Menag Yaqut: Budaya Toleransi Kunci Utama Mengelola Perbedaan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Agama ( Menag ) Yaqut Cholil Qoumas menekankan pentingnya penguatan budaya toleransi (culture of tolerance) dalam menghadapi dinamika globalisasi. Konflik dan perang masih terjadi di berbagai tempat yang berdampak pada migrasi besar-besaran manusia. Bencana dan perubahan iklim juga mengantarkan perjumpaan antarmanusia secara baru dan terus-menerus.
Menurut Menag, setiap masyarakat, bangsa, dan etnis saat ini dipaksa secara permanen berhadapan dengan mereka yang lain (the other), dan mereka yang berbeda (difference). "Tanpa culture of tolerance, gejolak dan perubahan ini akan dengan mudah terpeleset menjadi tragedi kemanusiaan baru," kata Menag Yaqut saat memberikan sambutan pada pembukaan Jakarta Plurilateral Dialogue (JPD) 2023 di Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Kegiatan hasil kerja sama Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), dan Kementerian Agama (Kemenag) ini mengangkat 'Strengthening the Culture of Tolerance by Mainstreaming the UN Resolution 16/18'. Hadir dalam acara ini para tokoh agama, aktivis HAM, perwakilan Kedubes 64 negara, FKUB 34 provinsi, para penyuluh agama, dan para akademisi dari berbagai negara.
"Budaya toleransi merupakan kunci utama dalam mengelola keragaman dan perbedaan," kata Menag.
Bagi Indonesia, kata Menag, memperkuat budaya toleransi dan mempertahankan masyarakat majemuk yang terbuka, satu garis lurus dengan keperluan dan agenda melestarikan demokrasi dan menjamin hak-hak asasi manusia. Pengalaman Indonesia dalam merawat toleransi, erat kaitannya dengan budaya demokrasi yang dianut oleh masyarakat Indonesia.
Menag menganggap Indonesia merupakan salah satu negara dengan eksperimen toleransi terpanjang dan paling intens. Tradisi dan kepercayaan Indonesia mendorong warga negara untuk memahami, mengilustrasikan, dan menerjemahkan perbedaan menjadi fakta yang dapat dimengerti dan diadaptasikan dalam pergaulan sesama warga.
"Kami, Indonesia, menyadari betul bahwa tak ada hidup bersama yang tidak plural, tidak ada sejarah yang tidak ditandai dengan kemajemukan. Pluralitas adalah ciri kodrati tata realitas, baik natural maupun kultural. Karena itu penolakan terhadap pluralitas sesungguhnya adalah penyangkalan terhadap realitas," katanya.
Gus Yaqut, sapaan akrab Menag, menyambut baik setiap inisiatif untuk terus menguatkan budaya toleransi. Mainstreaming UN Human Rights Council Resolution 16/18 harus didukung.
"Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia siap berbagi praktik baik dalam penguatan budaya toleransi yang banyak berkembang di masyarakat," katanya.
Lihat Juga: 6 Budaya Indonesia yang Pernah Diklaim Malaysia, dari Batik, Rendang hingga Reog Ponorogo
Menurut Menag, setiap masyarakat, bangsa, dan etnis saat ini dipaksa secara permanen berhadapan dengan mereka yang lain (the other), dan mereka yang berbeda (difference). "Tanpa culture of tolerance, gejolak dan perubahan ini akan dengan mudah terpeleset menjadi tragedi kemanusiaan baru," kata Menag Yaqut saat memberikan sambutan pada pembukaan Jakarta Plurilateral Dialogue (JPD) 2023 di Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Kegiatan hasil kerja sama Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), dan Kementerian Agama (Kemenag) ini mengangkat 'Strengthening the Culture of Tolerance by Mainstreaming the UN Resolution 16/18'. Hadir dalam acara ini para tokoh agama, aktivis HAM, perwakilan Kedubes 64 negara, FKUB 34 provinsi, para penyuluh agama, dan para akademisi dari berbagai negara.
"Budaya toleransi merupakan kunci utama dalam mengelola keragaman dan perbedaan," kata Menag.
Bagi Indonesia, kata Menag, memperkuat budaya toleransi dan mempertahankan masyarakat majemuk yang terbuka, satu garis lurus dengan keperluan dan agenda melestarikan demokrasi dan menjamin hak-hak asasi manusia. Pengalaman Indonesia dalam merawat toleransi, erat kaitannya dengan budaya demokrasi yang dianut oleh masyarakat Indonesia.
Menag menganggap Indonesia merupakan salah satu negara dengan eksperimen toleransi terpanjang dan paling intens. Tradisi dan kepercayaan Indonesia mendorong warga negara untuk memahami, mengilustrasikan, dan menerjemahkan perbedaan menjadi fakta yang dapat dimengerti dan diadaptasikan dalam pergaulan sesama warga.
"Kami, Indonesia, menyadari betul bahwa tak ada hidup bersama yang tidak plural, tidak ada sejarah yang tidak ditandai dengan kemajemukan. Pluralitas adalah ciri kodrati tata realitas, baik natural maupun kultural. Karena itu penolakan terhadap pluralitas sesungguhnya adalah penyangkalan terhadap realitas," katanya.
Gus Yaqut, sapaan akrab Menag, menyambut baik setiap inisiatif untuk terus menguatkan budaya toleransi. Mainstreaming UN Human Rights Council Resolution 16/18 harus didukung.
"Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia siap berbagi praktik baik dalam penguatan budaya toleransi yang banyak berkembang di masyarakat," katanya.
Lihat Juga: 6 Budaya Indonesia yang Pernah Diklaim Malaysia, dari Batik, Rendang hingga Reog Ponorogo
(abd)