Romo Magnis: Pancasila Tak Sekadar Dilafalkan tapi Harus Diperjuangkan

Senin, 31 Juli 2023 - 07:08 WIB
loading...
Romo Magnis: Pancasila...
Guru Besar STF Driyarkara Prof Franz Magnis Suseno (Romo Magnis). Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Guru Besar STF Driyarkara Prof Franz Magnis Suseno menilai Indonesia kerap mengalami krisis toleransi dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, menurutnya, hidup dan beraktivitas dalam lingkungan majemuk dengan sejuta keberagaman bukan hal baru di Tanah Air.

Tokoh agama yang populer disapa Romo Magnis ini mengatakan, tantangan hari ini dan masa depan Indonesia adalah radikalisme dan polarisasi yang masif di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, kata Romo Magnis, pancasila sebagai nilai, cita-cita, dan etika harus menjadi pedoman dalam berbagai aktivitas kita.

Menurutnya, Pancasila adalah hal yang pertama kali yang dituntut masyarakat kepada negara. "Karena Pancasila tidak sekadar dilafalkan tetapi harus diperjuangkan," kata Romo Magnis saat menjadi pemateri Pendidikan Kader Kebangsaan Angkatan 1 di Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta, Minggu (30/7/2023).

Di sisi lain, agar masyarakat yakin bahwa Indonesia bukan milik mereka di atas, negara harus menunjukkan bahwa segenap manusia dari Sabang sampai Merauke dapat hidup secara terhormat, sejahtera, adil, bebas dari kemiskinan dan kelaparan.

Tidak terjadi penggusuran-penggusuran kecuali ada kompensasi penuh, memberi harapan masa depan lebih baik kepada rakyat kecil serta keputusan-keputusan pengadilan dapat dirasakan sebagai adil.

"Pancasila mengajarkan kita untuk hormat terhadap kebebasan beragama dengan harapan kita harus menolak ideologi-ideologi yang menyangkal nilai bangsa, harus kebal terhadap hasutan-hasutan populistik," kata Romo Magnis.

Selain Romo Magnis, Pendidikan Kader Kebangsaan yang digelar oleh Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (PP ISKA) juga menghadirkan pemateri lain yakni Presidium Dialog Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan PP ISKA MM Restu Hapsari; Dosen STF Driyarkara A Setyo Wibowo; dan Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi Moh Aan Anshori. Kegiatan perdana bertema Merdeka dalam Keberagaman ini dihadiri 50 peserta.

Ketua Presidium PP ISKA, Luky A Yusgiantoro menjelaskan, agenda tersebut dilaksanakan guna merawat dan menjaga nilai-nilai keberagaman agama dan kepercayaan, suku, ras, adat istiadat dan golongan.

"Kami berharap agar para peserta mampu berjejaring lintas agama dan kepercayaan tanpa membedakan suku, ras, adat istiadat dan golongan dari komunitas terdekat masing-masing peserta seperti sekolah, universitas, RT, RW, dan sekitarnya," katanya.

Dalam pandangannya, Restu Hapsari mengatakan, sebagai warga negara yang baik, semua pihak harus mematuhi UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam berbangsa dan bernegara.

"Konstitusi bukan hanya dilihat dari sisi yuridisnya saja melainkan perlu dilihat dalam arti politis dan sosiologis sehingga dapat mencapai keadilan, ketertiban, serta kesejahteraan masyarakat umum," katanya.

Adapun Moh Aan Anshori menyampaikan keberagaman adalah kekayaan dan keindahan bangsa Indonesia yang menjadi kekuatan untuk bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional menuju Indonesia yang lebih baik lagi.

"Saya berberharap banyak generasi muda Katolik meyakini dirinya telah ditakdirkan untuk menjaga kebhinekaan Indonesia. Slogan 100 persen Katolik 100 persen Indonesia menegaskan tersebut. Itu berarti, mereka memiliki tugas untuk ikut serta memastikan generasi muda agama lain memiliki visi dan misi serupa," imbuhnya.

Untuk bisa melaksanakannya, kaya Anshori, kader-kader Katolik perlu dibekali setidaknya lima hal. Pertama, tahan banting dalam konfidensi atas kekatolikan dan keindonesiaan. Kedua, pemahaman mendalam (kritis-empatif) atas keberadaan kelompok di luar Katolik, khususnya saudara-saudaranya yang beragama Islam.

Ketiga, strategi berelasi dan membangun jaringan lebih besar untuk tujuan mengkampanyekan toleransi dan keadilan. Keempat, kemampuan dasar menulis untuk mengartikulasikan gagasan dan pengalamannya ke publik. Kelima, turun ke grassroot.

"Untuk memperkuat keberagaman kita harus saling menjaga dalam bingkai kebhinekaan," imbuhnya.

Sementara Romo Setyo Wibowo mengungkapkan, orang Katolik memiliki sejarah khusus dalam penyatuan dirinya dengan negara Indonesia. Meski dicap sebagai agama asing, pelan namun pasti, umat Katolik mengintegrasikan dirinya secara penuh ke Republik Indonesia.

Satu tokoh kunci yang memudahkan proses itu adalah Romo van Lith SJ (yang kemudian akan sangat penting mengingat murid-muridnya adalah: IJ Kasimo dan Mgr A Soegijapranata SJ; dan secara tidak langsung, atau murid rohani saja, yaitu Driyarkara SJ). Menurut Romo Setyo Wibowo, agama bagi Mgr Soegijapranata mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan jiwa manusia, sehingga urusannya adalah soal hal-hal yang pribadi (moral kejujuran, kesetiaan, sikap adil, kasih, hormat pada sesama, setia pada atasan dan jabatan) dan bersifat kekal (soal surga).

"Sementara tugas Negara berkaitan dengan hal yang sifatnya fisik (merawat persatuan, mengerjakan tugas mensejahterakan rakyat lewat kebijakan-kebijakannya), bersifat sementara dan berubah-ubah (seperti galibnya kekuasaan politik yang berubah-ubah). Untuk itu, tugas pokok Negara adalah menciptakan suasana eksternal agar orang-orang beragama bisa menjalankan sikap religiusnya dengan baik dan tepat. Sedangkan bagaimana Agama mesti dijalankan, itu adalah tugas masing-masing agama," katanya.

Rohaniwan Katolik ini mengharapkan perlu adanya sifat toleran dan juga tenggang rasa terhadap perbedaan dalam kemajemukan di masyarakat. "Perbedaan ini menjadi keunikan kita yang perlu dipelihara, dipertahankan keseimbangannya dalan negara dan berbangsa," katanya.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1114 seconds (0.1#10.140)