Haedar Nashir Sebut Pemimpin Merakyat Harus Mampu Ubah Nasib Rakyat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir menyebut bangsa Indonesia mudah terkecoh. Hal ini terkait sosok yang dikategorikan sebagai pemimpin merakyat lewat retorika dan pembentukan narasi, padahal rekam jejaknya tidak memadai.
Menurutnya, ini merupakan salah satu dari contoh mindset komunalitas irasional. Corak alam pikiran yang serba goyah, mudah termakan oleh isu-isu artifisial tertentu, lalu pindah ke isu-isu lain tanpa menyelesaikan masalah dari satu isu pun.
"Di era medsos itu orang enggak berbuat apa-apa di pasar, hanya nampang saja, (kebetulan) tokoh, lalu wah (disebut) merakyat. Padahal cuma lewat. Dia enggak memberdayakan orang yang ada di pasar itu untuk berubah dari kelas UMKM menjadi kelas menengah ke atas," kata Haedar dikutip dalam laman resmi Muhammadiyah, Senin (24/7/2023).
"Cuma lewat atau mampir ke tukang pecel tanpa mengubah nasib tukang pecel itu yang dia tetap menderita di tengah glamoritas tokoh atau siapa pun dia yang memperoleh keuntungan dari (kapitalisasi) kemiskinan itu," tambahnya.
Lantas dia menyayangkan sosok pemimpin yang kelihatan merakyat namun tidak mengubah nasib rakyatnya secara signifikan atau lebih sejahtera.
"Tapi orang Indonesia kan suka yang gitu-gitu? (lalu terkesan) Wah ini tokoh yang merakyat. Padahal, tokoh yang merakyat seharusnya yang bisa mengubah nasib rakyat secara signifikan sehingga dia menjadi lebih sejahtera," ungkapnya.
Jika bangsa Indonesia bisa keluar dari mindset komunalitas irasional ini, dan didukung dengan pengembangan pusat-pusat keunggulan yang mumpuni.
Haedar percaya, daya saing bangsa Indonesia bisa naik kelas dan bangsa Indonesia mulai layak untuk mempromosikan gagasannya ke dunia luar.
"Selain mengubah pola pikir komunalitas yang irasional kepada cara berpikir yang lebih rasional, objektif, meritokrasi, berbasis sistem yang good governance dan insyaAllah Muhammadiyah siap dalam sistem yang seperti ini. Tapi kalau sistem yang gontok-gontokan, kita tidak pernah naik kelas sebagai bangsa dan sebagai umat," jelasnya.
Menurutnya, ini merupakan salah satu dari contoh mindset komunalitas irasional. Corak alam pikiran yang serba goyah, mudah termakan oleh isu-isu artifisial tertentu, lalu pindah ke isu-isu lain tanpa menyelesaikan masalah dari satu isu pun.
"Di era medsos itu orang enggak berbuat apa-apa di pasar, hanya nampang saja, (kebetulan) tokoh, lalu wah (disebut) merakyat. Padahal cuma lewat. Dia enggak memberdayakan orang yang ada di pasar itu untuk berubah dari kelas UMKM menjadi kelas menengah ke atas," kata Haedar dikutip dalam laman resmi Muhammadiyah, Senin (24/7/2023).
"Cuma lewat atau mampir ke tukang pecel tanpa mengubah nasib tukang pecel itu yang dia tetap menderita di tengah glamoritas tokoh atau siapa pun dia yang memperoleh keuntungan dari (kapitalisasi) kemiskinan itu," tambahnya.
Lantas dia menyayangkan sosok pemimpin yang kelihatan merakyat namun tidak mengubah nasib rakyatnya secara signifikan atau lebih sejahtera.
"Tapi orang Indonesia kan suka yang gitu-gitu? (lalu terkesan) Wah ini tokoh yang merakyat. Padahal, tokoh yang merakyat seharusnya yang bisa mengubah nasib rakyat secara signifikan sehingga dia menjadi lebih sejahtera," ungkapnya.
Jika bangsa Indonesia bisa keluar dari mindset komunalitas irasional ini, dan didukung dengan pengembangan pusat-pusat keunggulan yang mumpuni.
Haedar percaya, daya saing bangsa Indonesia bisa naik kelas dan bangsa Indonesia mulai layak untuk mempromosikan gagasannya ke dunia luar.
"Selain mengubah pola pikir komunalitas yang irasional kepada cara berpikir yang lebih rasional, objektif, meritokrasi, berbasis sistem yang good governance dan insyaAllah Muhammadiyah siap dalam sistem yang seperti ini. Tapi kalau sistem yang gontok-gontokan, kita tidak pernah naik kelas sebagai bangsa dan sebagai umat," jelasnya.
(maf)