Optimisme di Tengah Tantangan Transisi Energi

Kamis, 10 Agustus 2023 - 05:17 WIB
loading...
Optimisme di Tengah...
Ilustrasi: Masyudi/SINDOnews
A A A
SEKTOR energi global sedang mengalami transformasi di bawah pengaruh terobosan teknologi di beberapa sektor produksi dan konsumsi, serta perubahan sosial ekonomi yang mendalam dalam pendekatan penggunaan energi. Proses ini kemudian dikenal sebagai transisi energi.

baca juga: Dorong Kepemimpinan Transisi Energi ASEAN dengan Energi Surya

Diskursus transisi energi semakin mencuat tatkala perjanjian Paris diteken pada 2016 silam. Konsensus seluruh negara di dunia itu, merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim.

Banyak pihak yang menilai, transisi energi akan menghadirkan paradigma baru, bahkan produk baru dalam rangka menjaga kelestarian bumi. Penggunaan energi fosil diyakini akan terus berkurang, mengingat seluruh negara di dunia sudah berkomitmen untuk mendorong penggunaan energi terbarukan.

Namun demikian, prediksi itu agaknya masih belum bisa terwujud dalam kurun satu dekade mendatang. Sumber daya minyak dan gas bumi (migas) dipastikan tetap menjadi elemen penting dalam memenuhi kebutuhan energi di era transisi energi.

Berdasarkan data statistik produksi minyak bumi dunia terus meningkat dari sebesar 88,6 juta barel per hari (bph) pada 2012 menjadi 93,8 juta bph pada 2022. Sementara produksi gas juga meningkat sekitar 20% dalam 10 tahun terakhir dengan rata-rata konsumsi gas meningkat 1,7% per tahun.

baca juga: Peduli Lingkungan, Setiap Pekerja Hulu Migas Tanam Dua Pohon

Fakta inilah yang membuat industri migas di dalam negeri optimistis, bahwa bisnis migas nasional masih menjanjikan. Seolah ingin menunjukkan optimismenya, perusahaan migas nasional menghelat Indonesian Petroleum Association (IPA) kembali menggelar Konvensi dan Pameran IPA ke-47 tahun 2023 (47th IPA Convex 2023).

Menggunakan jargon Enabling Oil & Gas Investment and Energy Transition for Energy Security kalangan industri migas ingin menunjukkan peran penting sektor migas dalam memenuhi kebutuhan energi yang terjangkau, terutama untuk sektor transportasi dan industri seiring dengan pertumbuhan ekonomi terutama negara berkembang, termasuk Indonesia

Kebutuhan energi yang meningkat tentunya perlu diiringi dengan tuntutan perbaikan kualitas lingkungan salah satunya dengan menekan emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan operasi produksi migas. Ketahanan energi tidak hanya tentang kepastian pasokan serta keterjangkauannya namun juga harus lebih aman dan berkelanjutan serta rendah emisi karbon.

Para pelaku sektor hulu migas sepakat bahwa transisi energi merupakan keniscayaan dan tidak bisa dihindari. Namun dalam konteks kebutuhan energi yang masih tinggi dan cenderung meningkat karena pertumbuhan ekonomi, diyakini bahwa energi yang bersumber dari migas masih diperlukan sambil pemerintah mengembangkan energi baru dan terbarukan di Indonesia pada jumlah yang dibutuhkan. Hal itulah yang menjadi komitmen industri migas nasional seperti diutarakan Vice President IPA, Ronald Gunawan.

baca juga: Turunkan Emisi Karbon, SKK Migas dan Mitra Tanam 10.000 Mangrove di Teluk Jakarta

Energi fosil masih akan memegang peranan penting untuk memenuhi kebutuhan dan mendukung ketahanan energi nasional. Beragam cara perlu dilakukan agar proses transisi energi berjalan beriringan dengan penggunaan energi fosil dan tak saling mematikan.

Sejatinya, banyak cara untuk memastikan industri hulu migas tetap tumbuh untuk memenuhi kebutuhan sekaligus turut berperan dalam upaya penurunan emisi karbon. Efisiensi penggunaan energi untuk menekan emisi gas rumah kaca dalam kegiatan operasional adalah cara paling mudah yang bisa ditempuh para pelaku usaha.

Pengembangan hidrogen juga harus terus didorong. Teknologi hidrogen akan menjawab tantangan industri masa depan yang rendah emisi karbon. Hal ini ditopang oleh kemampuan industri migas yang memiliki pengalaman dan kemampuan mumpuni untuk mengembangkan dan memproduksi hidrogen.

