Kasus Bupati Kukar Diklaim Bukan Gratifikasi tapi Administrasi

Senin, 09 Oktober 2017 - 21:25 WIB
Kasus Bupati Kukar Diklaim Bukan Gratifikasi tapi Administrasi
Kasus Bupati Kukar Diklaim Bukan Gratifikasi tapi Administrasi
A A A
JAKARTA - Penetapan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Rita Widyasari sebagai tersangka dugaan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipertanyakan.

Pasalnya selama ini Rita dikenal sebagai contoh atau role model kepala daerah. Mengutip informasi berbagai media, kata Juru Bicara Rita Widyasari, Yoga Hartantoro, salah satu penyebab Rita Widyasari dijadikan tersangka adalah perbedaan nilai harta yang melonjak 10 kali lipat, antara Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara(LHPKN) antara tahun 2011 dengan tahun 2015.

Disebutkan LHKPN Bupati Kukar tahun 2011 senilai Rp 25,8 miliar. Sedangkan di tahun 2015 harta yang dilaporkan sebesar Rp 236 miliar.

Dari sini, kata dia, diduga dimulainya kecurigaan Rita Widyasari telah memperkaya diri sendiri melalui praktik gratifikasi.

"Tanpa adanya penjelasan lebih lanjut, tentu sangat mudah muncul anggapan Rita melakukan gratifikasi. Namun kemudian muncul informasi bahwa peningkatan nilai harta Bupati Kutai Kartanegara karena valuasi baru dari lahan kelapa sawit dan pertambangan yang telah dimiliki Rita sejak lama," kata Yoga dalam keterangan persnya, Senin (9/10/2017).

Dia menjelaskan, valuasi baru lahan sawit lama dan pertambangan itu ini bahkan mencapai Rp 209,5 miliar.
"Artinya dari total harta yang dilaporkan oleh sang Bupati di tahun 2015, 88 persennya dipicu valuasi baru dari lahan sawit dan tambang lama," paparnya.

Menurut Yoga, sangat mengherankan bila argumen peningkatan harta dianggap sebagai indikasi terjadinya gratifikasi.

Dia menjelaskan, harta tidak bergerak seperti lahan sawit dan pertambangan adalah tipe harta yang bisa mengalami peningkatan nilai walaupun didiamkan.

"Contohnya seperti rumah yang dimiliki oleh para wajib pajak di Indonesia. Saat dibeli mungkin harganya Rp 200 juta. Tapi ketika wilayah di sekeliling rumah tersebut berkembang menjadi sentra ekonomi, maka harganya bisa melonjak jadi Rp 2 miliar tanpa ada pemugaran apapun," jelas Yoga.

Bahkan, kata dia, kalaupun di dalam pelaporan harta kekayaan ada kesalahan valuasi nilai harta tidak bergerak, sebetulnya tetap dimungkinkan mekanisme pembetulan laporan terkait penilaian (appraisal) dari harta tidak bergerak yang sudah ada sebelumnya di laporan.

Menurut dia, apa yang dialami oleh Bupati Kukar bukan gratifikasi melainkan masalah administrasi.

"Terkait dugaan Rita menerima gratifikasi dari Hery Susanto alias Abun, ini sesederhana perlunya pembuktian dan pemeriksaan silang bukti. Mengingat Abun sudah menyatakan bahwa transaksi keuangan antara dia dan Rita adalah terkait jual beli emas semata," tuturnya.

Menurut penilaian Yoga, kemungkinan besar kasus Bupati Kukar ini bukan termasuk kategori gratifikasi, tapi hanya masalah administrasi pelaporan nilai kekayaan belaka, sehingga akan sangat mendegradasi reputasi usaha pemberantasan korupsi di Indonesia bila tetap dipaksakan.

"Sebuah isu yang sifatnya hanya administrasi tapi seperti dipaksa menjadi gratifikasi," katanya.

Yoga menceritakan, selama ini Rita Widyasari mendedikasikan hidupnya demi kemajuan daerah yang dipimpinnya.

Hal itu dikatakannya dapat dibuktikan dengan pesatnya pembangunan di Kutai Kartanegara. Dalam kepemimpinannya telah lima kali memperoleh wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK dan penghargaan dari Kemenpan dan Reformasi Birokasi karena keberhasilan reformasi birokasi di Kutai Kartanegara, serta berbagai penghargaan yang diperolehnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6302 seconds (0.1#10.140)