Keajaiban Doa Ibu Antarkan Penjual Es Lilin Menjadi Jenderal TNI yang Disegani
loading...
A
A
A
JAKARTA - Doa tulus seorang ibu untuk anaknya agar menjadi jenderal akhirnya terwujud. Siapa sangka sekelumit doa yang selalu dipanjatkan mengantarkan sang anak menjadi seorang Perwira Tinggi (Pati) TNI AD Jenderal Bintang Tiga yang dihormati dan disegani.
Sang anak itu adalah Letjen TNI Djaja Suparman putera dari pasangan Momo bin H. Usman dan Hj Aminah. Mantan Panglima Kostrad ini mengenang perjalanan hidup dan kesuksesan karier militernya berkat doa kedua orang tuanya khususnya ibunda tercinta.
Lahir di Sukabumi, Jawa Barat pada 11 Desember 1949, Djaja Suparman saat kecil diberi nama Tatang. Namun orang tuanya saat menimang selalu menyebut “anak raja” dengan harapan puteranya tersebut menjadi orang besar. Panggilan itulah yang lambat laun membuatnya dipanggil Djaja.
Selain itu, impiannya menjadi pembela wong cilik dan kesukaannya terhadap tokoh Superman yang digambarkan sebagai sosok pembela rakyat, penegak keadilan, dan selalu berjuang untuk bangsa dan negaranya membuat Tatang mengganti namanya. Setelah lulus SMA namanya kemudian diubah menjadi Djaja Suparman.
Dibesarkan dari keluarga sederhana, di mana ayahnya bekerja sebagai polisi dengan pangkat Ajun Inspektur Polisi atau setingkat Kopral, Djaja Suparman mendapatkan pendidikan yang cukup keras dan disiplin yang tinggi. Hampir setiap minggu, Djaja menyusuri rel kereta api sejauh 8,6 kilometer bersama ayahnya untuk berkebun. Kebiasaan inilah yang kemudian membentuk karakter dan menjadikan Djaja sosok pemimpin yang bertanggung jawab.
Tak heran jika diusia muda, Djaja sudah bisa memimpin di kelompoknya. Bahkan, untuk urusan menjaga keluarga, Djadja berdiri paling depan. Meski masih belia, Djaja merasa paling bertanggung jawab terhadap keempat adiknya. Djaja bahkan tidak sungkan untuk mencuci baju, setrika, hingga mengajari adik-adiknya, selain membantu ibunya membersihkan rumah dan pekarangan.
Kendati bukan tukang berkelahi, namun Djaja Suparman tidak gentar untuk adu jotos. Djaja Suparman bahkan pernah melawan lima orang. Akibatnya, kepalanya harus dijahit dan hingga kini bekas jahitan itu masih ada.
Kondisi negara yang sulit di sepanjang tahun 1960 hingga 1968 membuat ayahnya jarang bertemu. Bahkan, mereka terkadang sampai tiga bulan baru bertemu. Praktis, ibunya menjadi kepala rumah tangga yang merawat dan membesarkan anak-anaknya. Di masa inilah, Djaja Suparman tampil sebagai anak lelaki yang mampu meringankan beban orang tuanya.
Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, Djaja Suparman berjualan es lilin keliling. Namun usahanya berjualan es lilin akhirnya tidak bisa disembunyikan. Suatu saat Djaja Suparman didamprat ayahnya karena ada yang menyampaikan kekaguman bahwa sebagai anak, Djaja Suparman sudah bisa membantu orang tuanya.
Ketika hal itu ditanyakan langsung, Djaja Suparman tak bisa mengelak. Keruan saja bapaknya gusar setelah tahu yang dilakukan anak kesayangannya. Ternyata dia berjualan es lilin dan jual beli beras stock milik keluarganya. Saat ditanya, Djaja Suparman memberikan jawaban yang menyentuh hati.
