Habib Ja'far Ungkap Cara Nabi Muhammad Ciptakan Persatuan dan Perdamaian
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat Indonesia didorong melek politik menjelang Pemilu 2024 . Jangan ketidaktahuan terhadap politik dan demokrasi, malah dimanfaatkan untuk memecah belah bangsa.
Dai muda, Habib Husein Ja'far Al Hadar mengungkapkan pentingnya melek politik dan berkontribusi pada Pemilu 2024. Menurutnya, tujuan utama politik adalah membangun bangsa. Karena itu masyarakat harus mengetahui profil para kandidat serta menjaga stabilitas nasional, kerukunan umat beragama dan persatuan bangsa dalam merayakan pesta demokrasi.
"Pembangunan bangsa itu basic utamanya adalah persatuan. Nah, politik identitas itu artinya politik yang menggunakan identitas untuk perpecahan. Sehingga sudah seharusnya itu ditolak karena bertentangan dengan prinsip dasar dalam politik, yaitu membangun bangsa dengan persatuan," kata Habib Ja'far di Jakarta, Senin (11/9/2023).
Habib Ja'far mencontohkan salah satu praktik politik Nabi Muhammad SAW yang patut dicontoh adalah Piagam Madinah. Menurutnya, Piagam Madinah adalah salah satu piagam paling demokratis dan tetap relevan hingga saat ini yang pernah ada dalam sejarah umat manusia.
Ketika menjadi pemimpin di Madinah, Nabi melihat siapa pun yang ada di Madinah dalam perspektif sebagai warga, bukan identias agama dan kesukuan. Siapa saja, dari suku manapun dan agama apa pun dilindungi, selama mereka mau hidup damai, saling menghormati, dan toleran satu sama lain.
"Nabi saat itu juga menjadi pemimpin Madinah bukan karena beliau sebagai seorang Nabi dari kalangan umat Islam tapi seorang yang dipercaya oleh siapa saja yang ada di Madinah saat itu lantaran alamin, terpercaya sebagai seorang pemimpin," tutur Habib Ja’far.
Dai kelahiran Bondowoso, 21 Juni 1988 ini menyerukan agar masyarakat memilih bukan karena sosok, identitas (suku, agama, ras, budaya) melainkan karena value yang diperjuangkan dari para kandidat.
"Keberpihakan kita kepada nilai bukan kepada sosok. Maka tidak ada istilah kalah, karena begitu dia menang walaupun dia bukan sosok yang kita jagokan, tapi yang kita jagokan adalah nilai, sehingga kita akan terus kawal dia memperjuangkan nilai yang positif," ujarnya.
Habib yang dikenal dengan program podcast Log In ini berpendapat, pemilih akan selalu berada di pihak yang menang berada di politik kebangsaan. Makanya yang terpenting adalah terus meriset dan mendorong kepada para calon berbicara tentang hal yang baik dan ditanya tentang visi-misinya.
"Saya pilih dia karena ganteng, oh saya pilih dia karena sukunya ini, oh saya pilih dia karena pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya identitas. Enggak, tapi lebih kepada nilainya saya pilih dia karena dia memilih untuk berpihak kepada Indonesia, memilih untuk berpihak kepada persatuan," kata Habib Ja’far.
Dalam memilih, lulusan Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menganjurkan membaca basmallah bagi muslim dan bacaan lain yang sesuai dengan tuntunan agamanya. Harapannya mereka yang terpilih nanti akan terus berada dalam amatan dan bimbingan Tuhan.
"Kita serahkan pada akhirnya kepada Tuhan karena kita tidak tahu apakah dia benar-benar sesuai dengan yang kita nilai. Makanya ada aspek-aspek spiritual bukan hanya intelektual apalagi sekedar elektoral dalam pemilihan setiap kita ketika memilih di bilik suara," katanya.
Dai muda, Habib Husein Ja'far Al Hadar mengungkapkan pentingnya melek politik dan berkontribusi pada Pemilu 2024. Menurutnya, tujuan utama politik adalah membangun bangsa. Karena itu masyarakat harus mengetahui profil para kandidat serta menjaga stabilitas nasional, kerukunan umat beragama dan persatuan bangsa dalam merayakan pesta demokrasi.
"Pembangunan bangsa itu basic utamanya adalah persatuan. Nah, politik identitas itu artinya politik yang menggunakan identitas untuk perpecahan. Sehingga sudah seharusnya itu ditolak karena bertentangan dengan prinsip dasar dalam politik, yaitu membangun bangsa dengan persatuan," kata Habib Ja'far di Jakarta, Senin (11/9/2023).
Habib Ja'far mencontohkan salah satu praktik politik Nabi Muhammad SAW yang patut dicontoh adalah Piagam Madinah. Menurutnya, Piagam Madinah adalah salah satu piagam paling demokratis dan tetap relevan hingga saat ini yang pernah ada dalam sejarah umat manusia.
Ketika menjadi pemimpin di Madinah, Nabi melihat siapa pun yang ada di Madinah dalam perspektif sebagai warga, bukan identias agama dan kesukuan. Siapa saja, dari suku manapun dan agama apa pun dilindungi, selama mereka mau hidup damai, saling menghormati, dan toleran satu sama lain.
"Nabi saat itu juga menjadi pemimpin Madinah bukan karena beliau sebagai seorang Nabi dari kalangan umat Islam tapi seorang yang dipercaya oleh siapa saja yang ada di Madinah saat itu lantaran alamin, terpercaya sebagai seorang pemimpin," tutur Habib Ja’far.
Dai kelahiran Bondowoso, 21 Juni 1988 ini menyerukan agar masyarakat memilih bukan karena sosok, identitas (suku, agama, ras, budaya) melainkan karena value yang diperjuangkan dari para kandidat.
"Keberpihakan kita kepada nilai bukan kepada sosok. Maka tidak ada istilah kalah, karena begitu dia menang walaupun dia bukan sosok yang kita jagokan, tapi yang kita jagokan adalah nilai, sehingga kita akan terus kawal dia memperjuangkan nilai yang positif," ujarnya.
Habib yang dikenal dengan program podcast Log In ini berpendapat, pemilih akan selalu berada di pihak yang menang berada di politik kebangsaan. Makanya yang terpenting adalah terus meriset dan mendorong kepada para calon berbicara tentang hal yang baik dan ditanya tentang visi-misinya.
"Saya pilih dia karena ganteng, oh saya pilih dia karena sukunya ini, oh saya pilih dia karena pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya identitas. Enggak, tapi lebih kepada nilainya saya pilih dia karena dia memilih untuk berpihak kepada Indonesia, memilih untuk berpihak kepada persatuan," kata Habib Ja’far.
Dalam memilih, lulusan Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menganjurkan membaca basmallah bagi muslim dan bacaan lain yang sesuai dengan tuntunan agamanya. Harapannya mereka yang terpilih nanti akan terus berada dalam amatan dan bimbingan Tuhan.
"Kita serahkan pada akhirnya kepada Tuhan karena kita tidak tahu apakah dia benar-benar sesuai dengan yang kita nilai. Makanya ada aspek-aspek spiritual bukan hanya intelektual apalagi sekedar elektoral dalam pemilihan setiap kita ketika memilih di bilik suara," katanya.
(abd)