Prof Romli: Kasus SMS Hary Tanoe Over Kriminalisasi dan Politisasi
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Profesor Romli Atmasasmita menilai Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo mengalami over kriminalisasi dan kental politisasi dalam kasus SMS yang dipermasalahkan oleh Jaksa Yulianto.
"Aneh seorang aparatur hukum merasa takut karena suatu SMS ini over kriminalisasi. Sesuatu yang biasa dibuat luar biasa, sesuatu perbuatan yang bukan kriminal dibuat jadi kriminal. Malahan ini saya katakan over kriminalisasi," kata Romli, saat dihubungi.
Dia membeberkan over kriminalisasi tersebut karena sejatinya isi SMS tersebut adalah berupa aspirasi. "Jadi itu hal yang biasa disampaikan umumnya oleh semua pemimpin waktu kampanye begitu, akan saya basmi korupsi, akan saya basmi kejahatan, itu kan biasa. Kalau menurut saya itu bukan sesutau yang luar biasa. Bukan tindak kriminal," jelasnya
Romli mengatakan, di sisi lain ada politisasi dalam kasus ini. "Saya banyak menyampaikan bahwa ini politisasi. Dia (Hary Tanoe) memiliki posisi politik yang bagus, bisa-bisa saja di sudut sana bisa nilai begitu," ungkapnya.
Romli mengatakan, sebagai seorang ahli hukum pidana SMS Hary Tanoe tidak mengandung unsur pidana. "Hanya biasa saja, penyampaian aspirasi warga negara," tegasnya.
Lebih jauh Romli melihat memandang hal ini hubungan antara warga negara dan orang yang memegang kekuasaan. Karena Hary Tanoe adalah rakyat biasa, sedangkan Yulianto penegak hukum. Dalam sejarah demokrasi, rakyat memiliki hak untuk bicara.
"Kalau di zaman orde baru dulu rakyat tidak boleh bicara. Setelah reformasi ada kebebasan bicara, kebebasan menyampaikan pendapat. Nah SMS Hary Tanoe itu salah satu wujud dari hak setiap warga negara dalam menyampaikan pendapat," tegasnya.
(Baca juga: Masyarakat Awam Juga Tahu Tak Ada Ancaman dalam SMS Ketum Perindo)
"Di sisi lain aparatur hukum tidak boleh menyampaikan hasil penyelidikan laporan lanjutan itu dilarang, inikan Yulianto menyampaikan itu, di wawancara tv, dia bawa itu bukti-buktinya, pakai baju dinas, yang semestinya tidak boleh oleh undang-undang," ucapnya.
"Karena itu akan menghalangi proses penyelidikan-penuntutan tapi dia buka sendiri itu dimuka publik, melanggar dan itu tidak boleh, jadi kalau saya melihat ini mengada-ngada," imbuhnya.
Dia menambahkan kalau sekadar SMS begitu saja, dibaca berulang-ulang pun tidak ada unsur pidananya. Dari sudut hukum pidana, SMS itu, kata Romli bisa sampaikan pada aparat penegak hukum, dan semua orang bisa melakukannya bukanlah hal yang luar biasa.
"Laporan Yulianto tidak proposional dan berlebihan bahkan kalau boleh saya katakan ini over kriminalisasi," ungkapnya.
"Jadi dia membuat sesuatu soal sesuatu yang tadinya tidak masalah menjadi masalah kemudian dianggap serius. Ini namanya dramatisasi dari suatu persoalan sehingga menimbulkan pandangan banyak orang bahwa Hary Tanoe itu jahat. Ini tidak boleh," tandasnya.
"Aneh seorang aparatur hukum merasa takut karena suatu SMS ini over kriminalisasi. Sesuatu yang biasa dibuat luar biasa, sesuatu perbuatan yang bukan kriminal dibuat jadi kriminal. Malahan ini saya katakan over kriminalisasi," kata Romli, saat dihubungi.
Dia membeberkan over kriminalisasi tersebut karena sejatinya isi SMS tersebut adalah berupa aspirasi. "Jadi itu hal yang biasa disampaikan umumnya oleh semua pemimpin waktu kampanye begitu, akan saya basmi korupsi, akan saya basmi kejahatan, itu kan biasa. Kalau menurut saya itu bukan sesutau yang luar biasa. Bukan tindak kriminal," jelasnya
Romli mengatakan, di sisi lain ada politisasi dalam kasus ini. "Saya banyak menyampaikan bahwa ini politisasi. Dia (Hary Tanoe) memiliki posisi politik yang bagus, bisa-bisa saja di sudut sana bisa nilai begitu," ungkapnya.
Romli mengatakan, sebagai seorang ahli hukum pidana SMS Hary Tanoe tidak mengandung unsur pidana. "Hanya biasa saja, penyampaian aspirasi warga negara," tegasnya.
Lebih jauh Romli melihat memandang hal ini hubungan antara warga negara dan orang yang memegang kekuasaan. Karena Hary Tanoe adalah rakyat biasa, sedangkan Yulianto penegak hukum. Dalam sejarah demokrasi, rakyat memiliki hak untuk bicara.
"Kalau di zaman orde baru dulu rakyat tidak boleh bicara. Setelah reformasi ada kebebasan bicara, kebebasan menyampaikan pendapat. Nah SMS Hary Tanoe itu salah satu wujud dari hak setiap warga negara dalam menyampaikan pendapat," tegasnya.
(Baca juga: Masyarakat Awam Juga Tahu Tak Ada Ancaman dalam SMS Ketum Perindo)
"Di sisi lain aparatur hukum tidak boleh menyampaikan hasil penyelidikan laporan lanjutan itu dilarang, inikan Yulianto menyampaikan itu, di wawancara tv, dia bawa itu bukti-buktinya, pakai baju dinas, yang semestinya tidak boleh oleh undang-undang," ucapnya.
"Karena itu akan menghalangi proses penyelidikan-penuntutan tapi dia buka sendiri itu dimuka publik, melanggar dan itu tidak boleh, jadi kalau saya melihat ini mengada-ngada," imbuhnya.
Dia menambahkan kalau sekadar SMS begitu saja, dibaca berulang-ulang pun tidak ada unsur pidananya. Dari sudut hukum pidana, SMS itu, kata Romli bisa sampaikan pada aparat penegak hukum, dan semua orang bisa melakukannya bukanlah hal yang luar biasa.
"Laporan Yulianto tidak proposional dan berlebihan bahkan kalau boleh saya katakan ini over kriminalisasi," ungkapnya.
"Jadi dia membuat sesuatu soal sesuatu yang tadinya tidak masalah menjadi masalah kemudian dianggap serius. Ini namanya dramatisasi dari suatu persoalan sehingga menimbulkan pandangan banyak orang bahwa Hary Tanoe itu jahat. Ini tidak boleh," tandasnya.
(maf)