"Mencoba belajar mencari uang halal karena banyak anak-anak sebayanya, sudah bisa menghasilkan uang dengan keringat sendiri dan dapat meringankan beban orang tua. Soal beras, daripada bau apek lantaran bagian bawah tidak tersentuh dan jumlahnya banyak, ya dijual dengan harga murah untuk membantu tetangga yang kesulitan membeli beras karena di samping sulit didapat juga mahal,” kenang Djaja Suparman dikutip dari buku biografinya berjudul “Jejak Kudeta (1997-2005): Catatan Harian Letnan Jenderal (Purn) Djaja Suparman dikutip SINDOnews, Minggu (3/9/2023).
Mendengar jawaban anaknya tersebut, ayahnya kemudian termenung dan berpikiri bagaimana anaknya yang masih berusia muda, sudah berpikir seperti itu. Rela membanting tulang demi menambah kesejahteraan keluarganya. Melihat pengorbanan puteranya, ayahnya tidak jadi memarahinya.
Lulus Tes Akmil dan Menjadi Jenderal TNI
Setelah ujian negara SMA, diam-diam Djaja Suparman bersama kedua sahabatnya Hasan dan Enjang Subadri, mendaftarkan diri sebagai calon Taruna AKABRI di Kodim Sukabumi. Bermodalkan semangat dan doa Sang Ibu, tes demi tes dari tingkat daerah sampai pusat dijalani dengan baik dan berhasil. Djadja Suparman dan Enja Subadri lulus dan diterima menjadi taruna AKABRI Darat sekarang bernama Akademi Militer (Akmil).
Didikan dan tempaan ayahnya yang selalu mengajaknya berkebun dengan berjalan kaki menyusuri rel kereta api Sukabumi ke Desa Cilangla setiap minggu pulang pergi tak sia-sia. Terbukti, Djaja Suparman tidak kesulitan mengikuti tes karena memiliki fisik yang prima, kesehatan yang baik, dan daya tahan yang tinggi.
Usaha dan kerja keras Djaja Suparman dan iringan doa Sang Ibu yang tiada henti-hentinya. Setiap saat sang bunda selalu berdoa agar anaknya menjadi seorang jenderal. "Ya Allah yang Maha Kuasa, jadikanlah satu anak kami menjadi jenderal," ucapnya.
Keinginan dan harapan Hj. Aminah agar anaknya menjadi seorang jenderal sangat wajar. Maklum, hampir setiap hari Hj. Aminah selalu melihat kegagahan para taruna yang sedang berlatih dan mengikuti pendidikan. Doa tulus Sang Ibunda akhirnya dikabulkan Sang Pencipta dan mengantarkan Djaja Suparman diterima masuk AKABRI Darat.
Meski lulus, Djaja Suparman cemas sebab dia harus meminta tandatangan ayahnya sebagai syarat mengikuti pendidikan. Namun, di luar dugaan tanpa banyak tanya, ayahnya langsung membubuhkan tanda tangannya. Sebagai orang tua, ayahnya sangat bangga anaknya diterima menjadi salah satu calon pemimpin di kawah Candradimuka bernama Akabri. Dengan mata berkaca-kaca, ayahnya memeluk Djaja Suparman dan berbisik agar menjadi tentara profesional dan menjadi jenderal.
Pada 1969, Djaja Suparman mulai mengikuti pendidikan sebagai Taruna Akademi Angkatan Bersenjata bagian Darat di Magelang. Selama empat tahun mengikuti pendidikan, Djaja Suparman berhasil menorehkan prestasi gemilang karena selalu bisa tampil dan terpilih sebagai pemimpin.
Lulus dari pendidikan AKABRI Darat pada 1972, Djaja Suparman melanjutkan ke pendidikan Kursus Dasar Kecabangan Infanteri di Bandung, Jawa Barat. Selanjutnya, Djaja Suparman ditugaskan menjadi Danton I Kompi A Yonif 521 di Kediri, Jawa Timur.
