Surat Penangkapan SYL Ditandatangani Pimpinan KPK, Ali Fikri: Beda Tafsir UU Saja
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons soal surat penangkapan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang ditandatangani pimpinan lembaga antirasuah.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengatakan urusan teknis seperti itu tidak perlu dibesar-besarkan. Menurutnya, hal tersebut hanya perbedaan penafsiran undang-undang.
"Tidak usah dipersoalkan urusan teknis seperti itu. Soal beda tafsir UU saja. Semua administrasi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan ada aturan tata naskah yang berlaku di KPK," ujar Ali kepada wartawan, Jumat (13/10/2023).
"Itu Artinya, pimpinan KPK tetap berwenang menetapkan tersangka dan lain-lain," sambungnya.
Menurut Ali, pimpinan KPK mempunyai tanggung jawab dalam setiap kasus korupsi yang sedang diusut lembaganya. Akan hal itu, pimpinan KPK tetap berhak menandatangani surat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi dalam bentuk administrasi penindakan hukum.
"Kami hanya ingin tegaskan bukan jemput paksa sebagaimana narasi oleh pihak-pihak tertentu, ini kami sampaikan supaya klir," jelasnya.
Ali pun menegaskan penangkapan terhadap SYL tentu ada dasar hukumnya. "Prinsipnya begini, penangkapan dapat dilakukan terhadap siapapun yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan alat bukti yang cukup dan tidak harus didahului pemanggilan," papar Ali.
"Jemput paksa dapat dilakukan terhadap siapapun karena mangkir dari panggilan penegak hukum," imbuhnya.
Sebelumnya, mantan Penyidik Komisi Pemebrantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan buka suara soal pengusutan kasus dugaan korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan). Novel menyebut ada kejanggalan pada proses pemanggilan dan penangkapan terhadap tersangka mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Kejanggalan yang dimaksud dimana surat pemanggilan dan penangkapan ditandatangani langsung oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Padahal menurutnya tanda tangan pada tingkat itu hanya perlu dilakukan oleh bagian Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK.
"Tanggal 11 Oktober (Pemanggilan pertama SYL) Firli Bahuri menandatangani penangkapan, kan lucu itu. Biasanya penangkapan itu tidak harus pimpinan KPK, karena penangkapan itu cukup deputi, kalau penahanan memang pimpinan KPK walaupun dengan UU sekarang itu enggak lagi karena mereka (pimpinan) tidak lagi penyidik," ujar Novel Baswedan kepada wartawan, Jumat (13/10/2023).
Bahkan, Novel menyebut bahwa tindakan ini merupakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh Firli Bahuri. Ia menduga hal itu juga untuk menutup atau membungkam adanya dugaan perkara pemerasan yang menyeret nama Firli.
"Saya meyakini sebagai abuse of power, jadi upaya Firli untuk menutup atau membungkam perkara pemerasannya. Ini yang bahaya," ucapnya.
Dalam kasus ini, kata Novel, kasus pemerasan harus terlebih dahulu diusut ketimbang pokok perkara dugaan korupsinya. Hal ini agar pengusutan pokok perkara dapat diusut tuntas.
"Harusnya pemerasannya dulu, karena sampai kemudian perkara pokoknya digunakan untuk membungkam untuk menghalang-halangi, untuk mengintimidasi, sehingga para korban dan saksi tidak berani untuk berbicara menyampaikan fakta apa adanya karena ada conflict of interest atau peluang terjadinya abuse of power," tegas dia.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengatakan urusan teknis seperti itu tidak perlu dibesar-besarkan. Menurutnya, hal tersebut hanya perbedaan penafsiran undang-undang.
"Tidak usah dipersoalkan urusan teknis seperti itu. Soal beda tafsir UU saja. Semua administrasi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan ada aturan tata naskah yang berlaku di KPK," ujar Ali kepada wartawan, Jumat (13/10/2023).
"Itu Artinya, pimpinan KPK tetap berwenang menetapkan tersangka dan lain-lain," sambungnya.
Menurut Ali, pimpinan KPK mempunyai tanggung jawab dalam setiap kasus korupsi yang sedang diusut lembaganya. Akan hal itu, pimpinan KPK tetap berhak menandatangani surat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi dalam bentuk administrasi penindakan hukum.
"Kami hanya ingin tegaskan bukan jemput paksa sebagaimana narasi oleh pihak-pihak tertentu, ini kami sampaikan supaya klir," jelasnya.
Ali pun menegaskan penangkapan terhadap SYL tentu ada dasar hukumnya. "Prinsipnya begini, penangkapan dapat dilakukan terhadap siapapun yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan alat bukti yang cukup dan tidak harus didahului pemanggilan," papar Ali.
"Jemput paksa dapat dilakukan terhadap siapapun karena mangkir dari panggilan penegak hukum," imbuhnya.
Sebelumnya, mantan Penyidik Komisi Pemebrantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan buka suara soal pengusutan kasus dugaan korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan). Novel menyebut ada kejanggalan pada proses pemanggilan dan penangkapan terhadap tersangka mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Kejanggalan yang dimaksud dimana surat pemanggilan dan penangkapan ditandatangani langsung oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Padahal menurutnya tanda tangan pada tingkat itu hanya perlu dilakukan oleh bagian Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK.
"Tanggal 11 Oktober (Pemanggilan pertama SYL) Firli Bahuri menandatangani penangkapan, kan lucu itu. Biasanya penangkapan itu tidak harus pimpinan KPK, karena penangkapan itu cukup deputi, kalau penahanan memang pimpinan KPK walaupun dengan UU sekarang itu enggak lagi karena mereka (pimpinan) tidak lagi penyidik," ujar Novel Baswedan kepada wartawan, Jumat (13/10/2023).
Bahkan, Novel menyebut bahwa tindakan ini merupakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh Firli Bahuri. Ia menduga hal itu juga untuk menutup atau membungkam adanya dugaan perkara pemerasan yang menyeret nama Firli.
"Saya meyakini sebagai abuse of power, jadi upaya Firli untuk menutup atau membungkam perkara pemerasannya. Ini yang bahaya," ucapnya.
Dalam kasus ini, kata Novel, kasus pemerasan harus terlebih dahulu diusut ketimbang pokok perkara dugaan korupsinya. Hal ini agar pengusutan pokok perkara dapat diusut tuntas.
"Harusnya pemerasannya dulu, karena sampai kemudian perkara pokoknya digunakan untuk membungkam untuk menghalang-halangi, untuk mengintimidasi, sehingga para korban dan saksi tidak berani untuk berbicara menyampaikan fakta apa adanya karena ada conflict of interest atau peluang terjadinya abuse of power," tegas dia.
(kri)