Generasi Muda Garda Terdepan Lawan Hoaks dan Intoleransi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Konten negatif berupa hoaks dan intoleransi banyak bertebaran di media sosial. Konten semacam ini seringkali menunggangi isu-isu populer yang menyita perhatian banyak orang, seperti perang antara Palestina (Hamas) dan Israel serta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Kondisi ini menuntut generasi muda Indonesia bisa melakukan pendewasaan diri lebih cepat dibandingkan generasi terdahulu agar tidak terseret derasnya arus informasi. Generasi muda harus merealisasikan jalan baru Sumpah Pemua di abad digital sekarang ini.
Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rully Nasrullah menjelaskan, beberapa penelitian mengungkap penyebaran paham radikalisme hingga perekrutan terorisme telah beberapa kali terjadi di media sosial. Ketika kaum radikal melakukan profiling untuk menggaet simpatisan baru, mereka akan menunggu momen yang tepat untuk melempar sebuah isu dan dibungkus dengan kebohongan.
“Menurut saya, mudah saja kalau kita mau mencari studi tentang bagaimana agar kita bisa resisten dengan berita bohong dan intoleransi. Materi-materi tersebut saat ini sudah semakin mudah kita dapat, baik di bangku pendidikan formal, maupun melalui internet,” jelas Rully di Jakarta, Sabtu (4/11/2023).
Menurutnya, baik pemerintah maupun berbagai lembaga non-pemerintah selalu menyuarakan agar masyarakat Indonesia berhati-hati dengan berita bohong. Persoalannya adalah penerimaan berita bohong yang sampai pada seseorang akan sangat bergantung pada orang itu sendiri.
Pada beberapa kasus, lanjut Rully, generasi muda menjadi lebih mudah meyakini berita bohong dan intoleransi karena konten negatif itu masuk melalui lingkaran pergaulan mereka. Padahal, yang anak-anak muda persepsikan sebagai teman di media sosial dan internet, belum tentu itu adalah teman sungguhan.
Terlebih lagi, hoaks atau berita bohong itu lebih sering menyentuh hal-hal yang sensitif, seperti isu SARA (Suku, Agama, dan Ras). Hal ini memang ditujukan karena dengan hal-hal sensitif tadi, seseorang atau suatu kelompok dari latar belakang tertentu akan lebih mudah dipancing sisi emosionalnya.
Penulis buku berjudul Manajemen Komunikasi Digital ini menerangkan, jika sudah seperti ini, maka akan semakin sulit melakukan pendekatan logis untuk mendinginkan suasana. Walaupun demikian, harus ada upaya mencegah orang atau kelompok tertentu yang telah termotivasi untuk melakukan tindakan melawan hukum. Maka dari itu, tentu dapat dipahami bahwa berita bohong akan selalu memainkan isu-isu sensitif seperti SARA.
“Kalau saya melihatnya, sejahat-jahatnya orang, kalau agamanya disinggung atau di-framing secara negatif, pasti sisi emosionalnya akan muncul. Mudahnya menelan mentah-mentah isu sensitif yang dimainkan kelompok tertentu membuat banyak orang jadi sumbu pendek atau mudah marah dan seolah merasa perlu untuk memberikan reaksi secara cepat,” ungkapnya.
Dia menambahkan, sebenarnya dari sisi Pemerintah sudah banyak melancarkan upaya penangkalan penyebaran konten hoaks dan intoleransi. Di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) telah dibentuk tim khusus untuk menyusun panduan literasi digital di sekolah, yang ditujukan untuk guru, murid, serta orang tua.
Di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga merancang etika bermedia sosial yang telah disosialisasikan baik secara online maupun offline. “Bahkan di banyak media massa skala nasional, mereka sudah ikut pelatihan langsung dari Google tentang bagaimana cara memverifikasi informasi yang tersebar di internet. Jadi fact checker itu sudah dilakukan oleh banyak pihak. Tidak hanya Pemerintah, namun nyatanya banyak lembaga swasta yang juga concern dengan keabsahan informasi yang ada di ruang publik Indonesia,” tambah Rully.
Rully mengaku khawatir ketika hoaks, ujaran kebencian, dan intoleransi terhadap suatu kaum tertentu itu disebarkan dan dibungkus dengan situasi politik. Hal ini tentu bisa menjadi pembunuhan karakter figur atau tokoh tertentu yang justru memiliki kompetensi. Cara seperti ini bisa jadi upaya untuk memengaruhi banyak orang sehingga mereka tidak bisa mengambil sikap yang dewasa dan bertanggungjawab dalam bertindak.
“Generasi muda seperti Gen-Z, mereka ini cenderung masih labil dalam mencari sosok yang bisa mereka jadikan panutan. Secara psikis, sebaran kebohongan dan kebencian di dunia maya tentu akan berpengaruh terhadap perkembangan mereka. Maka dari itu, solusi terbaik adalah kembali ke diri masing-masing untuk mendewasakan diri secara cepat dan memahami betul apa maksud dan tujuan mereka dalam menggunakan media sosial,” ucapnya.
