Tiga Hal Ini Dinilai Efektif Cegah Radikalisme
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di tengah membeludaknya arus informasi, kemampuan berpikir kritis dan logis mutlak dimiliki untuk mencerna dan menyimpulkan konten yang bertebaran, khususnya di dunia maya. Dengan mengedepankan nalar, isu-isu yang bisa memicu polarisasi bisa dihadapi dengan santai dan menciptakan iklim kondusif saat berselancar di internet.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho menjelaskan, saat ini media sosial dianggap menjadi saluran utama informasi bagi masyarakat. Perubahan perilaku masyarakat yang semakin sering mengonsumsi informasi melalui media sosial membawa fenomena unintended consequences atau akibat yang sebelumnya tidak diperkirakan.
"Logikanya, seharusnya kalau orang mengakses media sosial, akses informasi menjadi tidak terbatas. Dan pada akhirnya bisa memiliki wawasan yang luas dan mampu melihat dari berbagai perspektif. Tetapi faktanya tidak demikian, justru yang terjadi malah sebaliknya," kata Septiaji di Jakarta, Kamis (3/8/2023).
Ketika suatu konten berisi muatan yang eksploitatif, dan berasal dari kalangan yang punya latar belakang radikalisme, maka bisa dianggap mereka sedang menebar perangkap pemikiran agar siapapun yang membaca bisa terhasut.
"Di situlah terjadi radikalisasi terhadap masyarakat, yang semangatnya sedang tinggi tetapi karena tidak punya latar belakang agama yang kuat, sehingga kemudian rentan termakan dengan narasi atau kemasan kaum radikal di media sosial. Pengusung radikalisme sangat pandai membentuk citra perjuangannya, baik dari sisi visual maupun diksi," kata Septiaji.
Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Technische Universitaet Muenchen ini menambahkan, ketika orang sudah merasa nyaman dan menganggap seolah telah menemukan jalannya, maka dia kemudian menutup diri dari informasi-informasi yang lain. Di situlah proses radikalisasi terjadi.
Kemungkinan besar dia akan percaya dengan apapun yang disajikan di kelompok itu. Orang yang terpapar akan cenderung menolak berita dari kelompok lain. Itulah yang disebut dengan echo chamber effect.
Sebagai solusinya, Septiaji percaya segala masalah terkait dengan polarisasi yang menimbulkan sudut pandang ekstrem bisa dicegah selama punya semangat untuk menyikapi berbagai persoalan itu dengan tiga hal.
Pertama adalah pintar. Pintar itu artinya dia punya kemampuan untuk menyeleksi informasi mana yang fakta atau fiktif, mana yang serius atau tidak, mana informasi yang bersumber otoritatif dan kredibel atau tidak.
Kedua guyub. Kalau bisa guyub dengan orang lain, maka akan sering berinteraksi dengan berbagai kalangan. Meski punya keyakinan yang sangat kuat, tetapi juga terlatih untuk menghargai perbedaan terhadap orang lain.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho menjelaskan, saat ini media sosial dianggap menjadi saluran utama informasi bagi masyarakat. Perubahan perilaku masyarakat yang semakin sering mengonsumsi informasi melalui media sosial membawa fenomena unintended consequences atau akibat yang sebelumnya tidak diperkirakan.
"Logikanya, seharusnya kalau orang mengakses media sosial, akses informasi menjadi tidak terbatas. Dan pada akhirnya bisa memiliki wawasan yang luas dan mampu melihat dari berbagai perspektif. Tetapi faktanya tidak demikian, justru yang terjadi malah sebaliknya," kata Septiaji di Jakarta, Kamis (3/8/2023).
Ketika suatu konten berisi muatan yang eksploitatif, dan berasal dari kalangan yang punya latar belakang radikalisme, maka bisa dianggap mereka sedang menebar perangkap pemikiran agar siapapun yang membaca bisa terhasut.
"Di situlah terjadi radikalisasi terhadap masyarakat, yang semangatnya sedang tinggi tetapi karena tidak punya latar belakang agama yang kuat, sehingga kemudian rentan termakan dengan narasi atau kemasan kaum radikal di media sosial. Pengusung radikalisme sangat pandai membentuk citra perjuangannya, baik dari sisi visual maupun diksi," kata Septiaji.
Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Technische Universitaet Muenchen ini menambahkan, ketika orang sudah merasa nyaman dan menganggap seolah telah menemukan jalannya, maka dia kemudian menutup diri dari informasi-informasi yang lain. Di situlah proses radikalisasi terjadi.
Kemungkinan besar dia akan percaya dengan apapun yang disajikan di kelompok itu. Orang yang terpapar akan cenderung menolak berita dari kelompok lain. Itulah yang disebut dengan echo chamber effect.
Sebagai solusinya, Septiaji percaya segala masalah terkait dengan polarisasi yang menimbulkan sudut pandang ekstrem bisa dicegah selama punya semangat untuk menyikapi berbagai persoalan itu dengan tiga hal.
Pertama adalah pintar. Pintar itu artinya dia punya kemampuan untuk menyeleksi informasi mana yang fakta atau fiktif, mana yang serius atau tidak, mana informasi yang bersumber otoritatif dan kredibel atau tidak.
Kedua guyub. Kalau bisa guyub dengan orang lain, maka akan sering berinteraksi dengan berbagai kalangan. Meski punya keyakinan yang sangat kuat, tetapi juga terlatih untuk menghargai perbedaan terhadap orang lain.