Potret Buram Kebakaran Museum dan Bangunan Sejarah Lainnya
loading...
A
A
A
MUSEUM Nasional Indonesia (MNI) terbakar hebat pada Sabtu (16/9/2023) malam. Banyak pihak menaruh rasa prihatin yang mendalam atas musibah ini. Keprihatinan itu beralasan. MNI atau Museum Gajah ini tercatat yang terbesar di Asia Tenggara dan menyimpan banyak koleksi bersejarah. Tercatat ada 194.000 koleksi, di mana 817 di antaranya diketahui berada di Gedung A, tempat kebakaran terjadi.
baca juga: Penyebab Kebakaran Museum Nasional Belum Diketahui
Empat hari berselang, misteri penyebab kebakaran ini masih juga belum terkuak. Dari penjelasan pihak yang berwenang antara lain Kepala Suku Dinas Penanggulangan dan Penyelamatan Jakarta Pusat Asril Rizal maupun Plt Kepala Museum dan Cagar Budaya Ahmad Mahendra, korsleting listrik dari bedeng tukang di Gedung C MNI diduga kuat menjadi penyebabnya.
Benarkah demikian? Wallahu a'lam bissawab. Yang pasti, tim investigasi masih bekerja. Selain olah tempat kejadian perkara, polisi juga sudah memeriksa belasan saksi. Hasil akhirnya tentu tengah ditunggu publik secepatnya. Namun, menjadikan korsleting listrik sebagaidugaan penyebab kebakaran adalah simpulan awal yang terlalu dini. Kalau dugaan ini pun terbukti, justru menyisakan pertanyaan lebih mendalam.
Apa sebab? Publik akan mempertanyakan memang sedemikian cerobohkah standar keamanan jaringan listrik di tempat vital ini? Hancur dan rusaknya koleksi yang tersimpan di MNI akibat kebakaran ini tentu tak pernah akan tergantikan nilainya. MNI adalah museum tertua di Indonesia dan sudah berkelas internasional. Mulai 24 April 1778, museum ini dioperasikan.
Artinya, koleksi di dalamnya selain sangatlah melimpah juga mengandung nilai kesejarahan yang panjang sekaligus tak terbilang. Dengan kesadaran itu, tentu pengawasan ketat terhadap segala potensi yang mengancam MNI, termasuk kebakaran sudah semestinya akan dicegah sedini mungkin.
Kalaupun korsleting ini benar, juga menjadi potret buram manajemen permuseuman di Indonesia. Bagaimana tidak? Jika sekelas MNI saja pengelolaannya masih bolong di sana sini, bisa dibayangkan dengan pengelolaan museum-museum lain, utamanya di daerah, baik milik pemerintah, TNI/Polri, kampus, perusahaan dan individu. Merujuk data Asosiasi Museum Indonesia (AMI) pada 2016, terdata ada 428 museum di seluruh Indonesia.
Indikasi rapuhnya manajemen keamanan dan perlindungan museum dan bangunan sejarah lainnya di Indonesia ini antara lain dikuatkan dengan sederet kasus kebakaran pada satu dekade terakhir. Di antaranya yang paling menyita perhatian adalah terbakarnya Museum Bahari di Penjaringan, Jakarta Utara, pada 16 Januari 2018. Dalam kebakaran parah ini, banyak koleksi bersejarah akhirnya hilang seperti kapal tradisional periode 1940-1980, model mercusuar, hingga alat bantu pelayaran kuno. Bahkan tak sedikit koleksi perang Laut Jawa yang merupakan sumbangan dari Pemerintah Inggris, Amerika Serikat, Belanda dan Australia juga ludes.
