Mendongkrak Daya Saing Pabrik Gula

Rabu, 29 Juli 2020 - 06:10 WIB
loading...
Mendongkrak Daya Saing...
Khudori
A A A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan (2010-sekarang)

MUSIM lelang gula telah dimulai. Ini terjadi seiring musim giling tebu yang sudah merata di sentra-sentra tanaman tebu. Dimulai akhir Mei 2020 lalu, musim giling akan berlangsung hingga November nanti. Dalam rentang waktu yang panjang itu petani masih berhadapan dengan ketidakpastian, salah satunya harga gula yang tidak menentu. Sejak giling dimulai, di lingkungan PT Perkebunan Nusantara IX lelang gula digelar dua kali. Lelang dalam rentang hanya 10 hari itu terjadi kecenderungan harga gula yang menurun.

Lelang pertama digelar 12 Juni 2020. Gula laku antara Rp10.610-10.710/kg, lebih rendah dari harga akhir Ramadan lalu, antara Rp12.500-13.000/kg. Harga lelang itu masih jauh dari biaya pokok produksi, yang menurut versi APTRI, mencapai Rp12.772/kg. Lelang kedua dilakukan pada 22 Juni 2020. Harga gula laku antara Rp9.900-10.383/kg. Lelang berikutnya dibayangi harga makin rendah. Ada peluang harga menyentuh harga acuan di tingkat produsen seperti diatur oleh Permendag Nomor 7/2020.

Petani dihadapkan pada situasi dilematis; jika gula dilepas mereka tekor, jika tak dilepas aneka kebutuhan tak terpenuhi. Harga cenderung turun karena pasar dan pipa jalur distribusi sudah terisi penuh gula impor. Panik karena pasokan gula tipis dan harga melonjak tinggi, sejak Maret lalu, pemerintah melonggarkan aturan dan mengobral impor. Karena lockdown dan karantina, kedatangan gula impor tak bisa sepenuhnya diprediksi. Tatkala gula impor datang menjelang musim giling, malapetaka tak bisa dielakkan.

Untungnya, tahun ini gula petani berjumlah 700.000-800.000 dibeli 12 importir seharga Rp11.200/kg. Difasilitasi pemerintah, importir dan petani tebu yang tergabung dalam Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyepakati harga itu pada 10 Juli 2020. Para importir ini mendapatkan penugasan dari pemerintah untuk mengimpor gula mentah dan mengolahnya menjadi gula konsumsi guna mengamankan pasokan yang tipis sejak Februari lalu. Kewajiban membeli gula petani ini merupakan kompensasi atas keuntungan dari impor yang besar. Untuk sementara waktu petani bisa bernapas lega.

Dalam situasi demikian, desakan untuk meningkatkan efisiensi pabrik gula (PG), terutama PG BUMN, jadi relevan agar bisa swasembada. Keluhan inefisiensi PG-PG BUMN sudah lama disuarakan. Mengapa ini penting? Bagi petani, efisiensi PG mutlak adanya karena relasi petani-PG diikat oleh bagi hasil giling. Menurut perhitungan (Pakpahan, 2004), komposisi biaya dalam industri gula sekitar 60-70% ada di kebun. Artinya, share petani mencapai 60-70%. Kalau PG tidak efisien dan merugi, 60-70% inefisiensi dan kerugian itu dipikul petani. Bila harga jual gula anjlok, petani pula yang paling terpukul. Untuk meningkatkan efisiensi ditawarkan opsi revitalisasi. Namun, seperti tari poco-poco, implementasi revitalisasi maju-mundur. Akibatnya, industri gula tetap dengan wajahnya dulu: tidak efisien. Pertanyaannya, mengapa PG kita tak efisien?

Harus diakui, sampai saat ini biaya produksi gula, terutama produksi PG BUMN di Jawa masih mahal. Besar biaya produksi hampir dua kali lipat dari biaya produksi PG swasta, terutama di Lampung. Pertanyaannya, mengapa PG-PG BUMN tidak kompetitif? Di negara produsen dan eksportir gula utama, seperti Brasil, Australia, dan Thailand, biaya pokok produksi gula hanya sekitar 50-80% dibandingkan dengan biaya gula kita atau setara biaya PG-PG swasta. Budidaya tebu dilakukan secara mekanisasi dan prosesnya semi otomatis di pabrik. Alokasi biaya tenaga kerja relatif kecil. Kapasitas giling PG besar: rata-rata 10.000-15.000 ton tebu per hari. PG amat efisien (Toharisman, 2014).

Selain itu, PG gula bukan hanya menghasilkan gula, tetapi produk turunan lain berbasis tebu yang bernilai ekonomi tinggi, seperti etanol, listrik, dan kertas. Tebu merupakan "tanaman emas" yang bisa menghasilkan puluhan produk turunan bernilai tinggi. Di India, kontribusi gula terhadap keuntungan perusahaan kurang dari 40%, sisanya disumbangkan dari cogen (listrik) dan etanol. Gula-cogen-etanol menjadi produk utama PG-PG di India, Australia, dan Thailand. Kebijakan gula dan produk turunannya sangat kondusif dalam mendorong pengembangan usaha. Diversifikasi produk ini juga bisa menjadi strategi keluar dari pasar gula dunia yang distortif dan harganya tidak stabil.