Kondisi ini menuntut generasi muda Indonesia bisa melakukan pendewasaan diri lebih cepat dibandingkan generasi terdahulu agar tidak terseret derasnya arus informasi. Generasi muda harus merealisasikan jalan baru Sumpah Pemua di abad digital sekarang ini.
Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rully Nasrullah menjelaskan, beberapa penelitian mengungkap penyebaran paham radikalisme hingga perekrutan terorisme telah beberapa kali terjadi di media sosial. Ketika kaum radikal melakukan profiling untuk menggaet simpatisan baru, mereka akan menunggu momen yang tepat untuk melempar sebuah isu dan dibungkus dengan kebohongan.
“Menurut saya, mudah saja kalau kita mau mencari studi tentang bagaimana agar kita bisa resisten dengan berita bohong dan intoleransi. Materi-materi tersebut saat ini sudah semakin mudah kita dapat, baik di bangku pendidikan formal, maupun melalui internet,” jelas Rully di Jakarta, Sabtu (4/11/2023).
Menurutnya, baik pemerintah maupun berbagai lembaga non-pemerintah selalu menyuarakan agar masyarakat Indonesia berhati-hati dengan berita bohong. Persoalannya adalah penerimaan berita bohong yang sampai pada seseorang akan sangat bergantung pada orang itu sendiri.
Pada beberapa kasus, lanjut Rully, generasi muda menjadi lebih mudah meyakini berita bohong dan intoleransi karena konten negatif itu masuk melalui lingkaran pergaulan mereka. Padahal, yang anak-anak muda persepsikan sebagai teman di media sosial dan internet, belum tentu itu adalah teman sungguhan.
Terlebih lagi, hoaks atau berita bohong itu lebih sering menyentuh hal-hal yang sensitif, seperti isu SARA (Suku, Agama, dan Ras). Hal ini memang ditujukan karena dengan hal-hal sensitif tadi, seseorang atau suatu kelompok dari latar belakang tertentu akan lebih mudah dipancing sisi emosionalnya.
Penulis buku berjudul Manajemen Komunikasi Digital ini menerangkan, jika sudah seperti ini, maka akan semakin sulit melakukan pendekatan logis untuk mendinginkan suasana. Walaupun demikian, harus ada upaya mencegah orang atau kelompok tertentu yang telah termotivasi untuk melakukan tindakan melawan hukum. Maka dari itu, tentu dapat dipahami bahwa berita bohong akan selalu memainkan isu-isu sensitif seperti SARA.
“Kalau saya melihatnya, sejahat-jahatnya orang, kalau agamanya disinggung atau di-framing secara negatif, pasti sisi emosionalnya akan muncul. Mudahnya menelan mentah-mentah isu sensitif yang dimainkan kelompok tertentu membuat banyak orang jadi sumbu pendek atau mudah marah dan seolah merasa perlu untuk memberikan reaksi secara cepat,” ungkapnya.
Dia menambahkan, sebenarnya dari sisi Pemerintah sudah banyak melancarkan upaya penangkalan penyebaran konten hoaks dan intoleransi. Di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) telah dibentuk tim khusus untuk menyusun panduan literasi digital di sekolah, yang ditujukan untuk guru, murid, serta orang tua.
Di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga merancang etika bermedia sosial yang telah disosialisasikan baik secara online maupun offline. “Bahkan di banyak media massa skala nasional, mereka sudah ikut pelatihan langsung dari Google tentang bagaimana cara memverifikasi informasi yang tersebar di internet. Jadi fact checker itu sudah dilakukan oleh banyak pihak. Tidak hanya Pemerintah, namun nyatanya banyak lembaga swasta yang juga concern dengan keabsahan informasi yang ada di ruang publik Indonesia,” tambah Rully.
Rully mengaku khawatir ketika hoaks, ujaran kebencian, dan intoleransi terhadap suatu kaum tertentu itu disebarkan dan dibungkus dengan situasi politik. Hal ini tentu bisa menjadi pembunuhan karakter figur atau tokoh tertentu yang justru memiliki kompetensi. Cara seperti ini bisa jadi upaya untuk memengaruhi banyak orang sehingga mereka tidak bisa mengambil sikap yang dewasa dan bertanggungjawab dalam bertindak.
“Generasi muda seperti Gen-Z, mereka ini cenderung masih labil dalam mencari sosok yang bisa mereka jadikan panutan. Secara psikis, sebaran kebohongan dan kebencian di dunia maya tentu akan berpengaruh terhadap perkembangan mereka. Maka dari itu, solusi terbaik adalah kembali ke diri masing-masing untuk mendewasakan diri secara cepat dan memahami betul apa maksud dan tujuan mereka dalam menggunakan media sosial,” ucapnya.
(cip)