Museum Ranggawarsita Kota Semarang juga nyaris terbakar akibat korsleting listrik beberapa tahun lalu. Beruntung munculnya api akibat adanya kabel yang terkelupas di atas plafon gedung museum itu segera terdeteksi. Pegawai pun bereaksi cepat dengan memutus arus listrik sehingga kebakaran berhasil dicegah.
baca juga: Polisi Dalami Dugaan Pidana Kebakaran Museum Nasional
Selain museum, cagar budaya dan situs-situs bersejarah juga seringkali menjadi korban kebakaran. Antara lain Istana Bala Putih, Sumbawa (2017), bangunan bersejarah di Bandung (2017), bangunan bersejarah/Polres Selayar (2015), Kelenteng Liong Jok Bio Magelang (2015), Rumah Betang, Kalimantan Barat (2014) dan Gedung Balai Pemuda Surabaya (2011).
Banyaknya insiden kebakaran yang melanda museum, cagar budaya dan tempat bersejarah ini tentu memprihatinkan. Pun dengan kasus di MNI, seharusnya bisa dicegah jika ada standar pengamanan yang benar-benar dijalankan dengan ketat.
Manajemen permuseuman yang sadar akan potensi kebakaran memang belum menjadi perhatian utama di Indonesia. Berpijak dari penelitian Melati dkk (2020), umumnya para pegawai museum sudah memiliki pengetahuan dasar bahwa potensi kebakaran di dalam museum akan selalu datang baik lantaran korsleting listrik ataupun banyaknya benda yang mudah tersulut api.
Namun pegawai tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk melakukan pemadaman seperti keahlian menggunakan alat pemadam api ringan (APAR). Yang terjadi kemudian, pegawai lebih mementingkan untuk cepat-cepat mencari tempat berlindung diri ketimbang melakukan pemadaman.
Bahkan pada kasus Museum Ranggawarsita pun, dari observasi lapangan yang dilakukan Melati dan sejumlah rekannya dari Universitas Diponegoro, hanya mendapati fasilitas APAR dan sarana evakuasi semata. Sedang sistem sprinkler otomatis,hidran dansistem deteksi dini serta alarm kebakaran maupun sistem komunikasi tak tersedia. Sebagai sebuah standar pencegahan kebakaran, sejumlah fasilitas itu tentu tak boleh diabaikan.
baca juga: Kebakaran Museum Nasional, Ketua AMI Minta Pemerintah Lindungi 500 Museum di Indonesia
Relasi yang erat di antara fasilitas-fasilitas itu juga selaras dengan Loss Causation Model yang dikenalkan oleh Bird dan Germain (1985). Lima poin dalam bingkai Teori Domino Heinrich,yakni lack of control, basic cause, immediate cause, incident dan loss adalah hal yang sangat berkelindan dalam relasi antara manajemen dengan sebuah kecelakaan.
Lantas bagaimana dengan Museum Gajah? Jika ketersediaan fasilitas di Museum Gajah tak jauh beda dengan yang lain, tentu sangat mungkin berkorelasi dengan fakta di lapangan. Kebakaran yang terjadi Sabtu malam pukul 19.45 WIB itu begitu dahsyat. Api cepat membesardan menghanguskan enamdari 15 ruangan di Gedung A. Padahal seperti dikatakan Asril Rizal dan Ahmad Mahendra di atas, lokasi korsleting bukanlah di Gedung A, tapi dari bedeng tempat pekerjamerenovasi museumyang lokasinya dekat di Gedung C.
Terang sekali, sejatinya ada jarak yang tak dekat, ada jeda waktu api untuk merembet yang tak singkat. Ada pula sejumlah fasilitas pemadaman yang logikanya sudah tersedia lengkap. Namun kenapa seolah terlambat melakukan pemadaman padahal masih banyak pekerja yang malam itu terjaga. Kenapa api tak cepat terdeteksi? Ini jelas menyisakan banyak pertanyaan mendalam yang perlu dijawab oleh tim investigasi secara cepat sekaligus transparan.
Ruang-ruang keheranan publik ini kian menganga manakala ada indikasi lain soal pemicu kebakaran di MNI. Tentu pada aspek ini, bukan korsleting listrik yang jadi 'kambing hitam'. Jika melihat fakta lemahnyastandar pengamanan dan penyelamatan, adadugaan unsur kesengajaan pada kasus ini.