Di Indonesia, pokok persoalan ini ada pada banyaknya PG yang obsolete, tua, dan berkapasitas giling kecil (di bawah 3.000 ton tebu per hari). Saat ini jumlah PG 62 buah, 68% pabrik tua berumur di atas 80 tahun dan 80% terdapat di Pulau Jawa. Akibat mesin tua, kinerja PG, terutama PG BUMN, tidak maksimal. Mesin bocor, nira tebu banyak yang tidak menjadi gula. Secara teoritis kita mampu mencapai rendemen 14-15% apabila prinsip efisiensi dilakukan dengan baik, tetapi karena PG sudah tua, rendemen yang diraih hanya 6-7%, jauh di bawah pencapaian rendemen di era 1930-an (11-13%).

Selain itu, berbeda dengan PG swasta, PG-PG BUMN yang sebagian besar di Jawa tidak memiliki lahan sendiri. Pasokan tebu PG sepenuhnya tergantung dari lahan petani. Padahal kondisi petani cukup beragam kemampuan finansial maupun penguasaan teknis budidaya tebu. Manajemen di lahan yang terpisah dari manajemen giling (PG) ini membuat PG tidak mudah mengintegrasikan kegiatan, yakni tanam, tebang, angkut, dan giling. Kerumitan ini membuat PG BUMN sulit meningkatkan efisiensi, produktivitas tebu, dan rendemen gula. Kualitas gula yang dihasilkan rendah dengan ICUMSA sebesar 80-300.

Berbeda dengan di India, Australia, dan Thailand, orientasi utama PG di Indonesia hanya menghasilkan gula. Memang sudah ada upaya mengolah tetes yang dahulu dianggap limbah menjadi etanol atau ampas tebu menjadi bahan bakar, tetapi belum maksimal. Apalagi kebijakan industri berbasis tebu sering kali tidak konsisten. Misalnya, akhir 2009, pemerintah mencanangkan swasembada gula 2014. Tetapi, pemerintah masih memberikan izin pembangunan PG rafinasi berbahan baku gula impor. Pemerintah mendorong penggunaan bahan bakar alternatif, seperti bioetanol. Tetapi, bioetanol dari PT Enero, anak perusahaan PTPN X (BUMN gula), hanya terserap dalam jumlah kecil.

Dengan kondisi seperti di atas, daya saing PG-PG Indonesia relatif lemah. Dalam kondisi demikian, penetapan HET Rp12/500/kg membuat petani dan PG BUMN tertekan. Namun, semangat swasembada gula tak boleh surut. Dari sejarah kita tahu tidak ada kegiatan ekonomi di Indonesia yang lebih advanced daripada industri pergulaan. Jejak-jejaknya mudah ditemukan. Secara fisik misalnya, PG di Jawa yang kini dikelola PTPN IX-XI dan PT Rajawali Nusantara Indonesia adalah bagian sejarah itu. PG-PG ini dibangun di era kolonialisme Belanda abad ke-18. Di bidang riset, meski perannya tidak sebesar dahulu, masih ada Pusat Penelitian Perkebunan Gula di Pasuruan, Jawa Timur. Pada masa itu, dengan empat langkah penting, yakni meningkatkan kualitas produk dan produktivitas perusahaan, konsolidasi perusahaan, mendirikan lembaga riset pergulaan, dan peningkatan produktivitas kebun, industri pergulaan di Jawa berubah secara radikal; dari tidak efisien jadi terefisien di dunia hingga mengalahkan industri gula Eropa. Secara ekonomi, industri ini memberikan kemakmuran luar biasa pada Belanda. Periode 1860-1865, 56,8% pendapatan nasional Belanda ditopang dari industri gula. Pada 1930, dengan produksi 2,2 juta ton, Hindia Belanda jadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Industri gula telah menjadi "gabus tempat mengapung Holland".

Untuk meningkatkan daya saing PG harus dilakukan sejumlah langkah simultan. Pertama, PG-PG kecil bisa diamalgamasi atau dikonsolidasikan menjadi sebuah PG besar sehingga biaya produksi gula dan produk hilir lainnya bisa lebih ekonomis. Kedua, produktivitas gula ditingkatkan dengan perbaikan varietas tebu dan kultur teknis. Ketiga, kehilangan gula selama perjalanan dari kebun ke PG ditekan seminimal mungkin. Keempat, kalau memungkinkan menyatukan kembali manajemen di lahan dan giling. Kelima, orientasi produksi bukan hanya gula, tetapi diperluas ke produk turunan lainnya.
(ras)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1000 seconds (0.1#10.140)