Jelang Pemilu 2024, Gobel Ingatkan Waspadai Uang Palsu
loading...
A
A
A
GORONTALO - Wakil Ketua DPR Bidang Korinbang Rachmat Gobel mengingatkan kemungkinan beredarnya uang palsu menjelang Pemilu 2024.
“Masyarakat agar hati-hati terhadap kemungkinan beredarnya uang palsu menjelang pemilu,” ujarnya saat menutup Orientasi Calon Anggota Legislatif se-Provinsi Gorontalo, Sabtu (12/8/2023).
Menurut dia, uang palsu masih merupakan ancaman bagi masyarakat Indonesia. “Nanti rakyat kecil yang dirugikan akibat perederan uang palsu ini,” kata Gobel.
Dia mengingatkan itu karena kondisi ekonomi dunia termasuk ekonomi Indonesia sedang menurun. Dalam situasi ini selalu ada pihak-pihak yang mencari peluang mencari keuntungan buat diri sendiri dengan merugikan orang lain, salah satunya menyebarkan uang palsu.
Di masa menjelang pemilu bisa saja ada pihak-pihak yang mengail di air keruh. Pertama, ada pihak-pihak yang mencoba menciptakan keresahan dan instabilitas nasional dengan mengganggu ketenangan proses pemilu. Kedua, ada pihak-pihak yang memperdaya atau bisa juga menjadi bagian dari peredaran uang palsu di kalangan pelaku politik.
“Semua kemungkinan bisa terjadi. Karena itu tingkat kewaspadaan masyarakat harus ditingkatkan. Cek dengan hati-hati jika menerima uang atau saat bertransaksi jual-beli,” ucapnya.
Praktik money politics dalam pemilu juga masih banyak terjadi dalam politik Indonesia. “Terutama melalui serangan fajar di hari H pencoblosan. Di saat seperti itu, peluang beredarnya uang palsu makin terbuka. Para pelakunya bisa jadi tak menyadari bahwa itu uang palsu. Dia kena tipu juga. Karena di momen pemilu kebutuhan uang tunai sangat tinggi. Ada kebutuhan untuk biaya operasional dan lain-lain. Nah, dalam situasi itu bagi orang yang punya niat jahat dijadikan peluang mencari keuntungan finansial maupun mengganggu stabilitas nasional,” ujar Gobel.
Di Gorontalo, fenomena money politics disebut sebagai politik mea-mea atau biu-biu, yang merupakan sebutan untuk pecahan seratus ribu rupiah dan pecahan lima puluh ribu rupiah yang berwarna merah dan berwarna biru.
Gobel mengingatkan masyarakat untuk selalu melakukan tiga langkah untuk mengecek keaslian uang yakni dilihat, diraba, dan diterawang.
“Ini sesuai anjuran Bank Indonesia. Lakukan prosedur tiga langkah pencegahan menjadi korban uang palsu. Bagi pedagang akan lebih baik lagi jika memiliki alat ultraviolet untuk mengecek keaslian uang,” katanya.
Gobel menegaskan tak akan melakukan politik mea-mea. Ada lima alasan. Pertama, tidak mau merendahkan harkat dan martabat manusia. Karena manusia sudah dimuliakan oleh Tuhan YME. Bagi umat Islam, saat lahir diazankan di telinga kanan dan diqomatkan di telinga kiri. Bagi orang Kristen mereka sudah disucikan dengan cara dibaptis atau semacamnya.
Kedua, sebagai orang Islam dirinya diajarkan berlaku tangan di atas (memberi) adalah lebih baik daripada tangan di bawah (menerima). Politik mea-mea berarti mengajarkan masyarakat untuk mempraktikkan tangan di bawah.
Ketiga, politik mea-mea berarti merampas atau membeli hak politik warga. Oknum pelaku merasa sudah membeli hak politik warga dan warga merasa sudah menjual hak politiknya. Dengan demikian, selama lima tahun oknum pelaku merasa tak perlu mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan masyarakat dalam menunaikan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Inilah yang merusak kehidupan politik bangsa dan negara. Padahal jika dibagi dalam lima tahun maka nilai politik uang itu tak ada artinya.
“Umumnya seratus ribu atau katakan lima ratus ribu rupiah bagi per hari dalam lima tahun. Buat beli seliter beras pun tak cukup. Pemilu bukan praktik jual-beli tapi merupakan praktik perjanjian pertanggungjawaban,” katanya.
Keempat, kedua orang tuanya tidak mengajarkan praktik semacam itu. Kelima, money politics adalah salah satu bentuk pelanggaran dalam pemilu.