Polisi pun tidak menutup mata akan potensi dan sinyalemen ini. Bahkan seperti yang dikatakan oleh Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Komarudin, Minggu (17/9/2023), pihaknya akan menelusuri kemungkinan unsur pidana dalam kasus ini. Komitmen polisi untuk menginvestigasi secara komperhensif ini harus didukung. Artinya, polisi sudah bertekad tidak hanya fokus berbasis fakta di lapangan semata, tapi berupaya menarik lebih jauh kemungkinan aktor-aktor di balik terjadinya insiden ini.
baca juga: Kebakaran Museum Nasional, Kemendikbudristek: Koleksi Repatriasi dari Belanda Dipastikan Aman
Lantas jika memang unsur kesengajaan itu benar ada, yang menjadi pertanyaan, kenapa ada pihak yang begitu tega membakar kekayaan bangsa dengan nilai tak terhingga ini? Apakah ada skenario penghilangan data pencurian benda-benda bersejarah? Apakah ada target sabotase dari kelompok tertentu? Ataukah ada kepentingan bisnis dan politis di balik ini semua?
Entah. Di sisi lain munculnya berbagai dugaan-dugaan itu juga sah. Apalagi, mafhum bahwa Museum Gajah selama ini adalah locus danmagnet utama untuk menjumpai benda-benda bersejarah tinggi. Ditilik dari sejarahnya, Museum Gajah pun berulangkali menjadi sasaran kejahatan. Bahkan pada rentang 60 tahun terakhir, setidaknya ada lima kali kasus kejahatan besar di museum yang berlokasi di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusatini. Terakhir persis 10 tahun lalu, yakni pada 11 September 2013.
Empat artefak berbahan emas yang tersimpan di lemari kaca Ruang Kasana lantai dua disikat maling. Artefak ini begitu berharga karena merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno sekitar abad ke-10 dan ditemukan Belanda pada abad ke-18 silam. Kecurigaan kejahatan ini melibatkan orang dalam menguat karena saat kejadian CCTV menjadi tak berfungsi, alarm juga tak berbunyi dan tak ada petugas di lokasi. Ganjil bukan? Tapi itulah faktanya.
Pada 1996, lukisan-lukisan hasil karya besar pelukis kenamaan sepertiRaden Saleh, Basoeki Abdullah, dan Affandi juga dicuri. Beberapa tahun kemudian, barang curian itu sudah berada di Singapura, tepatnya di Balai Lelang Christy. Pencurian keramik yang ditaksir senilai Rp1,5 miliar juga pernah terjadi. Bahkan pada 1979, segerombol koleksi uang logam juga disikat para pencuri. Sedang pada 1961, perampokan dilakukan oleh Kusni Kasdut cs. Dengan mengelabuhi petugas lewat seragam polisi palsunya, Kusni membawa lari 11 permata di museum ini.
Dari beberapa kasus di atas, banyak aksi pencurian tak berhasil diungkap. Sulitnya polisi mengungkap kasus ini menggambarkan adanya kejahatan yang dipersiapkan dengan sangat rapi. Dan, biasanya model kejahatan seperti ini diduga melibatkan orang kuat ataupun orang dalam sendiri.
Maka, segala kemungkinan di balik kebakaran ini sangat bisa terjadi. Namun sekali lagi, saat ini tim tengah berupaya mengungkap penyebab pasti insiden ini. Banyak pihak berharap, kendati kesadaran dan minat publik Indonesia terhadap museum masih rendah, jangan sampai penyelidikan atas kasus ini mudah goyah dan melempem di tengah jalan.
Kerja investigasi ini tentu tak enteng. Namun adanya harapan besar publik atas transparansi kasus ini selayaknya menjadi pelecut tim untuk bekerja ekstra keras agar mendapatkan hasil investigasi yang tuntas.
Terbakarnya Museum Gajah juga sepatutnya tak sekadar menghadirkan rasa keprihatinan semata. Lebih dari itu, kasus ini selayaknya menjadi momentum dan leverage pengelolaan museum di Indonesia yang tertata lebih baik.
