PKS Desak Pemerintah Cabut Klaster Ketenagakerjaan di Omnibus Law

Kamis, 06 Agustus 2020 - 10:31 WIB
loading...
PKS Desak Pemerintah...
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, bidang Industri dan Pembangunan, Mulyanto menagih janji pemerintah untuk mencabut klaster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja. Foto/dpr.go.id
A A A
JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR menagih janji pemerintah untuk mencabut klaster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja . Sebab, PKS menilai keberadaan kluster ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Law tersebut sangat kontroversial.

Dengan demikian sudah selayaknya pemerintah dan DPR RI mencabut ketentuan itu untuk menghindari gejolak di masyarakat. "Saya mendesak pemerintah segera menepati janji untuk mencabut klaster ketenagakerjaan dari RUU Cipta Kerja itu. Pemerintah sebaiknya mendengar aspirasi masyarakat yang keberatan dengan berbagai ketentuan terkait ketenagakerjaan yang diatur dalam RUU itu," ujar Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, bidang Industri dan Pembangunan, Mulyanto dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews , Kamis (6/8/2020). (Baca juga: Sebanyak Lebih dari 300.000 Pelamar CPNS Sudah Pilih Lokasi Tes SKB)

Fraksi PKS menilai ada beberapa pasal dalam klaster ketenagakerjaan itu yang sangat merugikan pekerja nasional. Di antaranya terkait masalah upah, pesangon dan perizinan tenaga kerja asing.

Dalam RUU Cipta Kerja ini ketentuan upah minimum akan dihapuskan, perhitungan pesangon bagi karyawan yang diberhentikan menjadi lebih kecil, ketentuan penggunaan tenaga alih daya (outsourching) diperluas tanpa batas untuk semua jenis pekerjaan, diperluasnya sistem kerja kontrak, serta berpotensi menghilangkan jaminan sosial bagi pekerja.

"Ini semua adalah ketentuan-ketentuan dalam RUU Omnibus Law Ciptaker yang berpotensi memperlemah perlindungan terhadap tenaga kerja, meningkatkan ketimpangan penerimaan mereka, yang pada gilirannya akan memperlemah produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja kita," jelas Mulyanto.

Sementara ketentuan bagi pekerja asing, kata dia, justru dipermudah seperti dibolehkannya menggunakan tenaga kerja asing (TKA) untuk pekerjaan yang tidak perlu keahlian khusus (unskill workers), dihapusnya syarat Izin Menggunakan TKA (IMTA), tidak diperlukan standar kompetensi TKA.

Kemudian, dihapusnya kewajiban pengadaan tenaga pendamping bagi TKA dengan jabatan tertentu, dihapusnya larangan bagi TKA untuk menjadi pengurus di lembaga penyiaran swasta, serta dihapusnya syarat rekomendasi dari organisasi pekerja profesional bagi TKA ahli di bidang pariwisata.

"Ini kan sangat kontradiktif. Di satu sisi RUU Omnibus Law Ciptaker memperlemah perlindungan terhadap tenaga kerja nasional kita, namun di sisi lain membuka pintu lebar-lebar bagi kemudahan datangnya TKA," katanya.

Karena itu, menurut dia, sangat wajar dan dapat dimengerti kalau para pekerja menolak keras ketentuan-ketentuan dalam klaster ketenagakerjaan RUU Omnibus Law Ciptaker ini. "Hal ini kami rasakan benar, saat PKS berdialog menerima aspirasi berbagai serikat kerja nasional," papar Mulyanto.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) ini menegaskan partainya konsisten bersama dengan para buruh untuk menolak klaster ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Law Ciptaker ini. Mulyanto mengutip laporan World Bank yang dirilis Juli ini dengan judul Indonesia Economic Prospects: The Long Road to Recovery.

World Bank menilai terdapat beberapa klausul dalam RUU Omnibus Law Ciptaker yang berpotensi merugikan ekonomi Indonesia. World Bank menyoroti skema upah minimum serta pembayaran pesangon lebih longgar dibandingkan dengan ketentuan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. (Baca juga: Dua Buronan Kakap asal Indonesia Ditangkap di Amerika Serikat)

Ketentuan ini berpotensi memperlemah perlindungan terhadap tenaga kerja serta meningkatkan ketimpangan penerimaan. Atas dasar pertimbangan objektif itu, kata Mulyanto, PKS bakal kawal proses pembahasan RUU Cipta Kerja ini agar tidak merugikan masyarakat, terutama kalangan pekerja.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1621 seconds (0.1#10.140)