“Mari kita jaga pemilu dengan politik bermartabat. Kita harus meninggikan nilai-nilai luhur bangsa untuk menjadi bangsa yang beradab. Kita bangun peradaban Indonesia dengan sebaik-baiknya,” ujar Gobel.
“Masyarakat agar hati-hati terhadap kemungkinan beredarnya uang palsu menjelang pemilu,” ujarnya saat menutup Orientasi Calon Anggota Legislatif se-Provinsi Gorontalo, Sabtu (12/8/2023).
Menurut dia, uang palsu masih merupakan ancaman bagi masyarakat Indonesia. “Nanti rakyat kecil yang dirugikan akibat perederan uang palsu ini,” kata Gobel.
Dia mengingatkan itu karena kondisi ekonomi dunia termasuk ekonomi Indonesia sedang menurun. Dalam situasi ini selalu ada pihak-pihak yang mencari peluang mencari keuntungan buat diri sendiri dengan merugikan orang lain, salah satunya menyebarkan uang palsu.
Di masa menjelang pemilu bisa saja ada pihak-pihak yang mengail di air keruh. Pertama, ada pihak-pihak yang mencoba menciptakan keresahan dan instabilitas nasional dengan mengganggu ketenangan proses pemilu. Kedua, ada pihak-pihak yang memperdaya atau bisa juga menjadi bagian dari peredaran uang palsu di kalangan pelaku politik.
“Semua kemungkinan bisa terjadi. Karena itu tingkat kewaspadaan masyarakat harus ditingkatkan. Cek dengan hati-hati jika menerima uang atau saat bertransaksi jual-beli,” ucapnya.
Praktik money politics dalam pemilu juga masih banyak terjadi dalam politik Indonesia. “Terutama melalui serangan fajar di hari H pencoblosan. Di saat seperti itu, peluang beredarnya uang palsu makin terbuka. Para pelakunya bisa jadi tak menyadari bahwa itu uang palsu. Dia kena tipu juga. Karena di momen pemilu kebutuhan uang tunai sangat tinggi. Ada kebutuhan untuk biaya operasional dan lain-lain. Nah, dalam situasi itu bagi orang yang punya niat jahat dijadikan peluang mencari keuntungan finansial maupun mengganggu stabilitas nasional,” ujar Gobel.
Di Gorontalo, fenomena money politics disebut sebagai politik mea-mea atau biu-biu, yang merupakan sebutan untuk pecahan seratus ribu rupiah dan pecahan lima puluh ribu rupiah yang berwarna merah dan berwarna biru.
Gobel mengingatkan masyarakat untuk selalu melakukan tiga langkah untuk mengecek keaslian uang yakni dilihat, diraba, dan diterawang.
“Ini sesuai anjuran Bank Indonesia. Lakukan prosedur tiga langkah pencegahan menjadi korban uang palsu. Bagi pedagang akan lebih baik lagi jika memiliki alat ultraviolet untuk mengecek keaslian uang,” katanya.
Gobel menegaskan tak akan melakukan politik mea-mea. Ada lima alasan. Pertama, tidak mau merendahkan harkat dan martabat manusia. Karena manusia sudah dimuliakan oleh Tuhan YME. Bagi umat Islam, saat lahir diazankan di telinga kanan dan diqomatkan di telinga kiri. Bagi orang Kristen mereka sudah disucikan dengan cara dibaptis atau semacamnya.
Kedua, sebagai orang Islam dirinya diajarkan berlaku tangan di atas (memberi) adalah lebih baik daripada tangan di bawah (menerima). Politik mea-mea berarti mengajarkan masyarakat untuk mempraktikkan tangan di bawah.
Ketiga, politik mea-mea berarti merampas atau membeli hak politik warga. Oknum pelaku merasa sudah membeli hak politik warga dan warga merasa sudah menjual hak politiknya. Dengan demikian, selama lima tahun oknum pelaku merasa tak perlu mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan masyarakat dalam menunaikan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Inilah yang merusak kehidupan politik bangsa dan negara. Padahal jika dibagi dalam lima tahun maka nilai politik uang itu tak ada artinya.
“Umumnya seratus ribu atau katakan lima ratus ribu rupiah bagi per hari dalam lima tahun. Buat beli seliter beras pun tak cukup. Pemilu bukan praktik jual-beli tapi merupakan praktik perjanjian pertanggungjawaban,” katanya.
Keempat, kedua orang tuanya tidak mengajarkan praktik semacam itu. Kelima, money politics adalah salah satu bentuk pelanggaran dalam pemilu.
“Mari kita jaga pemilu dengan politik bermartabat. Kita harus meninggikan nilai-nilai luhur bangsa untuk menjadi bangsa yang beradab. Kita bangun peradaban Indonesia dengan sebaik-baiknya,” ujar Gobel.
(jon)