Pengamat Maritim Marsellus Hakeng Raih Doktor HC dari CMR University India
loading...
A
A
A
Saat ini kedaulatan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna seringkali memunculkan masalah. Wilayah tersebut kaya sumber daya perikanan serta sumber daya alam lainnya, sehingga seringkali menjadi incaran negara lain serta tentunya kapal-kapal ikan asing untuk mengeksploitasinya. Pokok masalah terbesar di sana adalah belum disepakatinya batas wilayah laut dengan masing-masing negara tetangga yang saling melakukan klaim sepihak atas wilayah tersebut.
"Berbicara tentang ZEE, contohnya adalah perundingan mengenai batas laut dan penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Vietnam adalah topik yang menarik untuk dikaji secara ilmiah, karena perundingan tersebut telah berlangsung lama sejak 21 Mei 2010 dan sampai saat ini belum menemukan kesepakatan. Pemberian konsesi ZEE ke Vietnam yang tak kunjung menemui kesepakatan perlu mendapat pengawalan baik dari masyarakat maritim, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, maupun dari TNI AL," katanya.
Hakeng menjelaskan, Indonesia secara geografis terletak di antara simpangan dua samudera, yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta dua benua yakni Asia dan Australia. Wilayah maritim Indonesia yang luas memiliki banyak potensi sumber kekayaan alam seperti energi dan protein ikan. Namun potensi yang ada belum secara optimal dimanfaatkan, karena terbatasnya sumber daya manusia untuk menggarap sektor maritimnya. Dengan memberdayakan potensi maritim yang dimiliki ini, Indonesia dapat mewujudkan pemerataan ekonomi.
"Yang menjadi catatan saya, baru sekitar 10% saja dari potensi 1.200 triliun sumber daya maritim yang berhasil dikelola oleh bangsa Indonesia, itu pun sebagian besar sebatas dikomersialkan dalam bentuk bahan mentah saja, belum sampai ketahap pengelolaan lebih lanjut sehingga memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi," kata Hakeng.
Untuk itu, sudah saatnya bagi Indonesia fokus kembali ke maritim. Tidak berlebihan jika Indonesia memposisikan laut menjadi pusat pemecahan berbagai persoalan bangsa Indonesia seperti pengentasan kemiskinan, penurunan angka pengangguran hingga pada persoalan kelaparan.
Selanjutnya, Pendiri dan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI) ini menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Salah satu poin di PP tersebut adalah diperbolehkannya ekspor pasir laut ke Singapura.
Hakeng melihat PP itu berpotensi merugikan Indonesia baik dari sisi Ketahanan Nasional hingga sisi ekosistem laut dan masyarakat pesisir yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan. Pengerukan pasir laut yang kemudian diekspor ke Singapura menurut dugaan DR (HC) Capt Hakeng akan dipakai untuk memperluas daerah daratan Singapura.
"Hal itu tentu akan mempengaruhi batas wilayah antara Singapura dan Indonesia. Potensi terjadinya konflik pertahanan dan keamanan dapat terjadi. Konflik perbatasan tidak menutup kemungkinan terjadi dengan negara ASEAN lainnya yang bertetangga dengan Singapura," katanya.
Indonesia sebagai negara maritim, kata Hakeng, belum menyadari posisinya saat ini. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, tapi bangsa Indonesia masih fokus pada urusan sebagai negara agraris. Padahal daratan hanyalah sepertiga dari keseluruhan wilayah Indonesia. Bangsa Indonesia telah terlalu lama memunggungi lautan, sehingga sulit bagi bangsa Indonesia melakukan akselerasi menjadi bangsa besar. Jika potensi besar itu digarap dengan baik, tentu Bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang besar dengan cepat.
"Untuk mempercepat hal tersebut saya tidak dapat bekerja sendiri, tentu dibutuhkan lebih banyak lagi pemikir di bidang maritim dari bangsa Indonesia yang harus dilahirkan. Karenanya saya selalu mendorong banyak pihak di Indonesia untuk fokus akan hal ini," katanya.
"Berbicara tentang ZEE, contohnya adalah perundingan mengenai batas laut dan penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Vietnam adalah topik yang menarik untuk dikaji secara ilmiah, karena perundingan tersebut telah berlangsung lama sejak 21 Mei 2010 dan sampai saat ini belum menemukan kesepakatan. Pemberian konsesi ZEE ke Vietnam yang tak kunjung menemui kesepakatan perlu mendapat pengawalan baik dari masyarakat maritim, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, maupun dari TNI AL," katanya.
Hakeng menjelaskan, Indonesia secara geografis terletak di antara simpangan dua samudera, yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta dua benua yakni Asia dan Australia. Wilayah maritim Indonesia yang luas memiliki banyak potensi sumber kekayaan alam seperti energi dan protein ikan. Namun potensi yang ada belum secara optimal dimanfaatkan, karena terbatasnya sumber daya manusia untuk menggarap sektor maritimnya. Dengan memberdayakan potensi maritim yang dimiliki ini, Indonesia dapat mewujudkan pemerataan ekonomi.
"Yang menjadi catatan saya, baru sekitar 10% saja dari potensi 1.200 triliun sumber daya maritim yang berhasil dikelola oleh bangsa Indonesia, itu pun sebagian besar sebatas dikomersialkan dalam bentuk bahan mentah saja, belum sampai ketahap pengelolaan lebih lanjut sehingga memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi," kata Hakeng.
Untuk itu, sudah saatnya bagi Indonesia fokus kembali ke maritim. Tidak berlebihan jika Indonesia memposisikan laut menjadi pusat pemecahan berbagai persoalan bangsa Indonesia seperti pengentasan kemiskinan, penurunan angka pengangguran hingga pada persoalan kelaparan.
Selanjutnya, Pendiri dan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI) ini menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Salah satu poin di PP tersebut adalah diperbolehkannya ekspor pasir laut ke Singapura.
Hakeng melihat PP itu berpotensi merugikan Indonesia baik dari sisi Ketahanan Nasional hingga sisi ekosistem laut dan masyarakat pesisir yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan. Pengerukan pasir laut yang kemudian diekspor ke Singapura menurut dugaan DR (HC) Capt Hakeng akan dipakai untuk memperluas daerah daratan Singapura.
"Hal itu tentu akan mempengaruhi batas wilayah antara Singapura dan Indonesia. Potensi terjadinya konflik pertahanan dan keamanan dapat terjadi. Konflik perbatasan tidak menutup kemungkinan terjadi dengan negara ASEAN lainnya yang bertetangga dengan Singapura," katanya.
Indonesia sebagai negara maritim, kata Hakeng, belum menyadari posisinya saat ini. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, tapi bangsa Indonesia masih fokus pada urusan sebagai negara agraris. Padahal daratan hanyalah sepertiga dari keseluruhan wilayah Indonesia. Bangsa Indonesia telah terlalu lama memunggungi lautan, sehingga sulit bagi bangsa Indonesia melakukan akselerasi menjadi bangsa besar. Jika potensi besar itu digarap dengan baik, tentu Bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang besar dengan cepat.
"Untuk mempercepat hal tersebut saya tidak dapat bekerja sendiri, tentu dibutuhkan lebih banyak lagi pemikir di bidang maritim dari bangsa Indonesia yang harus dilahirkan. Karenanya saya selalu mendorong banyak pihak di Indonesia untuk fokus akan hal ini," katanya.