Selain itu, Djaja Suparman terpilih menjadi guru militer dan pelatih pada Sekolah Dasar Kecabangan Infanteri di Pusat Infanteri Bandung sejak 1974 hingga 1981. Pada 1978, Djaja Suparman mendapat kehormatan untuk mengikuti operasi di Timor Timur (Timtim) sekarang Timor Leste.
Pada 1980, Djaja Suparman mengikuti pendidikan kursus lanjutan Perwira Infanteri selama tujuh bulan. Djaja Suparman terpilih sebagai lulusan terbaik Suslapa Angkatan ke-23. Setelah lulus Suslapa, karier militernya terus meningkat. Djaja Suparman diangkat menjadi Kasiops Batalyon Infanteri Lintas Udara 330 Brigade Linud 17 Kostrad di Dayeuh Kolot, Bandung.
Kariernya Djaja Suparman semakin cemerlang, Djaja Suparman akhirnya pecah bintang saat menjadi Kasdam II/Sriwijaya. Bintang emas di pundaknya kembali bertambah ketika dia dipercaya menduduki jabatan sebagai Pangdam V/Brawijaya. Keberhasilannya menjaga stabilitas keamanan di Jawa Timur saat gelombang Reformasi terjadi membuatnya ditarik ke Jakarta.
Djaja Suparman kemudian diangkat menjadi Pangdam Jaya. Bertugas menjaga keamanan Ibu Kota, Djaja Suparman menghadapi situasi keamanan dan politik yang sangat sulit. Demo besar-besaran kerap mewarnai Jakarta. Selama 19 bulan menjadi Pangdam Jaya, Djaja Suparman akhirnya diangkat menjadi Pangkostrad.
Baru tiga bulan menjabat sebagai Pangkostrad, Djaja Suparman dimutasi menjadi Dansesko TNI menggantikan Letjen TNI Endiartono Sutarto. Setelah menjabat sebagai Dansesko TNI selama tiga tahun sejak 2000-2003, Djaja Suparman dimutasi menjadi Irjen TNI hingga 2006 sebelum akhirnya memasuki masa purna tugas.
Sang anak itu adalah Letjen TNI Djaja Suparman putera dari pasangan Momo bin H. Usman dan Hj Aminah. Mantan Panglima Kostrad ini mengenang perjalanan hidup dan kesuksesan karier militernya berkat doa kedua orang tuanya khususnya ibunda tercinta.
Lahir di Sukabumi, Jawa Barat pada 11 Desember 1949, Djaja Suparman saat kecil diberi nama Tatang. Namun orang tuanya saat menimang selalu menyebut “anak raja” dengan harapan puteranya tersebut menjadi orang besar. Panggilan itulah yang lambat laun membuatnya dipanggil Djaja.
Selain itu, impiannya menjadi pembela wong cilik dan kesukaannya terhadap tokoh Superman yang digambarkan sebagai sosok pembela rakyat, penegak keadilan, dan selalu berjuang untuk bangsa dan negaranya membuat Tatang mengganti namanya. Setelah lulus SMA namanya kemudian diubah menjadi Djaja Suparman.
Dibesarkan dari keluarga sederhana, di mana ayahnya bekerja sebagai polisi dengan pangkat Ajun Inspektur Polisi atau setingkat Kopral, Djaja Suparman mendapatkan pendidikan yang cukup keras dan disiplin yang tinggi. Hampir setiap minggu, Djaja menyusuri rel kereta api sejauh 8,6 kilometer bersama ayahnya untuk berkebun. Kebiasaan inilah yang kemudian membentuk karakter dan menjadikan Djaja sosok pemimpin yang bertanggung jawab.