Museum Gajah adalah barometer pengelolaan permuseuman Indonesia. Maka keterbukaan dalam mengungkap kabar terbakarnya tempat bersejarah ini sejatinya menjadi ujian besar bangsa ini. Semua elemen harus satu gelombang. Apa sebab? Karena keberpihakan yang besar terhadap museum hakikatnya menjadi penanda kuat bahwa bangsa ini menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban. (*)
baca juga: Penyebab Kebakaran Museum Nasional Belum Diketahui
Empat hari berselang, misteri penyebab kebakaran ini masih juga belum terkuak. Dari penjelasan pihak yang berwenang antara lain Kepala Suku Dinas Penanggulangan dan Penyelamatan Jakarta Pusat Asril Rizal maupun Plt Kepala Museum dan Cagar Budaya Ahmad Mahendra, korsleting listrik dari bedeng tukang di Gedung C MNI diduga kuat menjadi penyebabnya.
Benarkah demikian? Wallahu a'lam bissawab. Yang pasti, tim investigasi masih bekerja. Selain olah tempat kejadian perkara, polisi juga sudah memeriksa belasan saksi. Hasil akhirnya tentu tengah ditunggu publik secepatnya. Namun, menjadikan korsleting listrik sebagaidugaan penyebab kebakaran adalah simpulan awal yang terlalu dini. Kalau dugaan ini pun terbukti, justru menyisakan pertanyaan lebih mendalam.
Apa sebab? Publik akan mempertanyakan memang sedemikian cerobohkah standar keamanan jaringan listrik di tempat vital ini? Hancur dan rusaknya koleksi yang tersimpan di MNI akibat kebakaran ini tentu tak pernah akan tergantikan nilainya. MNI adalah museum tertua di Indonesia dan sudah berkelas internasional. Mulai 24 April 1778, museum ini dioperasikan.
Artinya, koleksi di dalamnya selain sangatlah melimpah juga mengandung nilai kesejarahan yang panjang sekaligus tak terbilang. Dengan kesadaran itu, tentu pengawasan ketat terhadap segala potensi yang mengancam MNI, termasuk kebakaran sudah semestinya akan dicegah sedini mungkin.
Kalaupun korsleting ini benar, juga menjadi potret buram manajemen permuseuman di Indonesia. Bagaimana tidak? Jika sekelas MNI saja pengelolaannya masih bolong di sana sini, bisa dibayangkan dengan pengelolaan museum-museum lain, utamanya di daerah, baik milik pemerintah, TNI/Polri, kampus, perusahaan dan individu. Merujuk data Asosiasi Museum Indonesia (AMI) pada 2016, terdata ada 428 museum di seluruh Indonesia.
Indikasi rapuhnya manajemen keamanan dan perlindungan museum dan bangunan sejarah lainnya di Indonesia ini antara lain dikuatkan dengan sederet kasus kebakaran pada satu dekade terakhir. Di antaranya yang paling menyita perhatian adalah terbakarnya Museum Bahari di Penjaringan, Jakarta Utara, pada 16 Januari 2018. Dalam kebakaran parah ini, banyak koleksi bersejarah akhirnya hilang seperti kapal tradisional periode 1940-1980, model mercusuar, hingga alat bantu pelayaran kuno. Bahkan tak sedikit koleksi perang Laut Jawa yang merupakan sumbangan dari Pemerintah Inggris, Amerika Serikat, Belanda dan Australia juga ludes.
Museum Ranggawarsita Kota Semarang juga nyaris terbakar akibat korsleting listrik beberapa tahun lalu. Beruntung munculnya api akibat adanya kabel yang terkelupas di atas plafon gedung museum itu segera terdeteksi. Pegawai pun bereaksi cepat dengan memutus arus listrik sehingga kebakaran berhasil dicegah.
baca juga: Polisi Dalami Dugaan Pidana Kebakaran Museum Nasional
Selain museum, cagar budaya dan situs-situs bersejarah juga seringkali menjadi korban kebakaran. Antara lain Istana Bala Putih, Sumbawa (2017), bangunan bersejarah di Bandung (2017), bangunan bersejarah/Polres Selayar (2015), Kelenteng Liong Jok Bio Magelang (2015), Rumah Betang, Kalimantan Barat (2014) dan Gedung Balai Pemuda Surabaya (2011).
