas adalah sesuatu yang di luar asas kepatutan dan kewajaran yang dilakukan oleh para pemegang amanah negeri ini ternyata juga dilakukan oleh orang-orang biasa di sekitar kita," tambahnya.
Buku setebal 409 halaman ini menuturkan serangkaian peristiwa dan perilaku yang memprihatinkan tersebut seolah-olah adalah sesuatu yang 'biasa saja' atau 'wajar'. Fenomena di atas mengusik pikiran dan batin Sudirman Said yang kemudian ia tuangkan ke dalam 60 tulisan yang ia tulis selepas pengabdiannya sebagai Menteri ESDM pada tahun 2014-2016.
Pada buku antologi pertamanya yang berjudul Berpihak pada Kewajaran, lebih merefleksikan pemikiran dan perspektif Sudirman dari dalam struktur, buku kedua ini adalah refleksi dari keprihatinannya atas kondisi bangsa, namun juga berisi pemikiran, gagasan, dan harapan untuk kehidupan publik yang lebih baik.
Buku yang dirangkum oleh Agus Mokamat ini terbagi dalam enam bab dengan topik yang berbeda yang diikat benang merah yaitu tujuan hidup berbangsa dan bernegara. Bab pertama, Ke-Indonesia-an yang Meng-Indonesia? Berisikan tulisan yang merefleksikan keindahan Pancasila sebagai fondasi aturan main berbangsa dan bernegara.
Bab Kedua berjudul Kepemimpinan yang Berkewajaran? berisi pandangan Sudirman Said mengenai peran pemimpin dalam mengangkat harkat bangsa, serta kerinduannya akan pemimpin yang mampu memicu semangat juang dan etos kerja masyarakat, meluruskan hal-hal yang melampaui batas kepatutan serta memberi arah pembangunan masa depan negeri.
"Demokrasi yang Menyehat?’ menjadi judul bab ketiga, berisi padangan dan harapan penulis mengenai demokrasi yang seharusnya. Demokrasi yang sehat dimana rakyat menjadi subyek dan tujuan utama. Bab “Integritas yang Mengokoh” menegaskan bahwa bangsa ini terbangun dari integritas pribadi-pribadi masyarakatnya.
Menurutnya, pribadi-pribadi yang keropos tak akan sanggup membangun bangsa. Sudirman melihat perlunya anak-anak muda diberi kesempatan berlatih di medan sulit untuk mempertangguh diri mereka. Pada bab lima, Sudirman bicara tentang solidaritas.
"Kasus pandemi Covid-19 menjadi contoh bagaimana tidak hanya ilmu pengetahuan yang dibutuhkan, namun perlunya solidaritas dan gotong royong untuk dapat keluar dalam situasi sulit," ujarnya.
Bab enam terdiri dari sembilan tulisan yang dirangkum dengan judul “Bermanusia yang Memuliakan?”. Di dalam bab ini, Sudirman berceritera mengenai perjumpaannya dengan berbagai kelompok masyarakat dan relawan yang seringkali terlupakan.
Cerita mengenai perjumpaannya dengan petani dan nelayan asmat Papua di Aceh, petani bawang di Brebes, Jawa Tengah, hingga para relawan yang bekerja di medan sulit. Perjumpaan degan tokoh-tokoh ‘biasa’ ini menyadarkannya kita perlu merawat kebhinekaan.
Sementara peneliti LIPI, Prof Siti Zuhro yang menjadi panelis dalam acara diskusi ini menjelaskan, buku Bergerak dengan Kewajaran ini sebagai pengingat bagi kita untuk melakukan hal-hal baik.
"Kini, kita berdemokrasi tanpa etika. Indonesia memerlukan pemimpin teladan yang meneladani," ujarnya.
Sedangkan Siti Hardianti Darma Pertiwi (Anti), panelis yang mewakili orang muda, menyatakan ketertegunannya saat membaca buku Bergerak dengan Kewajaran ini, sebab ia berefleksi dari sekelilingnya, saat ini ia mendapati banyak yang mewajarkan apa yang tidak wajar.
Erry Riyana Hardjapamekas membungkus diskusi soal 'kewajaran' ini. "Saya setuju dengan judul buku ini. Kita semua memang perlu bergerak dengan kewajaran," tegasnya.
Acara peluncuran dan diskusi buku Bergerak dengan Kewajaran-Antologi Kedua Sudirman Said dipandu oleh Amin Subekti dan menghadirkan tokoh-tokoh seperti Prof Siti Zuhro, Erry Riyana Hardjapamekas, Siti Hardianti Darma Pertiwi yang bertindak sebagai panelis. Adapun sebagai penanggap adalah Budiman Tanuredjo, Dadang Juliantara dan penulis, Sudirman Said.
"Perilaku gaya hidup mewah yang dipertontonkan pejabat ASN dan keluarganya atau adegan pejabat tinggi yang menjalankan bisnis sambil mengurusi tugas negara adalah sesuatu yang kerap kita lihat belakangan ini," kata Sudirman Said di sela-sela peluncuran buku.