Tak heran jika diusia muda, Djaja sudah bisa memimpin di kelompoknya. Bahkan, untuk urusan menjaga keluarga, Djadja berdiri paling depan. Meski masih belia, Djaja merasa paling bertanggung jawab terhadap keempat adiknya. Djaja bahkan tidak sungkan untuk mencuci baju, setrika, hingga mengajari adik-adiknya, selain membantu ibunya membersihkan rumah dan pekarangan.
Kendati bukan tukang berkelahi, namun Djaja Suparman tidak gentar untuk adu jotos. Djaja Suparman bahkan pernah melawan lima orang. Akibatnya, kepalanya harus dijahit dan hingga kini bekas jahitan itu masih ada.
Baca Juga
Kondisi negara yang sulit di sepanjang tahun 1960 hingga 1968 membuat ayahnya jarang bertemu. Bahkan, mereka terkadang sampai tiga bulan baru bertemu. Praktis, ibunya menjadi kepala rumah tangga yang merawat dan membesarkan anak-anaknya. Di masa inilah, Djaja Suparman tampil sebagai anak lelaki yang mampu meringankan beban orang tuanya.
Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, Djaja Suparman berjualan es lilin keliling. Namun usahanya berjualan es lilin akhirnya tidak bisa disembunyikan. Suatu saat Djaja Suparman didamprat ayahnya karena ada yang menyampaikan kekaguman bahwa sebagai anak, Djaja Suparman sudah bisa membantu orang tuanya.
Ketika hal itu ditanyakan langsung, Djaja Suparman tak bisa mengelak. Keruan saja bapaknya gusar setelah tahu yang dilakukan anak kesayangannya. Ternyata dia berjualan es lilin dan jual beli beras stock milik keluarganya. Saat ditanya, Djaja Suparman memberikan jawaban yang menyentuh hati.
"Mencoba belajar mencari uang halal karena banyak anak-anak sebayanya, sudah bisa menghasilkan uang dengan keringat sendiri dan dapat meringankan beban orang tua. Soal beras, daripada bau apek lantaran bagian bawah tidak tersentuh dan jumlahnya banyak, ya dijual dengan harga murah untuk membantu tetangga yang kesulitan membeli beras karena di samping sulit didapat juga mahal,” kenang Djaja Suparman dikutip dari buku biografinya berjudul “Jejak Kudeta (1997-2005): Catatan Harian Letnan Jenderal (Purn) Djaja Suparman dikutip SINDOnews, Minggu (3/9/2023).
Mendengar jawaban anaknya tersebut, ayahnya kemudian termenung dan berpikiri bagaimana anaknya yang masih berusia muda, sudah berpikir seperti itu. Rela membanting tulang demi menambah kesejahteraan keluarganya. Melihat pengorbanan puteranya, ayahnya tidak jadi memarahinya.
Lulus Tes Akmil dan Menjadi Jenderal TNI
Setelah ujian negara SMA, diam-diam Djaja Suparman bersama kedua sahabatnya Hasan dan Enjang Subadri, mendaftarkan diri sebagai calon Taruna AKABRI di Kodim Sukabumi. Bermodalkan semangat dan doa Sang Ibu, tes demi tes dari tingkat daerah sampai pusat dijalani dengan baik dan berhasil. Djadja Suparman dan Enja Subadri lulus dan diterima menjadi taruna AKABRI Darat sekarang bernama Akademi Militer (Akmil).
Didikan dan tempaan ayahnya yang selalu mengajaknya berkebun dengan berjalan kaki menyusuri rel kereta api Sukabumi ke Desa Cilangla setiap minggu pulang pergi tak sia-sia. Terbukti, Djaja Suparman tidak kesulitan mengikuti tes karena memiliki fisik yang prima, kesehatan yang baik, dan daya tahan yang tinggi.
Usaha dan kerja keras Djaja Suparman dan iringan doa Sang Ibu yang tiada henti-hentinya. Setiap saat sang bunda selalu berdoa agar anaknya menjadi seorang jenderal. "Ya Allah yang Maha Kuasa, jadikanlah satu anak kami menjadi jenderal," ucapnya.