Banyaknya insiden kebakaran yang melanda museum, cagar budaya dan tempat bersejarah ini tentu memprihatinkan. Pun dengan kasus di MNI, seharusnya bisa dicegah jika ada standar pengamanan yang benar-benar dijalankan dengan ketat.
Manajemen permuseuman yang sadar akan potensi kebakaran memang belum menjadi perhatian utama di Indonesia. Berpijak dari penelitian Melati dkk (2020), umumnya para pegawai museum sudah memiliki pengetahuan dasar bahwa potensi kebakaran di dalam museum akan selalu datang baik lantaran korsleting listrik ataupun banyaknya benda yang mudah tersulut api.
Namun pegawai tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk melakukan pemadaman seperti keahlian menggunakan alat pemadam api ringan (APAR). Yang terjadi kemudian, pegawai lebih mementingkan untuk cepat-cepat mencari tempat berlindung diri ketimbang melakukan pemadaman.
Bahkan pada kasus Museum Ranggawarsita pun, dari observasi lapangan yang dilakukan Melati dan sejumlah rekannya dari Universitas Diponegoro, hanya mendapati fasilitas APAR dan sarana evakuasi semata. Sedang sistem sprinkler otomatis,hidran dansistem deteksi dini serta alarm kebakaran maupun sistem komunikasi tak tersedia. Sebagai sebuah standar pencegahan kebakaran, sejumlah fasilitas itu tentu tak boleh diabaikan.
baca juga: Kebakaran Museum Nasional, Ketua AMI Minta Pemerintah Lindungi 500 Museum di Indonesia
Relasi yang erat di antara fasilitas-fasilitas itu juga selaras dengan Loss Causation Model yang dikenalkan oleh Bird dan Germain (1985). Lima poin dalam bingkai Teori Domino Heinrich,yakni lack of control, basic cause, immediate cause, incident dan loss adalah hal yang sangat berkelindan dalam relasi antara manajemen dengan sebuah kecelakaan.
Lantas bagaimana dengan Museum Gajah? Jika ketersediaan fasilitas di Museum Gajah tak jauh beda dengan yang lain, tentu sangat mungkin berkorelasi dengan fakta di lapangan. Kebakaran yang terjadi Sabtu malam pukul 19.45 WIB itu begitu dahsyat. Api cepat membesardan menghanguskan enamdari 15 ruangan di Gedung A. Padahal seperti dikatakan Asril Rizal dan Ahmad Mahendra di atas, lokasi korsleting bukanlah di Gedung A, tapi dari bedeng tempat pekerjamerenovasi museumyang lokasinya dekat di Gedung C.
Terang sekali, sejatinya ada jarak yang tak dekat, ada jeda waktu api untuk merembet yang tak singkat. Ada pula sejumlah fasilitas pemadaman yang logikanya sudah tersedia lengkap. Namun kenapa seolah terlambat melakukan pemadaman padahal masih banyak pekerja yang malam itu terjaga. Kenapa api tak cepat terdeteksi? Ini jelas menyisakan banyak pertanyaan mendalam yang perlu dijawab oleh tim investigasi secara cepat sekaligus transparan.
Ruang-ruang keheranan publik ini kian menganga manakala ada indikasi lain soal pemicu kebakaran di MNI. Tentu pada aspek ini, bukan korsleting listrik yang jadi 'kambing hitam'. Jika melihat fakta lemahnyastandar pengamanan dan penyelamatan, adadugaan unsur kesengajaan pada kasus ini.