Saat ini, tercatat ada 15 proyek Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utility Storage (CCUS) yang sedang dikerjakan di Indonesia. Di antaranya CCS Gundih Enhanced Gas Recovery (EGR) di Jawa Tengah dan Sukowati di Jawa Timur. Proyek yang segera diimplementasikan ada di CCUS Tangguh yang ditargetkan menekan emisi karbon sebesar 25 juta ton CO2 serta mampu meningkatkan produksi gas hingga 300 BSCF pada tahun 2035.

baca juga: Green Refinery, Komitmen Kilang Pertamina Capai Target Net Zero Emission

Indonesia, sejatinya merupakan negara yang cukup cepat bergerak dalam implementasi CCS/CCUS. Dengan adanya payung hukum Peraturan Menteri ESDM no 2/2023 tentang pengaturan CCS/CCUS di industri hulu migas. Kedepan, beberapa hal yang perlu disiapkan adalah kebijakan fiskal, tax credit serta kebijakan harga karbon serta kesiapan storage carbon.

Namun demikian, seperti yang disampaikan President IPA Yuzaini Md Yusof, meskipun proyek CCS/CCUS sudah mulai berkembang, masih banyak proyek yang berisiko tinggi dan membutuhkan dukungan regulasi lebih lanjut. Dengan keberhasilan proyek CCS/CCUS utamanya masih bergantung pada dukungan regulasi dan daya tarik secara komersial, tentu masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan.

Transisi energi untuk memanfaatkan Energi Baru Terbarukan (EBT) tidak serta merta akan menghilangkan penggunaan migas. Karenanya, industri migas di Tanah Air masih terlihat sangat agresif. Hal itu dibuktikan dari data statistik, di mana ada peningkatan realisasi investasi hulu migas yang berhasil dicapai pada semester I 2023 menjadi tanda bahwa gairah investasi di Indonesia sudah menuju ke arah yang lebih baik.

Pada semester I 2023, realisasi investasi hulu migas mencapai USD5,7 miliar, lebih baik dari tahun lalu year on year (yoy). Investasi ini penting bagi Indonesia untuk menjawab kebutuhan energi yang meningkat. Tren peningkatan investasi ini tentunya harus terus dijaga untuk mengejar target produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari dan gas 12 ribu MMscfd seperti yang ditargetkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo .

baca juga: Dukung Pencapaian Net Zero Emission, Pertamina Kontribusi Aktif Pengelolaan Perhutanan Sosial

Memang, dunia sedang berpacu memperbesar porsi EBT dalam bauran energinya. Pun demikian dengan Indonesia, yang memiliki komitmen Net Zero Emission 2060 atau lebih cepat. Perubahan ini tidak akan berjalan singkat, perlu ada transisi, bukan tiba-tiba ke EBT. Sehingga, peran industri hulu migas tetap penting dalam memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, sambil hulu migas terus mengurangi emisi karbon seperti dikatakan pada aturan CCS/CCUS.

Pemerintah harus mengejar agar ada pilot project CCS/CCUS bisa terealisasi. CCS/CCUS ini juga menjadi salah satu isi dari White Paper yang diluncurkan oleh IPA. Secara garis besar, White Paper ini berisi rekomendasi serta usulan IPA dalam meningkatkan gairah investasi demi mengejar target produksi migas di tengah era transisi energi. Selain itu upaya meningkatkan produksi migas juga harus dilakukan seiring dengan keberlanjutan lingkungan.

Rekomendasi IPA ini disusun dengan bekerja sama dengan WoodMeckenzie yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Para pelaku usaha sekarang dihadapkan pada target peningkatan produksi dan di sisi lain industri migas juga harus mengurangi emisi.

baca juga: Transisi Energi, PHE Didorong Tingkatkan Produksi Gas

Untuk bisa mengejarnya pelaku usaha membutuhkan fleksibilitas. Penerapan CCS/CCUS memiliki keuntungan lebih bagi penurunan emisi karbon dan peningkatan produksi. CCS/CCUS akan menghadirkan peluang bisnis dan dengan bisnis baru ada multiplier effect.

Isu penting dalam White Paper termasuk mengenai implementasi CCS dan CCUS menjadi salah satu poin pembahasan yang menjadi fokus tahun ini. Ini bisa menjadi peluang peningkatan investasi, dan pengembangan CCS/CCUS diharapkan mendapatkan momentum melalui IPA Convex ini. Setidaknya, hal itu yang menjadi harapan Chairman Committee IPA Convex 2023 Krishna Ismaputra.

Implementasi CCS/CCUS sangat penting bagi kelangsungan industri hulu migas untuk bisa memproteksi kepentingan negara dalam memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat di masa depan. Tidak ada opsi lain, karena pemerintah juga harus menjaga investasi. Polemik mana yang harus menjadii prioritas, apakah meningkatkan produksi ekonomi kemudian melindungi lingkungan? Tentunya, keduanya harus berjalan beriringan.

Sebagai negara yang berkembang dengan pesat dan memiliki kekayan sumber daya alam berlimpah, Indonesia tentunya bisa menjadi salah satu pemain utama dalam proses transisi energi. Komitmen industri migas di dalam negeri, bisa dikolaborasikan dengan investor-investor baru dari dalam maupun luar negeri agar ongkos energi yang kelak akan dinikmati rakyat bisa semakin murah. Pada akhirnya, masyarakat pun akan berbondong-bondong untuk beralih menggunakan energi yang lebih bersih.
(hdr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1100 seconds (0.1#10.140)