"Belum lagi praktik-praktik tidak terpuji yang dilakukan oleh para penegak hukum. Berbagai perilaku di atas adalah sesuatu yang di luar asas kepatutan dan kewajaran yang dilakukan oleh para pemegang amanah negeri ini ternyata juga dilakukan oleh orang-orang biasa di sekitar kita," tambahnya.
Buku setebal 409 halaman ini menuturkan serangkaian peristiwa dan perilaku yang memprihatinkan tersebut seolah-olah adalah sesuatu yang 'biasa saja' atau 'wajar'. Fenomena di atas mengusik pikiran dan batin Sudirman Said yang kemudian ia tuangkan ke dalam 60 tulisan yang ia tulis selepas pengabdiannya sebagai Menteri ESDM pada tahun 2014-2016.
Pada buku antologi pertamanya yang berjudul Berpihak pada Kewajaran, lebih merefleksikan pemikiran dan perspektif Sudirman dari dalam struktur, buku kedua ini adalah refleksi dari keprihatinannya atas kondisi bangsa, namun juga berisi pemikiran, gagasan, dan harapan untuk kehidupan publik yang lebih baik.
Buku yang dirangkum oleh Agus Mokamat ini terbagi dalam enam bab dengan topik yang berbeda yang diikat benang merah yaitu tujuan hidup berbangsa dan bernegara. Bab pertama, Ke-Indonesia-an yang Meng-Indonesia? Berisikan tulisan yang merefleksikan keindahan Pancasila sebagai fondasi aturan main berbangsa dan bernegara.
Bab Kedua berjudul Kepemimpinan yang Berkewajaran? berisi pandangan Sudirman Said mengenai peran pemimpin dalam mengangkat harkat bangsa, serta kerinduannya akan pemimpin yang mampu memicu semangat juang dan etos kerja masyarakat, meluruskan hal-hal yang melampaui batas kepatutan serta memberi arah pembangunan masa depan negeri.
"Demokrasi yang Menyehat?’ menjadi judul bab ketiga, berisi padangan dan harapan penulis mengenai demokrasi yang seharusnya. Demokrasi yang sehat dimana rakyat menjadi subyek dan tujuan utama. Bab “Integritas yang Mengokoh” menegaskan bahwa bangsa ini terbangun dari integritas pribadi-pribadi masyarakatnya.
Menurutnya, pribadi-pribadi yang keropos tak akan sanggup membangun bangsa. Sudirman melihat perlunya anak-anak muda diberi kesempatan berlatih di medan sulit untuk mempertangguh diri mereka. Pada bab lima, Sudirman bicara tentang solidaritas.
"Kasus pandemi Covid-19 menjadi contoh bagaimana tidak hanya ilmu pengetahuan yang dibutuhkan, namun perlunya solidaritas dan gotong royong untuk dapat keluar dalam situasi sulit," ujarnya.
Bab enam terdiri dari sembilan tulisan yang dirangkum dengan judul “Bermanusia yang Memuliakan?”. Di dalam bab ini, Sudirman berceritera mengenai perjumpaannya dengan berbagai kelompok masyarakat dan relawan yang seringkali terlupakan.
Cerita mengenai perjumpaannya dengan petani dan nelayan asmat Papua di Aceh, petani bawang di Brebes, Jawa Tengah, hingga para relawan yang bekerja di medan sulit. Perjumpaan degan tokoh-tokoh ‘biasa’ ini menyadarkannya kita perlu merawat kebhinekaan.
Sementara peneliti LIPI, Prof Siti Zuhro yang menjadi panelis dalam acara diskusi ini menjelaskan, buku Bergerak dengan Kewajaran ini sebagai pengingat bagi kita untuk melakukan hal-hal baik.
"Kini, kita berdemokrasi tanpa etika. Indonesia memerlukan pemimpin teladan yang meneladani," ujarnya.
Sedangkan Siti Hardianti Darma Pertiwi (Anti), panelis yang mewakili orang muda, menyatakan ketertegunannya saat membaca buku Bergerak dengan Kewajaran ini, sebab ia berefleksi dari sekelilingnya, saat ini ia mendapati banyak yang mewajarkan apa yang tidak wajar.
Erry Riyana Hardjapamekas membungkus diskusi soal 'kewajaran' ini. "Saya setuju dengan judul buku ini. Kita semua memang perlu bergerak dengan kewajaran," tegasnya.
Acara peluncuran dan diskusi buku Bergerak dengan Kewajaran-Antologi Kedua Sudirman Said dipandu oleh Amin Subekti dan menghadirkan tokoh-tokoh seperti Prof Siti Zuhro, Erry Riyana Hardjapamekas, Siti Hardianti Darma Pertiwi yang bertindak sebagai panelis. Adapun sebagai penanggap adalah Budiman Tanuredjo, Dadang Juliantara dan penulis, Sudirman Said.
(maf)