Keinginan dan harapan Hj. Aminah agar anaknya menjadi seorang jenderal sangat wajar. Maklum, hampir setiap hari Hj. Aminah selalu melihat kegagahan para taruna yang sedang berlatih dan mengikuti pendidikan. Doa tulus Sang Ibunda akhirnya dikabulkan Sang Pencipta dan mengantarkan Djaja Suparman diterima masuk AKABRI Darat.
Meski lulus, Djaja Suparman cemas sebab dia harus meminta tandatangan ayahnya sebagai syarat mengikuti pendidikan. Namun, di luar dugaan tanpa banyak tanya, ayahnya langsung membubuhkan tanda tangannya. Sebagai orang tua, ayahnya sangat bangga anaknya diterima menjadi salah satu calon pemimpin di kawah Candradimuka bernama Akabri. Dengan mata berkaca-kaca, ayahnya memeluk Djaja Suparman dan berbisik agar menjadi tentara profesional dan menjadi jenderal.
Pada 1969, Djaja Suparman mulai mengikuti pendidikan sebagai Taruna Akademi Angkatan Bersenjata bagian Darat di Magelang. Selama empat tahun mengikuti pendidikan, Djaja Suparman berhasil menorehkan prestasi gemilang karena selalu bisa tampil dan terpilih sebagai pemimpin.
Lulus dari pendidikan AKABRI Darat pada 1972, Djaja Suparman melanjutkan ke pendidikan Kursus Dasar Kecabangan Infanteri di Bandung, Jawa Barat. Selanjutnya, Djaja Suparman ditugaskan menjadi Danton I Kompi A Yonif 521 di Kediri, Jawa Timur.
Selain itu, Djaja Suparman terpilih menjadi guru militer dan pelatih pada Sekolah Dasar Kecabangan Infanteri di Pusat Infanteri Bandung sejak 1974 hingga 1981. Pada 1978, Djaja Suparman mendapat kehormatan untuk mengikuti operasi di Timor Timur (Timtim) sekarang Timor Leste.
Pada 1980, Djaja Suparman mengikuti pendidikan kursus lanjutan Perwira Infanteri selama tujuh bulan. Djaja Suparman terpilih sebagai lulusan terbaik Suslapa Angkatan ke-23. Setelah lulus Suslapa, karier militernya terus meningkat. Djaja Suparman diangkat menjadi Kasiops Batalyon Infanteri Lintas Udara 330 Brigade Linud 17 Kostrad di Dayeuh Kolot, Bandung.
Kariernya Djaja Suparman semakin cemerlang, Djaja Suparman akhirnya pecah bintang saat menjadi Kasdam II/Sriwijaya. Bintang emas di pundaknya kembali bertambah ketika dia dipercaya menduduki jabatan sebagai Pangdam V/Brawijaya. Keberhasilannya menjaga stabilitas keamanan di Jawa Timur saat gelombang Reformasi terjadi membuatnya ditarik ke Jakarta.
Djaja Suparman kemudian diangkat menjadi Pangdam Jaya. Bertugas menjaga keamanan Ibu Kota, Djaja Suparman menghadapi situasi keamanan dan politik yang sangat sulit. Demo besar-besaran kerap mewarnai Jakarta. Selama 19 bulan menjadi Pangdam Jaya, Djaja Suparman akhirnya diangkat menjadi Pangkostrad.
Baru tiga bulan menjabat sebagai Pangkostrad, Djaja Suparman dimutasi menjadi Dansesko TNI menggantikan Letjen TNI Endiartono Sutarto. Setelah menjabat sebagai Dansesko TNI selama tiga tahun sejak 2000-2003, Djaja Suparman dimutasi menjadi Irjen TNI hingga 2006 sebelum akhirnya memasuki masa purna tugas.
(cip)