AICIS: Islam Indonesia Layak Disuarakan ke Dunia

Kamis, 23 November 2017 - 10:50 WIB
AICIS: Islam Indonesia Layak Disuarakan ke Dunia
AICIS: Islam Indonesia Layak Disuarakan ke Dunia
A A A
JAKARTA - Pemikiran Islam di Indonesia yang mengedepankan moderatisme layak disuarakan ke berbagai forum internasional. Islam moderat dinilai sebagai alternatif solusi di tengah gerakan radikalisme aga ma yang terjadi di berbagai negara.

“Pemahaman keagamaan mayoritas muslim di Indonesia layak dijadikan sebagai alternatif pemikiran Islam di dunia karena selama ini telah terbukti berbagai potensi ketegangan antara pemahaman keaga maan dan pemahaman kenegaraan bisa terjembatani dengan baik,” kata Sekretaris Di rektorat Jenderal (Dirjen) Pendidikan Islam (Pendis), Kementerian Agama (Kemenag) Muham mad Isom Yusqi, di sela aca ra diskusi panel Annual Con ference on Islamic Studies (AICIS) di ICE-BSD, Tangerang Selatan, kemarin.

Dia menjelaskan, dalam forum AICIS beberapa pemikir Islam, baik dari dalam dan luar negeri memaparkan berbagai hasil riset dan pemikiran mereka terkait paham keagamaan yang berkembang di berbagai negara muslim. Sebagian besar dari para pemikir tersebut sepa kat jika paham keagamaan Islam moderat di Indonesia layak dijadikan model bagi negara-negara muslim di dunia.

“Kami berharap agar Indonesia di masa depan menjadi pusat kajian dan destinasi Islam dunia,” ujarnya. AICIS 2017 juga menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain: Syed Farid Alatas (National University of Singapore), Ronald A Lukens Bull (University of North Florida), Imtiyaz Yusuf (Mahidol University Thailand), Lisolette Abid (Vienna University, Austria), dan Livia Holden (Oxford University UK).

AICIS dihadiri pimpinan, guru besar, dosen, dan peneliti di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. “Ada 25 narasumber utama baik dari dalam dan luar negeri serta 332 pemakalah yang akan mempresentasikan hasil kajian dan penelitiannya,” kata Isom.

Sementara itu, ketua panitia AICIS 2017, Mamat S Burhanuddin menyampaikan bah wa pembukaan AICIS 2017 di hadiri ribuan peserta. Apalagi gelaran tahun ini di barengkan dengan acara Pameran Pen didikan Islam Internasional yang menghadirkan berbagai penemuan menarik dari berbagai sekolah dan perguruan tinggi di bawah naungan Dirjen Pendidikan Islam, Kemen terian Agama.

“Sebelum gelaran AICIS dihelat di berbagai kampus Islam di Indonesia, namun tahun ini digelar dengan skala lebih besar baik dari sisi lokasi penyelenggaraan, rangkaian acara, hingga pengisi acara,” ungkapnya. Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa pemahaman Islam bisa kompatibel dengan pemahaman kenegaraan.

Bagi seorang muslim, tidak ada masalah menjadi penganut Islam yang baik sekaligus warga negara yang taat pada hukum positif. Menurutnya, Tanah Air adalah tempat warga bangsa menjalankan ajaran agama. Karenanya, hubungan antara identitas keagamaan dan identitas kewarganegaraan tidak sepatutnya dipertentangkan.

“Membela Tanah Air dan menjaga keutuhannya merupakan kewajiban agama. Seorang muslim yang baik pasti menjadi warga negara yang baik,” ujar Menag saat menjadi pembicara kunci pada AICIS di Serpong, Selasa (21/11/2017).

Meski demikian, kontestasi politik terutama dalam pemilih an umum, tidak jarang memunculkan masalah politik identitas primordial.

Sebagian masyarakat menilai identitas primordial, seperti suku, agama, dan ras masih memainkan peranan penting dalam politik. Dampaknya, masyarakat terpecah dan kadang sampai muncul konflik-konflik sosial yang tidak perlu.

“Perlu didiskusikan hubungan antara identitas keagamaan dengan identitas kewarganegaraan dalam konteks kenegaraan kebangsaan,” kata Lukman Hakim.

Islam dalam sejarahnya memiliki pengalaman panjang dalam mengelola hubungan antara identitas keagamaan dan identitas kewarganegaraan. Kisah sukses itu bermula dari Piagam Madinah yang mengakui hak-hak kewarganegaraan bagi seluruh komponen masyarakat Madinah, terlepas dari perbedaan agama, suku, dan ras.

Dengan tegas dinyatakan, “anna al-Yahûd Ummah, wal muslimîn ummah” (orang Yahudi dan Muslim adalah umat dalam ikatan identitas agama masing-masing), tetapi pada saat yang sama, “annal mus limiina wal yahuuda ummah”(kaum muslim dan Yahudi adalah Satu Ummah yang diikat oleh kesamaan sebagai warga negara).

“Prinsipnya jelas, seperti kata Rasulullah, “lahum mâ lanâ wa `alayhim mâ `alayna” (mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita),” kata dia. Konsep hampir serupa dibuat para pendiri bangsa yang terdiri dari berbagai kom ponen masyarakat ini.

Mereka bersepakat menetapkan Pancasila sebagai dasar dalam mem bangun kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan prinsip “Bhinneka Tunggal Ika”, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Suwarno)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4279 seconds (0.1#10.140)