Polisi pun tidak menutup mata akan potensi dan sinyalemen ini. Bahkan seperti yang dikatakan oleh Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Komarudin, Minggu (17/9/2023), pihaknya akan menelusuri kemungkinan unsur pidana dalam kasus ini. Komitmen polisi untuk menginvestigasi secara komperhensif ini harus didukung. Artinya, polisi sudah bertekad tidak hanya fokus berbasis fakta di lapangan semata, tapi berupaya menarik lebih jauh kemungkinan aktor-aktor di balik terjadinya insiden ini.
baca juga: Kebakaran Museum Nasional, Kemendikbudristek: Koleksi Repatriasi dari Belanda Dipastikan Aman
Lantas jika memang unsur kesengajaan itu benar ada, yang menjadi pertanyaan, kenapa ada pihak yang begitu tega membakar kekayaan bangsa dengan nilai tak terhingga ini? Apakah ada skenario penghilangan data pencurian benda-benda bersejarah? Apakah ada target sabotase dari kelompok tertentu? Ataukah ada kepentingan bisnis dan politis di balik ini semua?
Entah. Di sisi lain munculnya berbagai dugaan-dugaan itu juga sah. Apalagi, mafhum bahwa Museum Gajah selama ini adalah locus danmagnet utama untuk menjumpai benda-benda bersejarah tinggi. Ditilik dari sejarahnya, Museum Gajah pun berulangkali menjadi sasaran kejahatan. Bahkan pada rentang 60 tahun terakhir, setidaknya ada lima kali kasus kejahatan besar di museum yang berlokasi di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusatini. Terakhir persis 10 tahun lalu, yakni pada 11 September 2013.
Empat artefak berbahan emas yang tersimpan di lemari kaca Ruang Kasana lantai dua disikat maling. Artefak ini begitu berharga karena merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno sekitar abad ke-10 dan ditemukan Belanda pada abad ke-18 silam. Kecurigaan kejahatan ini melibatkan orang dalam menguat karena saat kejadian CCTV menjadi tak berfungsi, alarm juga tak berbunyi dan tak ada petugas di lokasi. Ganjil bukan? Tapi itulah faktanya.
Pada 1996, lukisan-lukisan hasil karya besar pelukis kenamaan sepertiRaden Saleh, Basoeki Abdullah, dan Affandi juga dicuri. Beberapa tahun kemudian, barang curian itu sudah berada di Singapura, tepatnya di Balai Lelang Christy. Pencurian keramik yang ditaksir senilai Rp1,5 miliar juga pernah terjadi. Bahkan pada 1979, segerombol koleksi uang logam juga disikat para pencuri. Sedang pada 1961, perampokan dilakukan oleh Kusni Kasdut cs. Dengan mengelabuhi petugas lewat seragam polisi palsunya, Kusni membawa lari 11 permata di museum ini.
Dari beberapa kasus di atas, banyak aksi pencurian tak berhasil diungkap. Sulitnya polisi mengungkap kasus ini menggambarkan adanya kejahatan yang dipersiapkan dengan sangat rapi. Dan, biasanya model kejahatan seperti ini diduga melibatkan orang kuat ataupun orang dalam sendiri.
Maka, segala kemungkinan di balik kebakaran ini sangat bisa terjadi. Namun sekali lagi, saat ini tim tengah berupaya mengungkap penyebab pasti insiden ini. Banyak pihak berharap, kendati kesadaran dan minat publik Indonesia terhadap museum masih rendah, jangan sampai penyelidikan atas kasus ini mudah goyah dan melempem di tengah jalan.
Kerja investigasi ini tentu tak enteng. Namun adanya harapan besar publik atas transparansi kasus ini selayaknya menjadi pelecut tim untuk bekerja ekstra keras agar mendapatkan hasil investigasi yang tuntas.
Terbakarnya Museum Gajah juga sepatutnya tak sekadar menghadirkan rasa keprihatinan semata. Lebih dari itu, kasus ini selayaknya menjadi momentum dan leverage pengelolaan museum di Indonesia yang tertata lebih baik.
Museum Gajah adalah barometer pengelolaan permuseuman Indonesia. Maka keterbukaan dalam mengungkap kabar terbakarnya tempat bersejarah ini sejatinya menjadi ujian besar bangsa ini. Semua elemen harus satu gelombang. Apa sebab? Karena keberpihakan yang besar terhadap museum hakikatnya menjadi penanda kuat bahwa bangsa ini menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban. (*)
(hdr)